Kawasan pesisir utara, termasuk Gresik, merupakan sentra pembangunan sejak era kerajaan Hindu-Buddha dan kolonial Hindia-Belanda. Setelah jalur pantura dibangun, pembangunan segala bidang makin terkonsentrasi di sana.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Kalangan pemuda Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur, enggan berdiam melihat kerusakan Jalan Raya PU Gosari yang menghubungkan Desa Gosari dan Desa Banyuurip tak tertangani. Mereka secara swadaya membeli material dan memperbaiki kerusakan daripada menunggu inisiatif Pemerintah Kabupaten Gresik.
”Jalan itu diperbaiki secara swadaya oleh para pemuda desa agar lubang-lubangnya tidak membuat pengendara terjatuh,” kata Kepala Desa Gosari Fathul Ulum saat ditemui, Jumat (6/3/2020). Jalan Raya PU Gosari berstatus jalan kabupaten. Pemerintah baru bisa menganggarkan perbaikan prasarana itu hingga Desa Banyuurip pada tahun depan.
Padahal, jalan itu penting bagi kehidupan warga yang rata-rata bermata pencarian sebagai petani, petambak, dan nelayan. Jalan Raya PU Gosari terhubung dengan Jalan Raya Campurejo di pesisir utara dan Jalan Raya Daendels (jalur pantura) di sisi selatannya. Untuk Jalan Raya Daendels di Gresik merupakan bagian dari Jalan Raya Pos atau kini disebut jalur pantura peninggalan era pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels dari Anyer (Serang, Banten) hingga Panarukan (Situbondo, Jatim).
Saat musim hujan, jaringan jalan di pesisir Gresik kerap kebanjiran karena saluran air dan sungai di sekitarnya tak mampu menampung air hujan sehingga meluap. Banjir adalah rutinitas bagi masyarakat pesisir Gresik, khususnya Ujungpangkah yang menjadi muara Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa.
Namun, pesisir Bumi Pudak, julukan Gresik dari nama penganan khas yakni pudak, terus tumbuh sebagai sentra industri terpadu sekaligus pelabuhan. Pabrik-pabrik besar yang menggantikan hamparan tambak garam, sawah, atau hutan bakau terus bermunculan sepanjang pesisir Gresik dari perbatasan dengan Surabaya di sisi timur dan perbatasan dengan Lamongan di sisi barat.
Berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Gresik 2010-2030, peruntukan hutan produksi hanya 1.017 hektar (ha). Untuk pertanian 42.832 ha, untuk perikanan 21.679 ha, untuk pertambangan 818 ha, untuk industri 12.448 ha, untuk permukiman 26.079 ha, untuk andalan 8.555 ha, dan peruntukan lainnya 6.645 ha. Kebutuhan lahan untuk industri dan permukiman tetap besar dan kemungkinan bertambah dari tahun ke tahun.
Lima tahun terakhir, menurut catatan Pemerintah Provinsi Jatim, luas lahan tambak bandeng di Gresik berkurang 3.000 hektar untuk dijadikan kawasan industri, pergudangan, dan pemukiman. Kawasan industri yang sedang dibangun antara lain Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Kecamatan Manyar.
Munculnya kawasan-kawasan industri memicu perubahan lanskap sekaligus iklim mikro sehingga budidaya di tambak tak maksimal. Sejumlah pemilik tambak menjual lahan kepada investor kawasan industri lalu pindah ke Tuban (Jatim), Juwana (Jateng), bahkan luar Jawa.
Padahal, pesisir Gresik dikategorikan kawasan rawan bencana banjir, abrasi, dan kritis eks tambang. Kawasan rawan bencana ini meliputi beberapa kecamatan, yakni Gresik, Kebomas, Manyar, Sidayu, Bungah, Panceng, dan Ujungpangkah. Kawasan lainnya di bagian tengah dan selatan juga rawan bencana.
Di kawasan selatan, misalnya Wringinanom dan Driyorejo, yang berbatasan dengan Sidoarjo, rawan erosi dan banjir dari Sungai Brantas, sungai terpanjang setelah Bengawan Solo. Selain itu, bagian tengah ke timur dibelah oleh Kali Lamong yang di musim hujan selalu meluap dan membanjiri sempadan di sepanjang daerah alirannya.
Bupati Gresik Sambali Halim Radianto mengakui, wilayah yang dipimpinnya tak pernah lepas dari intaian bencana. Namun, pemerintah daerah sulit untuk berbuat lebih jauh. Di satu sisi, sejak dahulu kala Gresik adalah salah satu wilayah dengan pembangunan industri yang pesat dari keberadaan pabrik semen dan petrokimia. Dirunut jauh ke belakang, sejak era klasik atau ratusan tahun lalu, Gresik adalah bandar perniagaan besar sekaligus salah satu pusat penyebaran agama Islam.
Selain itu, penduduk terus bertumbuh dan membutuhkan lahan untuk kehidupan dan bermukim. Saat ini, Gresik yang seluas 1.191 kilometer persegi berpenduduk 1,33 juta jiwa sehingga kepadatannya 1.103 jiwa per kilometer persegi. Pertumbuhan penduduk di Gresik mencapai 2 persen setiap tahun. ”Semakin maju dan berkembang tetapi kian berat penataannya,” kata Sambali. Tidak heran kemudian, dampak lingkungan yakni bencana alam menjadi risiko yang tak bisa dihindari oleh warga Gresik, yakni banjir dan ancaman penyakit saat banjir.
Sepekan lalu, hampir 1.000 rumah di empat kecamatan, yakni Benjeng, Kedamaen, Menganti, dan Cerme, kebanjiran akibat luapan Kali Lamong. Kalangan warga mendesak agar program normalisasi Kali Lamong menjadi prioritas kabupaten dan provinsi. Sampai program bisa terwujud, setiap musim hujan dan banjir datang, warga tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengungsi atau bertahan.
Untuk mengatasi dampak bencana yang berulang, kata Sambali, pemerintah telah mengajukan proyek pengerukan dan normalisasi Kali Lamong. Proyek ini akan didanai keroyokan dengan provinsi dan pusat tetapi baru bisa tuntas setidaknya pada 2022. ”Masih dalam proses,” katanya.
Berlanjut
Padahal, pembangunan seiring dengan ancaman kerusakan yang mengikutinya belum akan berhenti. Gresik merupakan bagian dari koridor maritim dan logistik Jatim bersama dengan Tuban dan dua kabupaten di Pulau Madura, yakni Bangkalan dan Sumenep. Di empat kabupaten ini, pemerintah menyediakan lahan bagi kawasan industri baru seluas 32.000 hektar.
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jatim Adamsyah Adikara menambahkan, kawasan pesisir utara termasuk Gresik merupakan sentra pembangunan atau penanaman modal dibandingkan kawasan tengah atau selatan. Hal ini sudah terjadi bahkan sejak era klasik kerajaan Hindu-Buddha dan kolonial Hindia-Belanda. Setelah pemerintah kolonial membangun jalur pantura, pembangunan segala bidang akhirnya lebih terkonsentrasi di kawasan pesisir.
”Padahal, kawasan pantura itu dataran rendah dan muara sungai sehingga ancaman banjir lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lebih tinggi,” kata Adamsyah.
Sebelum ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang kemudian diperbaharui menjadi UU No 26/2007, pembangunan di seluruh Nusantara, kata Adamsyah, bisa dibilang tanpa perencanaan. Namun, pelaksanaan UU itu sendiri dari sejak ada hingga kini kerap dilanggar oleh pejabat negara di daerah yakni bupati dan wali kota.