Kesetiaan Merawat Andong dan Kuda
Seiring tergantinya peran andong dan dokar dari transportasi harian, pekerjaan-pekerjaan yang mendukung keberlangsungannya pun ikut tergerus. Namun, sebagian bertahan meski dengan ceruk pasar yang begitu kecil.
Seiring tergantinya peran andong dan dokar dari transportasi harian, pekerjaan-pekerjaan yang mendukung keberlangsungannya pun ikut tergerus. Namun, sebagian bertahan meski dengan ceruk pasar yang begitu kecil. Mereka setia pada profesi yang lama telah menghidupi.
Dari balik kacamatanya, Lustarmaji (62) mencermati roda dokar berdiameter 1 meter yang baru saja dipasangnya. Sesekali ia mengetuk-ngetuk ruji-ruji dan pelek, memastikan komponen berbahan kayu jati itu kuat agar pemesan tak kecewa.
”Ini pesanan orang Surabaya, katanya mau dibawa ke Amerika, Agustus nanti,” kata Lustarmaji di bengkel dokar miliknya di Dusun Kalipawon, Kelurahan Panjang, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Harga satu unit dokar Rp 12 juta. Sepuluh tahun terakhir, ia juga membuat empat dokar untuk dikirim ke Belanda. Lustarmaji merupakan pemilik bengkel dokar yang tersisa di Ambarawa.
Ini pesanan orang Surabaya, katanya mau dibawa ke Amerika, Agustus nanti.
Ia meneruskan usaha ayahnya yang dirintis sejak 1940-an. Dulu, bengkel yang dikelola bapaknya banyak menerima pesanan ataupun jasa reparasi andong dan dokar untuk operasional angkutan sehari-hari, tetapi kini sudah nyaris tak ada lagi.
Sebagai informasi, di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, nama andong dan dokar lazim dibedakan dari jumlah rodanya. Kereta andong biasanya beroda empat, sedangkan dokar beroda dua. Permintaan dokar biasanya datang dari mereka yang punya minat khusus, seperti kolektor.
Namun, jumlahnya tak tentu. Meski demikian, Lustarmaji tetap menerima servis rutin dari para pelanggan lamanya. Dalam sebulan, ia menerima 1-4 permintaan reparasi dokar dari sejumlah daerah di sekitar Ambarawa.
Menurut Lustarmaji, pada 1980-1990, permintaan pembuatan andong atau dokar banyak datang dari Magelang, Temanggung, Salatiga, dan Ungaran. ”Dari awal hingga jadi membutuhkan tiga bulan, tetapi itu masih mentah atau belum dicat. Biasanya setahun satu sampai tiga pesanan baru. Namun, sekarang, ya, sudah tidak ada,” ucapnya.
Sementara, untuk permintaan servis dokar, saat ini hanya datang dari seputar Ambarawa. Kebanyakan karena rodanya rusak. Biaya pembuatan dokar berbahan kayu jati relatif cukup mahal. Untuk komponen roda, misalnya, satu bagian ruji-ruji berbahan kayu jati seharga Rp 20.000, sedangkan satu bengkok atau pelek Rp 70.000.
Pada satu roda umumnya perlu 14 buah ruji dan 7 buah bengkok. Selain itu, ada juga komponen roda, seperti gulung (bagian di titik tengah roda) dan ban. Untuk membuat satu roda, biaya yang diperlukan lebih dari Rp 1 juta. Adapun kayu jati didapatnya dari daerah Banyubiru, Ambarawa.
Yang menarik, di bengkel Lustarmaji terpajang satu unit dokar klasik yang dibuat pada 1949. ”Ini warisan dari bapak saya. Saya patok harganya Rp 25 juta. Kalau ada yang mau beli, ya, harganya segitu. Kalau tidak, ya, sudah. Itu besinya masih utuh karena menggunakan besi kuno atau besi putih. Beda dengan besi sekarang yang lebih mudah keropos. Jadi, yang membuat mahal, ya, dari sisi itu,” tutur Lustarmaji.
Masih dibutuhkan
Di Magelang, salah satu bengkel andong dan dokar yang masih bertahan adalah milik Darmo Sugono (70). Ia membuka bengkel itu sejak 1970 dan masih dipertahankan hingga kini karena merasa masih dibutuhkan. Ruang berdinding kayu berukuran sekitar 8x5 meter itu menjadi laboratorium Darmo.
Ruang itu dipenuhi potongan kayu, logam, dan peralatan keras lain yang menjadi alat kerjanya. ”Bengkel dokar saat ini sudah semakin sedikit. Kalau saya tutup, mereka (kusir dokar dan andong) akan semakin kesulitan mencari tempat untuk memperbaiki kendaraannya,” ujarnya.
Darmo adalah generasi ketiga, yang menjalankan bengkel dokar warisan kakek dan bapaknya. Bengkelnya berada di Jalan Sunan Bonang, Kelurahan Jurangombo Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang.
Memperbaiki dokar ataupun andong perlu ketelatenan, ketekunan, dan keahlian khusus.
Selama ini, pelanggan Darmo berdatangan dari berbagai tempat, seperti dari Kecamatan Salaman dan Borobudur di Kabupaten Magelang serta Kecamatan Parakan dan Ngadirejo di Kabupaten Temanggung. Awalnya, Darmo menjalankan usaha bersama tiga karyawan. Namun, karena para karyawannya beralih profesi, sekitar 20 tahun terakhir, ia sendirian menjalankan usaha.
”Memperbaiki dokar ataupun andong perlu ketelatenan, ketekunan, dan keahlian khusus,” katanya.
Tingkat kesulitannya pun, terbilang tinggi. Suku cadangnya tidak ada yang dijual di pasaran. Alhasil, ia harus membuat sendiri suku cadang yang rusak. Awalnya, ada tujuh usaha bengkel atau servis dokar dan andong di Magelang. Seiring perkembangan zaman, kini hanya menyisakan bengkel milik Darmo Margono. Penyebabnya, popularitas kendaraan itu kian tergeser transportasi modern.
Dahulu, karena demikian banyaknya permintaan perbaikan, hingga 10 dokar per hari, Darmo pun kerap menolak permintaan untuk perbaikan. Kondisi itu berubah setidaknya sekitar 4-5 tahun terakhir. Kini, dalam seminggu, dia sering kali tidak menerima permintaan perbaikan dokar.
Meski demikian, di waktu senggangnya, dia tetap berupaya bekerja membuat komponen-komponen dokar dan andong sehingga bisa dipakai kapan saja dibutuhkan. ”Setiap komponen harus dipersiapkan karena tidak ada satu pun komponen yang merupakan produk pabrikan,” tutur Darmo.
Tak semua pemilik bengkel andong dan dokar mampu bertahan. Memulai usaha bengkel sejak 1960, Sucoro (69), warga Desa Borobudur, akhirnya memilih menutup bengkel pada 2001. Hal ini dilakukannya setelah melihat usaha warung makan yang dijalankan istrinya sejak 1975 lebih prospektif mendatangkan banyak keuntungan. ”Apalagi warungnya dekat kawasan wisata. Saya pilih fokus membantu istri saya menjalankan warung,” ucapnya realistis.
Pijat kuda
Jika andong saja butuh direparasi, kuda pun juga perlu perawatan. Seperti manusia, kuda juga butuh relaksasi setelah bekerja keras. Untuk itu, muncul jasa pijat kuda di sejumlah daerah. Namun, kini yang masih menekuni profesi ini kian jarang.
Di Yogyakarta, nama Abdul Rohman (71) terbilang kondang di antara para kusir andong di Jalan Malioboro. Ia adalah satu di antara segelintir tukang pijat kuda yang masih mempertahankan profesinya. Kini, jumlah pemijat kuda bisa dihitung dengan jari. ”Silakan saja ditanya. Pasti semua mereka (kusir) tahu. Mereka semua memijatkan kudanya ke saya,” ujarnya sambil terkekeh.
Ilmu pijat diperoleh dari ayahnya, yang juga berprofesi sebagai tukang pijat kuda. Ia mulai diajak ayahnya berkeliling memijat kuda sejak kelas II Sekolah Rakyat (sekarang sekolah dasar), sekitar tahun 1957-1958. Dari setiap kesempatan itu, ia mengamati dengan teliti bagaimana jemari ayahnya memijat setiap kuda.
Hampir seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pernah dirambahnya. Menginjak remaja, ada ritual unik yang dilakoni Abdul agar bisa menerima ilmu memijat tersebut. Ia diminta ayahnya puasa tiga hari tiga malam sebanyak tiga kali. Tidak ada berbuka dan sahur dengan makanan pada puasa ini.
Hanya air wudhu sewaktu salat Maghrib yang menjadi asupan energi tambahannya dalam berpuasa kala itu. Air wudhu yang diminumnya pun jumlahnya juga hanya tiga tegukan. ”Ya, jadi memang ilmu ini diterima dengan laku prihatin. Di samping itu, saya melihat sungguh-sungguh ketika bapak saya sedang memijat,” kata Abdul.
Sewaktu memijat, Abdul mengaku ada beberapa perlengkapan khusus atau ubarampe yang harus dibawa. Perlengkapan tersebut sudah diturunkan sejak kakeknya, Jasi. Abdul adalah generasi ketiga yang menjadi pemijat kuda di keluarganya.
Adapun perlengkapan yang dibawa itu meliputi kayu berbentuk kubus dan mirip gading gajah seukuran ibu jari orang dewasa, serta kitab suci Al Quran berukuran mini, hanya sebesar ibu jari. Ia menyebut sejumlah perlengkapan itu sebagai ”lancaran” untuk memudahkan proses pemijatan.
”Saya sebenarnya enggak benar-benar percaya kalau ini yang menyembuhkan. Semua kesembuhan kuda yang dipijat itu adalah kuasa Tuhan. Ini, ya, hanya untuk melancarkan saja,” ucap Abdul.
Namun, Abdul menyebutkan, barang peninggalan ayahnya itu biasa digunakan untuk menjinakkan hewan yang akan dipijat. Misalnya, kayu berbentuk kubus dan gading gajah itu mampu menjinakkan hewan dengan cara memasukkan dua benda itu ke air minum hewan. Jika tidak diminum, air tadi diusap-usapkan ke badan hewan yang akan dipijat.
Bagian yang dipijat hanya kaki kuda. Sering kali ada darah kotor di bagian kaki kuda membuat hewan itu tidak nyaman bergerak. Warga setempat menyebutnya sebagai penyakit ”koyor mudun”. Selanjutnya, darah kotor itu dikeluarkan dengan cara menusuk bagian telapak kaki kuda dari kaki yang dipijat tadi. Pisau yang digunakan untuk menusuk juga peninggalan ayahnya.
Tersembul harap ada generasi muda yang dapat mewarisi kemampuan langkanya itu.
”Kuda tidak boleh ditusuk terlalu dalam. Patokannya seukuran kuku jari telunjuk. Bisa setengah kuku atau satu kuku penuh. Kalau kuda ditusuk terlalu dalam, justru bisa cedera sebab pisau malah mengenai bagian tulang muda,” terang Abdul.
Abdul juga meminta pemilik kuda menyiapkan ramuan khusus bagi kuda yang akan dipijat. Ramuan itu dibuat dari jahe, cabe rawit merah, dan spiritus. Ramuan itu digunakan untuk memulihkan bagian yang baru saja dipijat. Cara pemakaiannya dengan dibalurkan ke bagian kaki yang dipijat. Ramuan itu pun mampu menyembuhkan luka dari proses pengeluaran darah kotor lebih cepat.
Dalam satu pekan, sedikitnya dua kuda yang dipijatnya. Tarifnya tidak ditentukan. Abdul membebaskan pemilik kuda memberikan berapa pun biaya untuk jasanya. ”Saya ini hanya ingin menolong. Jadi, sukarela saja, terserah pemilik kuda mau memberi berapa. Paling sering diberi sekitar Rp 100.000 satu kali memijat,” kata Abdul.
Sama seperti Darmo yang setia membuka bengkel andong, Abdul mengaku akan terus menjadi pemijat kuda karena merasa masih dibutuhkan. Tersembul harap ada generasi muda yang dapat mewarisi kemampuan langkanya itu.