Sejumlah warga lereng Gunung Merapi panik saat melihat langit gelap dan hujan abu bercampur pasir akibat erupsi gunung itu. Awan panas meluncur sejauh dua kilometer.
Oleh
Haris Firdaus/Nino Citra Anugrahanto/Regina Rukmorini
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah kembali erupsi, Jumat (27/3/2020) pukul 10.56 WIB. Erupsi diikuti hujan abu, tetapi tak mengubah status Waspada dan radius bahaya gunung itu.
Hujan abu bercampur pasir melanda 47 desa di delapan kecamatan di Kabupaten Magelang. Hujan sempat memicu kepanikan di sejumlah lokasi. ”Saya bersama 10 lebih petani di sawah langsung berlarian panik pulang,” ujar Sutarno (53), warga Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, kemarin. Desa itu berada sekitar sembilan kilometer dari Merapi.
Terdengar sekitar lima menit, setelah itu hujan abu bercampur pasir terjadi 10 menit.
Saat itu, pukul 11.30, kata Sutarno, langit di atas sawah tiba-tiba gelap, abu dan pasir turun menghujani tanah. Di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, sekitar lima kilometer dari Merapi, hujan abu didahului suara gemuruh dari Merapi. ”Terdengar sekitar lima menit, setelah itu hujan abu bercampur pasir terjadi 10 menit,” ujar Kepala Desa Krinjing Ismail.
Pascaerupsi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) langsung menerbitkan Volcano Observatory Notice for Aviation (VONA) dengan kode merah. VONA diterbitkan sebagai peringatan pada aktivitas penerbangan. Namun, hingga Jumat sore, hujan abu tak berdampak pada penerbangan di dua bandara di DIY, yakni Bandara Internasional Adisutjipto di Sleman dan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo.
Menurut Kepala BPPTKG Hanik Humaida, erupsi diikuti kolom abu setinggi lima kilometer dari puncak. Lalu, amplitudo 75 milimeter dan durasi 7 menit. Erupsi juga disertai awan panas guguran yang meluncur sejauh 2 kilometer ke arah selatan-tenggara atau menuju ke wilayah hulu Sungai Gendol di Sleman.
Tanpa gejala
Erupsi Jumat siang itu juga tidak didahului prekursor atau gejala awal jelas. Menurut data BPPTKG sehari sebelum erupsi, aktivitas kegempaan di Merapi tergolong landai. Hanya dua kali gempa fase banyak dan satu gempa guguran. Selain itu, sebelum erupsi, juga tak teramati adanya deformasi atau perubahan bentuk tubuh Merapi.
”Data observasi ini menunjukkan bahwa menjelang letusan tidak terbentuk tekanan cukup kuat karena material letusan didominasi gas vulkanik,” ungkap Hanik. Terkait bahaya Merapi, ancaman masih sama dengan erupsi sebelumnya. Bahaya dari erupsi masih berupa awan panas dan lontaran material vulkanik dengan jangkauan kurang dari 3 kilometer.
Ancaman bahaya itu diperhitungkan antara lain berdasar volume kubah lava di Merapi yang belum berubah signifikan. Pemantauan 19 Februari 2020, volume kubah lava Merapi sebesar 291.000 meter kubik. Hanik menambahkan, potensi banjir lahar dari Merapi belum membahayakan penduduk. Kalaupun ada banjir lahar akibat hujan deras, aliran lahar diperkirakan masih tertampung di aliran Sungai Gendol yang berhulu ke Merapi.
”Bahaya lahar yang sampai mengancam penduduk belum ada,” ujarnya. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Makwan mengatakan, tidak ada laporan hujan abu di wilayah Sleman akibat erupsi itu. Aktivitas warga di lereng Merapi di Sleman juga normal.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Magelang Pranowo mengatakan, seiring angin sangat kencang ke arah barat daya, erupsi membuat hujan abu hingga radius terjauh 30 kilometer dari Merapi.