Nestapa Pelajar dan Pembatik Pekalongan akibat Banjir
Banjir bertubi awal tahun ini membuat aktivitas pelajar dan usaha batik warga di Pekalongan terganggu. Sebuah fakta betapa kita semua tak mampu menghadapi bencana. Penanggulangan dan antisipasi dini didorong dilakukan.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
Hujan lebat yang terjadi sejak awal tahun membuat beberapa sungai besar di kawasan pesisir pantai utara bagian barat Jawa Tengah meluap. Di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, misalnya, dalam waktu kurang dari tiga bulan setidaknya empat kali banjir merendam sebagian besar wilayah tersebut. Bencana tersebut menyisakan kenestapaan dalam kehidupan pelajar dan pekerja batik di dua wilayah tersebut.
Nestapa dialami warga SMP Negeri 3 Tirto, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Hingga Sabtu (7/3/2020) kegiatan belajar-mengajar dialihkan ke Masjid Jami Annur Tirto karena banjir yang merendam sekolah mereka sejak dua pekan lalu belum surut. Sebelumnya, ketinggian air di sekolah tersebut mencapai 1 meter. Adapun ketinggian air pada Sabtu pagi masih sekitar 30 sentimeter (cm).
Di masjid tersebut, 259 siswa yang terbagi menjadi delapan kelas belajar berdampingan. Mereka duduk berkelompok berdasarkan kelas masing-masing. Ketiadaan sekat yang memisahkan satu kelas dengan kelas yang lain membuat suasana masjid gaduh. Berulang kali terdengar beberapa guru membesarkan volume suaranya karena ada siswa yang protes, suara guru tidak terdengar.
”Kami harus benar-benar mengatur volume suara agar tetap terdengar oleh siswa di dalam kelompok kelas, tetapi juga tidak mengganggu kelompok kelas lain. Ini cukup sulit karena terkadang ada siswa yang mengobrol saat kami sedang menerangkan,” kata Windarti (41), guru mata pelajaran Bahasa Inggris SMPN 3 Tirto.
Menurut Windarti, pindah tempat belajar ke masjid merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani warga SMPN 3 Tirto sejak 2014. Jika pada tahun-tahun sebelumnya belajar di masjid dilakukan paling lama satu minggu, tahun ini kegiatan tersebut sudah berlangsung dua minggu.
Pemindahan lokasi belajar juga membuat waktu belajar terpotong. Kegiatan belajar-mengajar yang semestinya berlangsung pukul 07.00-13.45 kini dimulai pukul 07.30 dan berakhir pada pukul 11.45.
”Tidak hanya jam pelajaran reguler yang terpotong, jadwal pelajaran tambahan bagi siswa kelas IX yang berlangsung pukul 06.00- 7.00 juga ditiadakan selama kami belajar di masjid. Hal itu tentu merugikan karena saya jadi kehilangan kesempatan untuk mendalami materi pelajaran yang belum saya pahami,” ujar Dian Nurussobah (15), siswa kelas IX SMPN 3 Tirto.
Sementara itu, di SMPN 3 Tirto, genangan setinggi 30 cm masih terlihat di halaman sekolah. Lumut dan lumpur yang mengendap membuat permukaan halaman sekolah licin. Jika tidak berhati-hati, risiko terpeleset tidak bisa dihindari.
”Waktu awal-awal banjir (Januari) lalu, saya pernah terpeleset di halaman sekolah. Saya tercebur genangan dan pakaian saya basah semua,” ujar Naila Aulia Yuli Khafifah (14).
Siswa kelas VIII tersebut harus pulang untuk berganti pakaian, kemudian kembali ke sekolah. Saat tiba di sekolah, jam pelajaran sudah dimulai. Hal itu membuat Naila dihukum untuk bersih-bersih. Di sekolah tersebut ada peraturan yang mengharuskan siswa membersihkan lingkungan sekolah jika terlambat.
Risiko lain yang harus ditempuh Naila saat menerobos banjir adalah bertemu dengan ular. Setiap hari, Naila harus mengalahkan rasa takutnya dan terus melangkah menerjang banjir untuk menuju ke sekolah.
”Pernah beberapa kali bertemu ular saat berjalan di tengah banjir. Sebenarnya takut, tetapi saya tidak punya pilihan lain,” ucapnya.
Tidak hanya berdampak pada dunia pendidikan, banjir juga memukul perekonomian masyarakat. Pada industri batik, misalnya, kerugian yang harus ditanggung para pekerja dan pengusaha diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah per minggu.
Anisah (45), warga Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto, yang sehari-hari bekerja sebagai penyedia jasa pewarnaan batik, mengeluhkan, aktivitas pewarnaan batik di tempat usahanya terhambat selama dua minggu terakhir. Sebab, peralatan membatik, seperti canting, cap, perwarna, malam, kain, dan penampang sebagai tempat mewarnai, terendam. Kerugian akibat bahan dan peralatan yang terendam tersebut ditaksir mencapai Rp 15 juta.
Di Kelurahan Pasirkratonkramat, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, Fauzi (38), penjual batik, juga mengeluhkan berhentinya penjualan batik akibat aktivitas produksi yang tersendat. Dalam kondisi normal, Fauzi bisa menjual 4.000 lembar kain per minggu.
”Sudah dua minggu belakangan tidak ada penjualan sama sekali. Nilai kerugian dalam satu pekan mencapai Rp 190 juta,” ujar Fauzi.
Sabtu siang, aktivitas pewarnaan batik di Desa Karangjompo menggeliat. Penampang kayu berukuran 2 meter x 2 meter yang sudah berhari-hari hampa tanpa kain pucat itu akhirnya disinggahi ratusan lembar kain. Lembar demi lembar kain-kain pucat yang dibentangkan di atas penampang itu dipoles dengan aneka warna cerah.
Di tangan keriput Wariyah (57), kain pucat itu berubah menjadi merah, jingga, ungu, kuning, dan biru. Warna-warna cerah dari lembaran kain batik itu menguar ke muka ibu asal Desa Karangjompo itu. Sabtu pagi merupakan hari pertama bagi Wariyah untuk kembali bekerja setelah diliburkan selama 10 hari karena banjir.
Wariyah mengatakan, dirinya kembali bekerja supaya mendapat uang untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Selama mengungsi, dia tidak bisa bekerja. Untuk makan sehari-hari keluarganya, Wariyah mengandalkan bantuan dari dapur umum pengungsian.
”Sekarang sudah kembali ke rumah, jadi harus bekerja lagi supaya bisa dapat uang untuk makan,” ujarnya.
Setidaknya dalam lima tahun terakhir rumah Wariyah selalu terendam banjir. Setiap tahun, dia juga harus mengungsi karena kasur miliknya basah terendam air.
Di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Hujan deras membuat debit Sungai Meduri dan Sungai Bremi yang mendangkal limpas. Sebenarnya, peninggian tanggul darurat menggunakan kantong pasir sudah dilakukan di beberapa tempat. Namun, upaya tersebut tidak lantas membuat dua wilayah tersebut bebas dari banjir.
Secara terpisah, Bupati Pekalongan Asip Kholbihi mengatakan, Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Pemerintah Kota Pekalongan, Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Comal, serta Dinas Pekerjaan Umum, Sumber Daya Air, dan Penataan Ruang Jawa Tengah berencana merevitalisasi sungai, membuat polder, dan membangun rumah pompa sebagai solusi jangka panjang menekan risiko banjir. Program-program tersebut diharapkan bisa segera direalisasikan.