”Menyalakan Lilin” di Tengah ”Kegelapan” Pesisir
Aksi nyata yang telah dinyalakan Mashadi dan warga Dukuh Pandansari sejak beberapa tahun lalu semoga bisa menerangi pemikiran warga di daerah lain yang mengalami kerusakan kawasan pesisir untuk melakukan aksi serupa.
”Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan”. Ungkapan politikus asal Amerika Serikat, Adlai Stevenson, yang dialamatkan kepada lawan politiknya, Eleanor Roosevelt, ini menjadi ”bahan bakar” Mashadi (48) untuk menyalakan api semangat warga pesisir Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dalam memerangi kerusakan lingkungan.
Sejak 1995, pesisir Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, rusak karena budidaya udang yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan serta adanya kenaikan muka air laut. Kondisi tersebut menjadi semakin parah pada tahun 2000-an. Kala itu, hampir 1.200 hektar lahan tambak milik warga hilang diterjang abrasi.
Puluhan rumah di daerah yang berjarak sekitar 14 kilometer dari pusat Kabupaten Brebes ini mulai ditinggalkan oleh pemiliknya karena mereka lelah menghadapi rob. Warga yang dulunya bekerja sebagai petambak beralih pekerjaan karena lahan tempat mereka bekerja disapu rob. Tidak hanya merusak tambak dan rumah tinggal, rob juga merusak jalan perkampungan.
Di tengah keputusasaan itu, Mashadi berupaya untuk mengajak warga Dukuh Pandansari menanam pohon mangrove sebagai bentuk upaya ”menyalakan lilin” untuk menerangi daerah pesisir yang rusak. Solusi yang ditawarkan oleh Mashadi tidak serta-merta diterima masyarakat. Awalnya, mereka menganggap apa yang dilakukan Mashadi adalah hal yang gila.
”Tapi, saya terus berusaha menyakinkan masyarakat bahwa satu pohon mangrove yang kita tanam itu bisa menghidupi 1.000 makhluk. Kalau menunggu dana dari pemerintah pasti susah karena dananya kecil, sementara abrasi dan kerusakan alam semakin parah. Jadi, kami harus melakukan sesuatu untuk menekan laju kerusakannya,” ujar Mashadi.
Sekitar tahun 2005, hati masyarakat mulai tergerak untuk menanam mangrove. Dalam kurun waktu dua tahun, sebanyak 150.000 batang mangrove berhasil ditanam di pesisir Dukuh Pandansari. Pada awalnya, masyarakat membeli bibit dengan biaya mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, mereka mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada 2011, misalnya, mereka mendapat bantuan sebanyak 11 miliar bibit mangrove dari Gubernur Jateng saat itu, Bibit Waluyo.
Lahan-lahan yang dulunya rusak tergerus abrasi tersebut akhirnya bisa berubah menjadi hutan mangrove. Kini, di dukuh tersebut ada sebanyak 3,3 juta batang pohon mangrove yang memanjang sejauh 1,8 kilometer dengan luas hamparan 250 hektar. Dengan kondisi tersebut, laju kerusakan pesisir yang awalnya 20 hektar per tahun dapat ditekan menjadi 5 hektar per tahun.
”Setelah laju kerusakan pesisir bisa ditekan, saya berpikir bagaimana cara memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat yang morat-marit karena tempat mereka mengais rezeki rusak digerus abrasi. Dari hal itulah muncul ide untuk menjadikan hutan mangrove ini sebagai tempat wisata,” kata Mashadi.
Desa wisata
Gagasan untuk menjadikan hutan mengrove sebagai destinasi wisata akhirnya terwujud. Pada 2017, Bupati Brebes Idza Priyanti meresmikan daerah tersebut sebagai Desa Wisata Mangrove Pandansari atau disingkat menjadi Dewi Mangrove Sari.
Sejak saat itu, perekonomian warga di Dukuh Pandansari menggeliat. Warga yang dulu meninggalkan dukuh tersebut satu per satu kembali ke Pandansari untuk memajukan desa wisata tersebut. Salah satunya adalah Sakri (43), yang meninggalkan Dukuh Pandansari tahun 2000.
”Saya memilih menjadi anak buah kapal (ABK) karena bingung mau bekerja apa setelah tambak udang saya porak-poranda. Saat itu yang saya pikirkan hanyalah bagaimana agar perekonomian keluarga tetap berjalan,” ujar Sakri.
ABK ternyata bukan pekerjaan yang cocok untuk Sakri. Sakri merasa tidak nyaman hidup berjauhan dengan keluarga. Sebab, saat menjadi ABK, Sakri harus berlayar ke luar daerah, seperti Bali, Palembang, dan Aceh. Tak hanya itu, penghasilan Sakri saat menjadi ABK juga dinilai terlalu kecil. Dalam sebulan, Sakri diupah Rp 450.000 dan baru bisa pulang setelah berlayar selama minimal dua bulan.
Keadaan berubah setelah Sakri kembali ke Dukuh Pandansari dan menjadi pengurus Kelompok Sadarwisata (Pokdarwis) Dewi Mangrove Sari. Selain kembali dekat dengan keluarganya, penghasilan Sakri juga meningkat menjadi Rp 2,9 juta per bulan.
”Tidak hanya turut menjaga kelestarian hutan mangrove dan mengembangkan Dewi Mangrove Sari, di sini saya bisa mencari penghasilan tambahan melalui budidaya kepiting soka,” ucap Sakri.
Semenjak jadi desa wisata, kawasan hutan mangrove menjadi ramai dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Pada akhir pekan, jumlah wisatawan bisa mencapai 2.000 orang per hari. Akses jalan yang semula sempit dan berlubang kemudian dilebarkan dan diaspal. Rumah-rumah yang dulu kosong kembali ditempati. Bahkan, beberapa di antaranya diubah menjadi homestay atau penginapan.
Hingga saat ini, ada sekitar 22 penginapan baru di kawasan ini. Selain penginapan, warung-warung yang menjual aneka makanan, minuman, dan cederamata khas Dewi Mangrove Sari mulai bermunculan. Menurut data Pokdarwis Dewi Mangrove Sari, ada sebanyak 75 warung yang muncul di kawasan hutan mangrove dan di sepanjang jalan menuju hutan mangrove.
Eni (35), pemilik warung makan di kawasan wisata Dewi Mangrove Sari, mengatakan, melalui usahanya, dirinya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dulu, Eni tidak bekerja dan bergantung uang kiriman dari suaminya yang bekerja di Papua. Kini, Eni bisa memperoleh uang hingga Rp 7 juta per bulan dari hasil berjualan.
”Uang hasil berjualan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak. Sejak 2018, saya minta kepada suami supaya uang yang biasanya dikirim ke kampung untuk ditabung,” kata Eni.
Selain pemulihan kawasan dan pertumbuhan ekonomi, aktivitas di Dewi Mangrove Sari juga menumbuhkan industri batik. Batik yang dulunya tidak dilirik masyarakat Pandansari mulai dilirik pada 2017. Corak batik Pandansari mirip dengan corak batik Salem, yang berbeda adalah pewarna yang digunakan. Di Pandansari, batik diwarnai dengan pewarna alami yang berasal dari mangrove.
”Batik Pandansari yang menggunakan pewarna alami bisa menarik wisatawan untuk membeli batik sebagai oleh-oleh,” ujar Ranimpen (48), salah satu penggerak industri batik di Pandansari.
Ranimpen mengatakan, batik mengubah nasib sebagian ibu rumah tangga di Pandansari. Mereka yang dulu tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, kini bisa berpenghasilan. Ranimpen, misalnya, dalam sehari bisa menjual minimal 1 lembar batik seharga Rp 300.000 kepada pengunjung Dewi Mangrove Sari. Uang dari hasil membuat dan menjual batik tersebut dipakai Ranimpen untuk menambah pemasukan keluarganya.
Hingga saat ini, sekitar 100 orang yang merupakan warga Desa Kaliwlingi diberdayakan untuk mengelola Dewi Mangrove Sari. Tak hanya sebagai pembatik, pedagang, dan pengurus Pokdarwis, masyarakat juga diberdayakan sebagai pengelola tempat parkir, penyedia jasa penginapan, dan penyedia jasa penyeberangan.
Untuk mencapai hutan mangrove, pengunjung harus menyeberangi lautan selama lebih kurang 15 menit menggunakan perahu. Berdasarkan perhitungan Pokdarwis Dewi Mangrove Sari, perputaran uang di daerah tersebut mencapai Rp 10 miliar per tahun.
Baca juga : Alat di Terminal Minim, Penapisan Pemudik di Banyumas Dilakukan di Kampung
Alternatif
Matahari di atas Kabupaten Brebes, Senin (9/3/2020), sangat terik. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Farid (32) untuk berwisata. Farid rela menempuh jarak hingga 20 kilometer dari rumahnya di Kecamatan Margadana, Kota Tegal, untuk menikmati hutan mangrove tersebut.
”Tiketnya terbilang murah dan pemandangan yang disuguhkan juga sangat indah. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat wisata alternatif jika saya sedang penat,” kata Farid.
Tak hanya berwisata, Farid juga mencicipi kelezatan ikan bakar di Dewi Mangrove Sari. Menurut dia, menyantap masakan laut di tempat ini memberikan sensasi tersendiri. Selain bisa makan di hamparan hutan mangrove yang berada di tengah laut, cita rasa masakan laut di Dewi Mangrove Sari juga dinilai lebih enak karena ikan yang diolah adalah ikan segar. Mayoritas warung makan di tempat ini mengolah hasil laut yang disuplai oleh nelayan lokal.
Pengunjung lain, Lukmansyah (34), tidak menyangka Dukuh Pandansari yang rusak digerus abrasi bisa disulap menjadi obyek wisata yang indah. Lukmansyah masih ingat, sekitar tahun 2006 dirinya kesulitan menjangkau wilayah tersebut karena jalanan rusak dan minim penerangan. Rob setinggi 10 sentimeter juga beberapa kali menggenangi jalan.
”Dulu itu daerah ini rusak. Kalau tidak karena ada urusan mendesak, saya enggan kemari. Sekarang daerah ini sudah berubah total dan menjadi daerah wisata yang indah. Saya jadi senang kemari,” ujar warga Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, tersebut.
Kerja sama
Tahun ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes sedang menjajaki rencana kerja sama dengan Pokdarwis setempat untuk mengembangkan potensi Dewi Mangrove Sari. Selama ini, belum ada kerja sama antara Pokdarwis dan pemerintah.
”Kami berharap, tahun ini, peraturan daerah yang mengatur tentang retribusi bisa disahkan dan kami bisa bekerja sama. Kalau sudah ada kerja sama, hak dan kewajiban kami jelas,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes Diding Setiadi.
Menurut Diding, kerja sama antara Pokdarwis dan pemerintah akan menguntungkan kedua belah pihak. Pemerintah bisa mendapat tambahan pendapatan asli daerah dan Pokdarwis bisa mendapatkan bantuan dana pengembangan wisata, pembinaan, pelatihan, dan promosi wisata.
Kerusakan daerah pesisir terjadi di hampir seluruh daerah pantai utara Jateng. Persoalan ini tidak akan selesai apabila masyarakat hanya menunggu pemerintah menggelontorkan dana untuk membangun pemecah gelombang atau sabuk pantai. Salah satu upaya kecil yang kemungkinan akan berhasil dan berumur panjang adalah menanam tanaman yang mampu menghalau gempuran air laut seperti mangrove.
Semoga lilin yang telah dinyalakan oleh Mashadi dan warga Dukuh Pandansari sejak beberapa tahun lalu bisa menerangi pemikiraan warga di daerah lain yang mengalami kerusakan kawasan pesisir untuk melakukan aksi serupa.
Baca juga : Tanpa Seremoni, Bandara Internasional Yogyakarta Beroperasi Penuh 29 Maret