Alih Fungsi Lahan Masif, Banjir Melanda Pantura Jawa Barat
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Happy Mulya mengatakan, pihaknya tidak mampu menanggulangi 378 titik kritis di DAS Cimanuk-Cisanggarung. ”Ini butuh ratusan miliar rupiah. Yang mendesak ditangani 178 titik,” katanya.
Alih fungsi lahan di pantai utara Jawa Barat terus berlangsung seiring gencarnya pembangunan infrastruktur dan industri. Pada saat yang sama, banjir kian parah melanda daerah yang dihuni jutaan warga tersebut.
Alih fungsi lahan, antara lain, tampak di sepanjang jalan pantura wilayah Mundu hingga Losari, Kabupaten Cirebon, Jabar, Sabtu (7/3/2020). Papan berisi informasi sawah dan tanah dijual terpajang di pinggir jalan. Sedikitnya 10 pabrik telah dan sedang dibangun dalam empat tahun terakhir. Truk hilir mudik, menerbangkan debu jalanan dan batubara.
Pabrik di wilayah timur Cirebon berupa pabrik pakan ternak, mi instan, dan sepatu; tempat penampungan batubara; hingga dua pembangkit listrik tenaga uap. Sebelumnya, PLTU berkapasitas 660 megawatt sudah beroperasi. Berbagai industri hingga perumahan menduduki lahan yang sebelumnya berupa sawah dan tambak.
Dalam catatan Kompas, pada 2013, areal persawahan di Cirebon mencapai 53.560 hektar. Namun, empat tahun kemudian tercatat 52.725 hektar. Artinya, dalam rentang lima tahun, rata-rata 165 hektar lahan sawah menghilang di Cirebon.
Alih fungsi lahan dipastikan terus berlanjut setelah Pemerintah Kabupaten Cirebon menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2018-2038 yang menyiapkan 10.000 hektar untuk industri. Jumlah ini melonjak dibandingkan Perda No 7/2011 tentang RTRW 2011-2031. Dalam perda yang direvisi itu, kawasan industri hanya 2.000 hektar.
Kawasan industri diharapkan mampu menumbuhkan ekonomi Cirebon dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. ”Pengangguran di Cirebon peringkat ke-27 di Jabar. Artinya, urutan paling bawah. Rata-rata pendidikan warga hanya sampai kelas II SMP,” ujar Bupati Cirebon Imron Rosyadi tanpa menyebut angka pasti.
Menurut dia, kawasan industri Cirebon diminati investor karena upah minimum kabupaten (UMK) setempat lebih kompetitif, yakni sekitar Rp 2,19 juta per bulan. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Bekasi dan Cikarang yang mencapai Rp 4,5 juta per bulan.
Alih fungsi lahan di Kota Cirebon juga kian masif seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Dalam delapan tahun terakhir, pertumbuhan penduduk melonjak dari 296.389 orang menjadi 316.277 orang.
”Sementara luas lahan begitu-begitu saja. Saat ini, sekitar 70 persen lahan di kota merupakan permukiman,” kata Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Cirebon Yusuf Wirahadi.
Sebaliknya, kawasan ruang terbuka hijau (RTH) publik yang salah satu fungsinya sebagai daerah resapan air masih minim, hanya 11 persen dari total 3.700 hektar Kota Cirebon. Padahal, targetnya 20 persen luas wilayah. Banjir pun sudah dua kali melanda wilayah kota awal tahun ini. Kelurahan Kalijaga yang padat perumahan paling terdampak.
Sentra pangan terancam
Kondisi di pantura Indramayu tidak jauh beda. Iklan sawah dijual di sepanjang Krangkeng, Juntinyuat, hingga Balongan kerap ditemui. Dalam 10 tahun terakhir terjadi penyusutan lahan di kabupaten yang mampu memproduksi 1,7 juta gabah kering giling per tahun itu.
Tahun 2008, sawah di sentra pangan nasional itu mencapai 119.752 hektar. Namun, tahun 2018, lahannya menyusut menjadi 177.996 hektar. Dalam periode itu, sawah Krangkeng berkurang lebih dari 1.000 hektar dan Losarang berkurang 2.000 hektar lebih.
Alih fungsi bakal terus berlangsung karena Pemkab Indramayu tengah merevisi Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indramayu 2011-2031. Dalam revisi itu, kawasan peruntukan industri Indramayu melonjak dari sebelumnya 2.000 hektar untuk industri besar dan menengah menjadi 20.000 hektar.
Angka itu sekitar 10 persen dari luas Indramayu, yaitu 209.000 hektar. Kawasan peruntukan industri tersebar di 10 kecamatan, yakni Sukra (2.814 ha), Patrol (1.385 ha), Kandanghaur (2.025 ha), Losarang (4.523 ha), Balongan (1.438 ha), Juntiyuat (643,1 ha), Krangkeng (3.507 ha), Tukdana (664,1 ha), Terisi (1.379 ha), dan Gantar (1.574 ha).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Indramayu Wawang Irawan mengatakan, kawasan industri dibutuhkan untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka (TPT) sekaligus meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (LPE).
Berdasarkan pemetaan Pemprov Jabar 2018, Indramayu termasuk daerah dengan LPE terendah, di bawah 2 persen. Padahal, LPE daerah lain di Jabar lebih dari 5 persen.
”Kalau 1 hektar lahan industri bisa menyerap lebih dari 100 tenaga kerja. Kalau 1 ha lahan pertanian paling banyak hanya 20 pekerja. Makanya, kami ingin mengembangkan kawasan industri,” katanya.
Infrastruktur berskala nasional tetap dibangun setelah kehadiran Jalan Tol Cikopo-Palimanan dan Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati di Majalengka. Indramayu, misalnya, termasuk dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035.
Di Kota Cirebon, rel layang akan terpadu dengan jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya. Pengerjaannya dimulai 2022 dan ditargetkan beroperasi 2026. Dengan begitu, kemacetan yang kerap terjadi di 11 pelintasan dapat diantisipasi. Apalagi, ada lebih dari 190 perjalanan kereta api atau setiap tujuh menit ada satu kereta melewati Cirebon.
Pemerintah Provinsi Jabar juga mencanangkan kawasan segitiga rebana di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Sumedang, dan Subang. Sebagian besar berada di pantai utara Jabar. Gencarnya pembangunan industri dan infrastruktur di kawasan itu terekam pada masuknya investasi yang tecermin dalam produk modal tetap bruto (PMTB) pada 2018, yakni Rp 69,26 triliun. Jumlah ini melonjak dibandingkan tahun 2010, yakni Rp 29,55 triliun.
Kerusakan sungai
Meski demikian, alih fungsi lahan untuk infrastruktur dan industri di pantura Jabar tidak sebanding dengan pemulihan sungai yang berhilir di Cirebon dan Indramayu. Banjir yang kerap terjadi menjadi bukti rusaknya sungai.
Banjir di Cirebon timur pada awal 2018, misalnya, menjadi yang terparah. Sebanyak 38 desa dari enam kecamatan terendam banjir luapan Sungai Cisanggarung dan anak sungainya. Tiga warga meninggal dan lebih dari 50.000 warga terdampak.
Tahun ini, hingga awal Maret, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Cirebon mencatat, terdapat lebih dari 20 lokasi banjir. Wilayah timur, seperti Pabedilan, Pasaleman, Ciledug, dan Losari, tidak luput dari banjir pertengahan Februari lalu yang berdampak pada sekitar 10.000 orang.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Cirebon Dadang Suhendra mengatakan, selain tanggul jebol dan sumbatan sampah, banjir dipicu okupansi bantaran Sungai Cisanggarung. Usaha pembuatan batu bata warga marak ditemui di dekat tanggul sungai. Sejumlah pabrik juga berdiri di sekitar daerah aliran sungai.
Banjir juga acap kali terjadi setelah alih fungsi lahan. Hingga awal Maret tahun ini tercatat setidaknya 15 kejadian banjir, termasuk 6.185 warga yang rumahnya terendam rob, di wilayah Eretan, Kandanghaur.
Bahkan, banjir terparah dalam lima tahun terakhir berlangsung di 19 desa di Kecamatan Indramayu, Sindang, Pasekan, Lohbener, dan Cantigi tahun lalu. Ribuan rumah terendam luapan Sungai Cimanuk dan 15.400 korban mengungsi. Kerugian ditaksir lebih dari Rp 23,4 miliar. Padahal, saat itu, Indramayu tidak dilanda hujan deras. Hanya wilayah hulu, yakni Garut dan Sumedang, yang hujan lebat.
Kepala Pelaksana BPBD Indramayu Edi Kusdiana mengatakan, bantaran Sungai Cimanuk lama telah diokupasi bangunan warga sehingga memperlambat aliran air. ”Di sini, kalau musim hujan kebanjiran, kalau kemarau kekeringan,” ucapnya.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, saat ini terdapat 378 titik kritis di DAS tersebut. Titik kritis, seperti tanggul jebol, paling banyak berada di Cirebon bagian timur dan Brebes (Jawa Tengah).
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Happy Mulya mengatakan, pihaknya tidak mampu menanggulangi 378 titik kritis di DAS Cimanuk-Cisanggarung. ”Ini butuh ratusan miliar rupiah. Yang mendesak ditangai adalah 178 titik,” ujarnya.
Melalui pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB), BBWS Cimanuk-Cisanggarung bakal memetakan masalah DAS Cimanuk-Cisanggarung. Dalam waktu 18 bulan sejak November 2019, sejumlah konsultan menyiapkan rencana induk manajemen risiko banjir, survei dampak sosial dan ekonomi, hingga detail engineering design jika dibutuhkan perbaikan konstruksi.