SE Mendagri Atur Fleksibilitas Daerah Tangani Covid-19
Tiap daerah memiliki fleksibilitas dalam menangani wabah Covid-19 tergantung situasi dan kondisi masing-masing. Pemerintah daerah pun dapat mengatur penggunaan dana APBD untuk kepentingan itu asalkan transparan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Tingkat Daerah. Di dalam surat tersebut diatur fleksibilitas daerah untuk menetapkan status kedaruratan maupun anggaran yang diperlukan untuk antisipasi dan penanganan Covid-19.
Surat edaran Menteri Dalam Negeri itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Minggu (29/3/2020). Di dalam surat itu disebutkan gubernur dan bupati/wali kota menjadi ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah dan tidak dapat diwakilkan. Sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah, gubernur maupun bupati atau wali kota dapat merancang langkah antisipasi dan penanganan Covid-19.
Pemda juga dapat menetapkan status keadaan darurat tertentu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dengan mempertimbangkan kajian dan penilaian penyebaran Covid-19 yang dilakukan badan penanggulangan bencana daerah dan dinas kesehatan. Pendanaan yang diperlukan oleh gugus tugas juga sepenuhnya dibebankan kepada APBD.
Sebelum menetapkan kebijakan penanganan Covid-19, gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah wajib melakukan analisis yang matang dan mendalam berdasarkan basis bukti untuk memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, dan keamanan yang muncul.
Pemda juga harus menyiapkan sumber daya dan fasilitas kesehatan yang dimiliki dengan bekerja sama dengan swasta sebagai rumah sakit rujukan Covid-19. Bahkan, pemda bisa membangun rumah sakit khusus untuk penanganan Covid-19.
Pemda juga diharuskan melakukan refocusing kegiatan untuk menjamin kemudahan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan wabah Covid-19, termasuk realokasi anggaran, pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Pemda harus melakukan sosialisasi pembatasan sosial dan karantina mandiri dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dengan memperhatikan protokol korona. Dalam hal pembatasan sosial, pemda diwajibkan menyiapkan dampak bagi kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah dengan memberikan bantuan sosial.
Pemda juga harus menyiapkan sumber daya dan fasilitas kesehatan yang dimiliki dengan bekerja sama dengan swasta sebagai rumah sakit rujukan Covid-19. Bahkan, pemda bisa membangun rumah sakit khusus untuk penanganan Covid-19.
Terkait dengan refocusing anggaran, Direktur Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kementerian Dalam Negeri Muhammad Ardian Novianto mengatakan, apa saja yang dibutuhkan gugus tugas daerah untuk antisipasi dan penanganan Covid-19 dapat diajukan melalui APBD. Kebutuhan setiap daerah tentu berbeda, tergantung dari jumlah kasus saat ini. Daerah seperti DKI Jakarta, misalnya, yang sudah mengusulkan karantina wilayah, diharapkan mengevaluasi kebutuhan dana untuk bantuan sosial bagi masyarakat ekonomi lemah, UMKM, dan sektor informal lainnya.
”Intinya, Permendagri Nomor 20 dan SE Nomor 440 ini memberikan fleksibilitas realokasi dan refocusing antisipasi maupun penanganan dampak Covid-19. Apalagi, beberapa daerah memang sudah mengajukan karantina wilayah. Silakan dianalisis dampaknya sekaligus kebutuhan anggarannya,” kata Ardian saat dikonfirmasi, Senin.
Dalam realokasi anggaran untuk kebutuhan penanganan Covid-19 ini, pemda juga dapat melakukan perubahan APBD. Perubahan APBD tersebut tidak perlu melalui proses politik di DPRD, tetapi hanya membutuhkan pemberitahuan perubahan penjabaran APBD. Nantinya, perubahan APBD itu dapat disesuaikan dengan RAPBD Perubahan 2020. Fleksibilitas penganggaran itu diberikan Kemendagri dengan catatan daerah juga harus menjaga akuntabilitas anggarannya.
Selain sumber pendanaan dari APBD, pemda juga dapat memperoleh pendapatan daerah dari sumber lain, seperti hibah pemerintah pusat, hibah pemerintah provinsi bagi kabupaten atau kota, dan hibah dana pihak ketiga dari masyarakat. Sumber pendanaan daerah lain-lain itu dibuka dalam kondisi kedaruratan tertentu supaya cepat untuk mengatasi Covid-19.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan dua instrumen hukum yang diterbitkan Kemendagri merupakan kebijakan yang ditunggu-tunggu daerah untuk mengatasi Covid-19.
Selama ini, daerah masih kewalahan menangani Covid-19, terutama dalam konteks fiskal anggaran. Adanya ruang realokasi dan refocusing kegiatan untuk penanganan Covid-19 ini diharapkan dapat mempercepat penanganan Covid-19. Apalagi, sudah banyak data pergerakan perantau yang masuk ke daerah. Dengan kebijakan ini, diharapkan daerah dapat segera mengambil langkah efektif.
Namun, menurut Robert, selama ini daerah masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Padahal, saat ini dana transfer daerah pada triwulan pertama ini jumlahnya masih sangat kecil, yaitu Rp 116 triliun untuk 500 lebih daerah. Jumlah dana transfer daerah ini menurun dibandingkan triwulan pertama tahun 2019 yang mencapai Rp 130 triliun. Ketika instrumen hukum sudah ada, ada potensi daerah tetap kesulitan mencari alokasi dana karena masih banyak yang bergantung pada dana pusat. Apalagi, pada triwulan pertama ini alokasi anggaran daerah masih lebih banyak digunakan untuk belanja birokrasi. Belanja untuk kepentingan publik biasanya baru terlihat pada awal triwulan kedua.
”Oleh karena itu, juga penting dilakukan percepatan transfer dana daerah,” kata Robert.
Selain itu, Robert menilai perlu adanya sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat untuk menahan laju pemudik dari kota ke daerah asal. Sebab, masalah transportasi massal lebih banyak diatur oleh pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Tanpa adanya aturan ketat pembatasan pergerakan orang tersebut, daerah tetap akan kewalahan mengatasi Covid-19 karena pemudik berpotensi menjadi penular virus tersebut.