Promosi Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong Masih Butuh Pendampingan
Pengembangan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, membutuhkan dukungan dan kesadaran masyarakat. Semangat konservasi bumi demi kesejahteraan masyarakat harus terus disosialisasikan.
Oleh
megandika wicaksono
·3 menit baca
KEBUMEN, KOMPAS — Pengembangan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, membutuhkan dukungan dan kesadaran masyarakat. Semangat konservasi bumi demi kesejahteraan masyarakat masih harus terus disosialisasikan kepada mayarakat setempat.
Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong ada di kawasan seluas 543.599 kilometer persegi. Kawasan ini punya beragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, hingga pantai. Wilayahnya mencakup 117 desa di 12 kecamatan di Kebumen.
Karangsambung merupakan tempat bertemunya lempeng Samudra Hindia-Australia dan lempeng Benua Eurasia. Hal itu membuat batuan di tempat ini beraneka ragam dan bercampur aduk, yang disebut melange.
Akibat gaya tektonik yang sangat kuat, daerah ini mulai terangkat ke atas muka laut. Dari penelitian geokimia, batuan-batuan di Watu Kelir tersebut bagian dari lempeng Samudra Hindia-Australia (Kompas.id, 8/3/2019).
Kini, di taman bumi (geopark) ini terdapat 59 situs utama, terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya. Di Karangsambung sampai Karangbolong terdapat enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu.
”Yang mendesak dilakukan adalah sosialisasi dan edukasi masyarakat,” kata Ketua Harian Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong Djoenedi Fatchurachman saat dihubungi dari Banyumas, Senin (30/3/2020).
Djoenedi mengatakan, hal itu belum sepenuhnya muncul. Penambangan pasir dan batu masih terjadi di Kebumen dan mengancam pelestarian situs-situs kebumian. Kesadaran alam yang dikonservasi bakal memiliki nilai tambah sangat dibutuhkan dan harus terus diperjuangkan masyarakat setempat.
Akan tetapi, lanjutnya, upaya itu bakal tidak mudah dilakukan dalam beberapa waktu ke depan. Berbagai agenda sosialisasi tertunda akibat Covid-19. Salah satunya pembatalan acara geofestival tentang promosi taman bumi se-Indonesia yang akan dilakukan pada April 2020.
Peneliti utama di Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Chusni Ansori, mengatakan, ujung geopark adalah geowisata. Bukan hanya bercerita soal batuan, melainkan juga menyangkut aspek budaya dan biologi. Sayangnya, sosialisasi yang ada dinilai masih kurang tajam dan masif.
”Komponen wisata yang sudah bermunculan mestinya dimaksimalkan secara berkelanjutan. Anak-anak mudanya harus bergerak,” katanya.
Chusni juga menyampaikan pengembangan serta penataan taman bumi yang belum optimal. Dia menyoroti masalah visibilitas. Saat ini, tugu-tugu penanda dan informasi lain menuju lokasi taman bumi belum ideal.
Bahkan, informasi di lokasi pun masih harus dilengkapi. Selain itu, katanya, jaringan kerja sama antarlembaga yang sudah dibentuk belum berjalan dengan baik. ”Kelembagaan di Badan Pengelola Nasional Karangsambung-Karangbolong juga masih kurang kencang bekerja. Masih kurang solid dan kurang fokus,” ujarnya.
Kelembagaan di Badan Pengelola Nasional Karangsambung-Karangbolong juga masih kurang kencang bekerja. Masih kurang solid dan kurang fokus.
Sigit Asmodiwongso, pegiat wisata di Gombong, Kebumen, menyampaikan, sejumlah biro tur telah menyiapkan paket wisata ke obyek-obyek di kawasan taman bumi. Pangsa pasar lokal yang potensial digarap adalah sekolah-sekolah untuk melakukan study tour.
Peluang mempromosikan taman bumi ini kepada wisatawan luar kota juga tinggi. Sebelum wabah Covid-19, melalui Biro Tur Milangkori, Sigit pernah membawa 40 wisatawan Jakarta. Mereka antusias bermain stone hunting (permainan mencari jenis-jenis batu secara berkelompok) dan stone balancing (menyusun batuan). Selain melihat situs kebumian, wisatawan juga diajak ke sentra batik dan kota lama Gombong.
”Menariknya, kami tidak perlu menyembunyikan kelemahan taman bumi. Tempat kami beraktivitas kemarin dekat lokasi penambangan pasir. Itu justru jadi ajang diskusi bahwa kita ada tantangan seperti ini,” tutur Sigit.