Pencegahan penularan virus korona yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya cukup intensif. Setiap pagi, petugas menyemprot disinfektan di tempat pelayanan publik hingga ke pelosok-pelosok perkampungan.
Oleh
Agnes Swetta Pandia/ Iqbal Basyari
·5 menit baca
Sudah hampir sepekan situasi di Kota Surabaya, Jawa Timur, tampak lengang. Tak ada keramaian di jalan-jalan protokol ataupun pasar tradisional yang biasanya diwarnai aktivitas warga. Lengangnya Surabaya seperti saat mudik Lebaran ini terjadi karena warga sedang melawan pandemi Covid-19.
Kegiatan yang menonjol dan menarik perhatian warga lebih terkait upaya pencegahan penularan virus korona yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Setiap pagi, petugas menyemprot disinfektan di tempat pelayanan publik hingga ke pelosok-pelosok perkampungan.
Halo warga Surabaya, duduknya jauh-jauh, jaraknya satu meter. Cuci tangan dulu sebelum makan.
Hampir setiap hari terdengar teriakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang meminta warganya saling menjaga jarak. Risma berkeliling mulai dari kompleks pertokoan hingga gang-gang sempit di perkampungan. Ia mengingatkan warga agar melakukan social distancing atau pembatasan sosial guna mengurangi risiko penyebaran virus korona baru.
”Halo warga Surabaya, duduknya jauh-jauh, jaraknya satu meter. Cuci tangan dulu sebelum makan,” teriak Risma menggunakan pengeras suara saat menyosialisasikan gerakan pembatasan sosial, serta perilaku hidup bersih dan sehat, Rabu (18/3/2020).
Sejak Covid-19 merebak di Wuhan, China, pada akhir 2019, Pemkot Surabaya mulai melakukan antisipasi meski saat itu belum ditemukan kasus positif di Indonesia. Dalam Surat Edaran Wali Kota Surabaya tentang Kewaspadaan terhadap Penyakit Pneumonia Wuhan tertanggal 28 Januari 2020, warga diingatkan untuk mendeteksi serta mencegah penularan Covid-19.
Seluruh pintu masuk dari luar kota dan luar negeri dipasang alat pemindai suhu tubuh. Puskesmas pun diminta bisa mendeteksi jika ada pasien dengan gejala Covid-19. Masker yang menjadi salah satu kebutuhan utama saat wabah juga disiapkan untuk mengantisipasi kelangkaan di pasaran.
Dua bulan berselang setelah imbauan itu dikeluarkan, warga semakin sadar untuk mengikuti imbauan tersebut. Warga Surabaya, Teguh Prihandoko (57), kini mengurangi aktivitas di luar rumah. Jika tidak ada keperluan mendesak, dia dan keluarganya memilih untuk tetap di rumah. Ia juga bekerja dari rumah atau work from home.
”Warga juga mulai aktif melakukan gerakan untuk menghadang penyebaran virus korona dengan membuat disinfektan dan cairan pembersih tangan secara mandiri,” kata Teguh. Kekhawatiran warga terhadap virus korona di Surabaya bukan tanpa alasan. Hingga Jumat (27/3) terkonfirmasi ada 31 kasus positif Covid-19. Adapun pasien dalam pengawasan sebanyak 16 orang dan orang dalam pemantauan sebanyak 189 orang.
Agar penyebaran Covid-19 tidak meluas, Pemkot Surabaya meningkatkan pembatasan sosial di masyarakat. Sekolah-sekolah diliburkan dan kegiatan yang melibatkan kerumunan massa dilarang. Polisi juga aktif berkeliling untuk memastikan tidak ada warga yang berkerumun tanpa tujuan yang penting. Jalan Tunjungan dan Jalan Raya Darmo ditutup.
Masyarakat diminta tidak beraktivitas di ruas jalan itu pukul 09.00-14.00 serta 18.00-23.00. Pemerintah kota juga menyediakan tempat cuci tangan atau wastafel, berikut sabun cuci tangan, di sejumlah tempat umum. Dari 1.000 wastafel yang ditargetkan, sudah ada 645 yang terealisasi.
Upaya lain yang dilakukan adalah memasang 50 bilik sterilisasi di sejumlah pintu masuk, seperti terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Bilik sterilisasi juga dipasang di sejumlah fasilitas publik, seperti pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan pasar tradisional. ”Penyemprotan cairan disinfektan dilakukan massal ke permukiman warga dan fasilitas publik.
Kami juga bagikan cairan disinfektan agar warga bisa ikut melakukan disinfeksi mandiri di lingkungan masing-masing,” kata Risma. Selain itu, Pemkot Surabaya membuka dapur umum untuk produksi minuman herbal ”pokak” dan telur rebus. Ada 1.000 paket yang dibuat setiap hari dan dibagikan kepada warga untuk meningkatkan imunitas.
Bersamaan dengan itu, Risma pun mengundang sekitar 100 pemangku kepentingan di Kota Surabaya untuk mengajak mereka membuat protokol kesehatan di lingkungan masing-masing.
Alat pelindung diri
Di tengah berbagai cara untuk melindungi warga Surabaya dari penyebaran penyakit menular itu, Pemkot Surabaya juga membantu memenuhi kebutuhan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis di RSUD dr Soetomo. Jumlah APD terbatas sehingga tenaga medis sempat membuat sendiri dari kantong plastik.
Atas permintaan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia Jawa Timur, serta perwakilan dari Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Risma pun langsung menggerakkan pelaku usaha mikro kecil menengah untuk menggarap APD face shield atau alat pelindung wajah yang terbuat dari mika, baju, dan masker.
Pembuatan APD itu tidak hanya melibatkan UMKM, tetapi juga menggerakkan pegawai di lingkungan Pemkot Surabaya. Sejumlah pegawai bergotong royong membuat alat pelindung wajah tersebut. Mereka sementara waktu diminta membantu pembuatan APD, mulai dari pengukuran mika, pemotongan spons, sampai tahap penjahitan karet yang dipasang di dua sisi mika.
”Semua bergerak atas dasar kemanusiaan dan Pemkot sudah bisa membuat sekitar 540 face shield yang kemudian diserahkan ke dinas kesehatan untuk proses pendistribusian,” kata Koordinator Protokol Kesehatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Febria Rachmanita.
Kepala Bidang Promosi dan Mutasi Jabatan Badan Kepegawaian Daerah Kota Surabaya Yanuar Hermawan menambahkan, pembuatan alat pelindung wajah ini cukup sederhana. Beberapa peralatan yang dibutuhkan antara lain mika, spons, alat perekat (double tape) dan karet telah disediakan oleh Pemkot Surabaya.
Pelaku UMKM di Dukuh Pakis, Sumila (45), mengatakan, dalam dua hari ia mampu menyelesaikan lebih dari 1.000 masker. Dia senang bisa berpartisipasi dalam perang melawan Covid-19 untuk melindungi warga Surabaya. ”Kami hanya mengerjakan. Bahan baku semua dari Pemkot Surabaya,” katanya.
Pada awalnya, apa yang digagas dan dilakukan oleh Pemkot Surabaya memang terlihat berlebihan mengingat saat itu kasus Covid-19 belum masuk ke kota berpenduduk 3,3 juta jiwa ini. Dari sekitar Rp 12 miliar anggaran yang dialokasikan Pemkot untuk penanganan Covid-19 telah terserap Rp 3 miliar.
Kini upaya itu mulai membuahkan hasil dengan partisipasi warga yang meningkat. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Arek Suroboyo terus bergerak memberi solusi.