Di tengah kelangkaan pembersih tangan atau ”hand sanitizer”, sejumlah mahasiswa dan dosen di Sulawesi Utara memanfaatkan minuman keras tradisional Cap Tikus sebagai alternatif solusi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Pengumuman kasus pertama positif penyakit virus korona baru atau Covid-19 pada 14 Maret 2020 di Sulawesi Utara memicu kepanikan warga. Seketika, cairan pembersih tangan dan masker kesehatan hilang dari pasaran karena diborong pembeli yang kalut. Namun, beberapa cendekiawan di Universitas Negeri Manado tak kehabisan akal.
Kasus positif memang ditemui di Manado, tetapi bukan berarti kepanikan tak menghampiri Elma Kojongian (22). Mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, Kabupaten Minahasa, itu menjadi waswas saat harus keluar rumah. ”Ada rasa takut terpapar virus korona,” kata Elma, Kamis (19/3/2020), di Tondano.
Ia berusaha mencari cairan pembersih tangan untuk memperkecil risiko terpapar virus. Namun, barang yang biasanya memenuhi rak swalayan mini atau apotek itu sekarang langka. Kalaupun ada, petugas toko membatasi pembelian satu botol untuk satu orang.
Selama ini, kami tidak pernah menyangka, ternyata Cap Tikus bisa dijadikan hand sanitizer.
Di tengah situasi itu, timbullah ide unik, yaitu mengubah minuman keras tradisional khas Minahasa, Cap Tikus, menjadi cairan pembersih tangan. Siapa sangka, minuman yang tak jarang menjadi pemicu masalah sosial itu kini justru menjadi solusi alternatif untuk menjaga kesehatan.
Tak butuh waktu lama, ide itu pun terealisasi di laboratorium kimia kampus. Tiga jeriken, yang masing-masing berisi 5 liter Cap Tikus, itu, mereka ubah dari biang kemabukan menjadi pembunuh virus dan kuman. ”Selama ini, kami tidak pernah menyangka, ternyata Cap Tikus bisa dijadikan hand sanitizer. Eksperimen ini kami mulai mendadak juga karena Covid-19,” kata Elma.
Proyek penelitian Elma dan tiga rekannya diketuai pengajar Jurusan Kimia Unima, Wilson Rombang. Menurut Pembantu Dekan Satu FMIPA itu, Cap Tikus cocok dijadikan bahan hand sanitizer karena kadar alkoholnya yang tinggi. Tiga jeriken yang mereka beli dari petani Cap Tikus di Desa Atep, Langowan Selatan, itu, misalnya, berkadar alkohol 45-50 persen.
Cap Tikus dibuat para petani pohon aren (Arenga pinnata) secara tradisional. Air nira dari pohon tersebut disuling dengan cara dididihkan. Uap yang dihasilkan lalu disalurkan melalui pipa-pipa bambu ke dalam wadah-wadah untuk dikemas. Cap Tikus tetap ditenggak penikmatnya sekalipun kadar alkoholnya sangat tinggi.
Untuk setiap liter hand sanitizer yang dihasilkan, kami butuh bahan 1,8 liter Cap Tikus dari petani.
Proses yang serupa diulang kembali oleh Wilson serta kelompok mahasiswa yang dibimbingnya, kali ini dengan alat-alat laboratorium. ”Melalui proses redistilasi, kami bisa mendapatkan Cap Tikus dengan kadar 88-92 persen. Untuk setiap liter hand sanitizer yang dihasilkan, kami butuh bahan 1,8 liter Cap Tikus dari petani,” kata Wilson.
Pada alat redistilasi, Cap Tikus dididihkan hingga menguap pada suhu 78 derajat celsius, titik didih alkohol. Uap itu kemudian disalurkan ke dalam pipa-pipa pendingin yang menyebabkannya terkondensasi. Di ujung pipa, titik-titik cairan Cap Tikus dengan alkohol yang kadarnya lebih tinggi ditampung dalam gelas ukur 1 liter.
Tahap selanjutnya, alkohol yang telah dimurnikan itu dicampur dengan gel lidah buaya (Aloe vera)atau gliserol untuk memberikan tekstur yang lebih lembek. ”Perbandingannya 2:1, artinya kita butuh 0,5 liter gliserol. Setelah itu kami tambahkan sedikit hidrogen peroksida,” kata Wilson.
Dari semua proses yang memakan hampir sekitar tiga jam itu, dihasilkanlah hand sanitizer yang ampuh membunuh kuman dan virus. Wilson mengatakan, cairan pembersih tangan berbahan Cap Tikus ini jauh lebih efektif karena kadar alkoholnya di atas anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu sekitar 70 persen.
Kendati telah diberi bahan-bahan campuran, pembersih tangan itu masih sangat cair dan nyaris tak berwarna. Aroma tuak Cap Tikus pun tetap kuat. Dekan FMIPA Unima Anetha Tilaar mengatakan, beberapa pengajar lain telah memberikan saran untuk menambahkan minyak nilam, minyak cengkeh, atau bahkan air rebusan kulit jeruk untuk mengurangi baunya. ”Hanya perlu satu tetes saja untuk menghilangkan bau 1 liter Cap Tikus,” kata Anetha.
Pandemi Covid-19 yang menggemparkan komunitas internasional memaksa para cendekiawan memutar otak. Penularan harus dicegah sekalipun alkohol langka di pasar. Untungnya, para ahli dan pelajar kimia di tanah Minahasa tak pernah jauh dari sumber alkohol lokal.
Bahan dasar hand sanitizer ini mereka beli dari petani lokal di Langowan (Selatan). Selanjutnya, mereka berencana membeli dari petani di Raanan Baru, Motoling Barat, Minahasa Selatan. ”Penelitian seperti ini tentu tidak hanya membawa manfaat untuk lingkungan kampus, tetapi juga memberdayakan para petani lokal kita,” kata Anetha.
Anetha mengatakan, para mahasiswa dan dosen menggunakan dana sendiri dalam penelitian ini. Satu jeriken berisi 5 liter Cap Tikus dibanderol seharga Rp 50.000. Dana yang dihabiskan untuk membeli peralatan lainnya sekitar Rp 1 juta.
Rektor Unima Julyeta PA Runtuwene mengapresiasi kreativitas mahasiswanya. Cap Tikus sebagai produk kearifan lokal ternyata dapat ditingkatkan nilainya menjadi inovasi saintifik. ”Yang jelas, kami dapat berkontribusi menyediakan hand sanitizer yang sudah langka saat ini,” kata Julyeta.
Saya sudah menantang teman-teman dari jurusan kimia untuk memproduksi dalam skala besar.
Julyeta juga berharap, inovasi yang masih pada tahap awal ini tak terhenti. Seandainya bisa memproduksi dalam jumlah lebih besar, lebih banyak petani Cap Tikus bisa meraup untung. Produk cairan pembersih tangan pun dapat diproduksi dalam skala besar sehingga izinnya dapat diurus sebelum dimanfaatkan masyarakat umum.
”Saya sudah menantang teman-teman dari jurusan kimia untuk memproduksi dalam skala besar. Tapi, kami belum punya alat yang memadai. Perlu alat redistilasi yang lebih besar lagi,” katanya.
Pada saat yang sama, pemprov Sulut juga mencoba memproduksi cairan pembersih tangan dari Cap Tikus. Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw mengatakan, produksi 3.000 liter pada pekan lalu akan terus berlanjut. Produksi itu diprakarsasi Satuan Tugas Covid-19 Sulut.
Julyeta mengatakan, pihaknya pun ingin berkontribusi. Seandainya ada pihak yang bersedia mendanai, ia menjamin produksi dalam skala yang lebih besar dapat terlaksana.
Untuk saat ini, hand sanitizer yang dihasilkan FMIPA Unima pun akan digunakan terbatas di area kampus. Dekan FMIPA Unima Anetha mengatakan, proyek yang memang masih kecil ini untuk sementara dapat dikembangkan menjadi bahan skripsi para mahasiswa.
”Kebetulan yang mengerjakannya adalah mahasiswa semester 8. Seandainya bisa diproduksi dalam skala besar, kami bisa mengerahkan lebih banyak mahasiswa untuk meneliti komposisi yang lebih bagus serta memberdayakan lebih banyak tenaga kerja,” katanya.