Balada Dunia Pendidikan di Miangas
Pendidikan di daerah terpencil menghadapi banyak tantangan, seperti yang ”Kompas” temui di Miangas, pulau paling utara negeri ini.
Belum genap setengah jam mengajar, Wensariawen Rellam (54) menyudahi kegiatan belajar-mengajar di kelas II SD Negeri Miangas. Ia bangkit dari bangku guru di samping papan tulis, lalu beranjak ke kantin. Ada segala macam makanan ringan dalam kemasan yang harus ia jual kepada pelanggannya, para siswa, yang ingin jajan pada Kamis (12/3/2020) siang itu.
”Setelah tujuh tahun mengajar, akhirnya saya diangkat jadi PNS (pegawai negeri sipil) tahun 2014. Saya syukuri itu sebagai berkat dari Tuhan karena saya sudah mengabdi di Miangas. Biarpun saya asli Kalongan (Pulau Salibabu), saya sudah cinta Miangas,” kata Rellam bangga.
Rellam adalah satu dari enam guru berstatus PNS di SDN Miangas. Namun, sebagai warga luar Miangas yang ditugaskan di pulau seluas 3,2 kilometer persegi di ujung utara Indonesia itu, ia adalah salah satu guru yang paling lama bertahan.
Banyak yang tidak tahan, mungkin karena Miangas cuma pulau kecil.
Menurut Rellam, hampir semua guru PNS yang dikirim ke Miangas oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud hanya tahan satu atau dua tahun. Hal itu kasatmata. Kamis siang itu, hanya ada dua guru berstatus PNS dan seorang guru honorer di sekolah.
”Banyak yang tidak tahan, mungkin karena Miangas cuma pulau kecil. Cari beras saja susah, harus makan laluga (sejenis talas) atau pisang. Akhirnya, mereka minta pindah, entah bagaimana caranya,” kata Rellam.
Alhasil, siang itu Rellam berbagi tugas dengan Djois Lanta’a (54), guru PNS, dan Adintje Tulungan (52), guru honorer. Rellam mengaku mengajar kelas I, II, dan VI sekalipun ia sebenarnya hanya ingin mengajar kelas I dan II. ”Namanya juga pengabdian,” kata Rellam.
Ia pun mengaku bersyukur sekali karena sudah menerima gaji tetap Rp 2,5 juta per bulan berkat status PNS golongan IIA yang disandangnya. ”Ini berkat dari Tuhan,” katanya.
Namun, cerita Rellam soal pengabdian dan mengajar tiga kelas itu seolah bertabrakan dengan perannya yang lain sebagai penjual jajanan di kantin. Dengan santai ia melayani setiap siswa yang jajan di tengah jam pelajaran. Siswa TK di dekat gedung SDN Miangas pun ia layani. Lembar demi lembar Rp 1.000, Rp 2.000, dan Rp 5.000 ia terima.
Kalau tidak jualan begini, bakal susah memenuhi kebutuhan mendadak.
Ternyata, kata Rellam, ia seharusnya mendapatkan tunjangan daerah khusus sebesar Rp 7,5 juta per triwulan. Namun, selama 2019, ia hanya mendapatkan jatah dua dari empat triwulan. Tahun ini, ia bahkan belum mendapatkannya sama sekali, berbeda dengan rekan-rekannya PNS yang lain. Padahal, mereka semua berhak karena Miangas adalah daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
”Kalau tidak jualan begini, bakal susah memenuhi kebutuhan mendadak. Mau cairkan gaji saja harus di Melonguane (ibu kota Kepulauan Talaud), bendahara sekolah yang cairkan, kemudian transfer ke rekening kami. Saya juga tidak mengerti kenapa tidak dapat tunjangan, apa ada ’permainan’ di balik itu?” katanya.
Pada saat yang sama, SD Miangas tak kunjung mendapatkan guru pengganti. Guru-guru honorer yang hanya diberi upah Rp 200.000 per bulan akhirnya ogah-ogahan mengajar.
Cerita yang sama datang dari SMP Negeri 2 Nanusa, satu-satunya SMP di Pulau Miangas. Sehari-hari, setidaknya hanya empat guru yang selalu terlihat, yaitu Asmiyati Timporok (26), Filia Mononimbar (31), Sabtudewo Joseph Sono (53), dan Laling Rimpulaeng. Padahal, setidaknya ada 12 guru yang terdaftar di sekolah itu.
Hanya ada tiga kelas di SMP itu sehingga siswa tidak pernah ditelantarkan. Namun, Asmiyati dan Filia adalah guru Bahasa Inggris. Sabtudewo adalah guru Agama yang harus merangkap sebagai guru Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). ”Ada guru yang mau pensiun dan kami belum dapat gantinya. Guru itu sudah jarang ke sekolah,” kata Sabtudewo.
Kasihan para siswa ini kalau dibiarkan tidak belajar.
Beberapa guru nyaris tak pernah hadir lagi, termasuk salah satu rekan Asmiyati yang juga didatangkan dari luar Miangas. Alasannya sama, karena tak betah di Miangas. Akibatnya, Asmiyati terdorong untuk mengambil alih beberapa mata pelajaran, seperti Bahasa Indonesia dan Seni Budaya.
”Untungnya ada buku pelajaran sehingga saya ada panduan. Saya juga bilang jujur kepada anak-anak, di kelas, saya seperti mereka, sama-sama belajar. Kasihan para siswa ini kalau dibiarkan tidak belajar,” kata Asmiyati.
Menurut Asmiyati, kedisiplinan mengajar sepenuhnya datang dari diri masing-masing guru. Pasalnya, Kepala SMPN 2 Nanusa Fransius Apitalau nyaris tak pernah ada di tempat untuk memastikan kegiatan belajar dan mengajar berjalan sebagaimana mestinya.
Namun, Asmiyati pun tak bisa menyalahkan jika guru-guru itu tidak berminat mengajar di sekolah. Sebagian guru tidak mendapatkan tunjangan daerah khusus, senasib dengan Rellam di SDN Miangas. Dari total 10 guru berstatus PNS, hanya empat yang mendapatkan tunjangan daerah khusus di Miangas.
Tunjangan itu senilai satu kali gaji pokok setiap bulan, tetapi dibayarkan tiap triwulan. Ada pula tunjangan tambahan penghasilan, yaitu Rp 55.000 per hari. ”Tidak bisa dimungkiri, keadaan itu membawa dampak kecemburuan sosial di ruang guru. Pak Sabtudewo bahkan harus protes di dinas dikpora (pendidikan, pemuda, dan olahraga), baru mendapat tunjangan,” katanya.
Baca juga: Miangas Kekurangan Guru Sekolah Dasar
Di lain pihak, Kepala Dinas Dikpora Kabupaten Kepulauan Talaud Adrian Taarega mengatakan, pemkab tidak bertanggung jawab atas pembagian tunjangan bagi para guru. Semua dana itu disalurkan dari Kementerian Keuangan. Namun, setiap sekolah harus memperhatikan data masing-masing gurunya di sistem data pokok pendidikan.
”Sekolah sendiri yang mengurus data penerimanya. Nanti surat keputusan dari pemerintah pusat yang menentukan. Tapi, memang tunjangan itu ada kuotanya, tidak semua guru bisa terima,” kata Adrian.
Terkait guru berstatus PNS yang tidak tahan di Miangas, Adrian berpendapat, mereka harus mengingat sumpah mereka. ”Kan, harus siap ditempatkan di mana saja sesuai sumpah mereka,” katanya.
Lain lagi nasib guru-guru SMK Negeri 2 Talaud, Miangas, yang membuka program pengolahan perikanan. Guru-guru yang menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi itu relatif lebih sejahtera. Erik Awalla, guru honorer, mengaku mendapatkan gaji per bulan Rp 2,8 juta. Total ada tujuh guru honorer dan lima guru PNS.
Baca juga: Terkatung-Katung di Ujung Utara Nusantara
Namun, bukan berarti pelajaran berjalan lancar saat gaji guru terjamin. Pada Jumat (13/3) pagi, misalnya, sebanyak 13 siswa kelas X dan XI mereka mengikuti latihan baris berbaris oleh bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban dari Polsek Miangas. Sekitar satu jam berselang, mereka diminta masuk ke kelas masing-masing.
Anehnya, tidak ada siswa yang tahu jadwal pelajaran hari itu. Di kelas X, misalnya, ada siswa yang mengatakan pagi itu mereka belajar seni budaya, tetapi teman sebelahnya mengatakan mereka harusnya belajar matematika. Ada pula yang menyangka pagi itu dimulai dengan olahraga.
Beberapa saat kemudian, datang Pendeta Lukas Bawala, guru honorer yang mengajar agama. Alih-alih memulai pelajaran, ia menghardik para siswanya sebagai pemalas, kemudian menyuruh mereka membersihkan lantai di depan kelas. Tak ada sapu, tangan pun jadi untuk membersihkan tanah, daun, dan kotoran lainnya.
Erik Awalla mengatakan, SMK itu kini fokus ke pengolahan produk perikanan. Program sebelumnya, yaitu budidaya perikanan, tidak berjalan. Kolam di sekolah kini hanya menjadi tempat menaruh hiasan-hiasan sekolah. ”Kami sudah ada alat pengolahan ikan. Ini untuk melatih membuat produk industri rumahan,” kata Erik.
Baca juga: Balada Laluga, Pangan Lokal Miangas yang ”Tertimbun” Beras
Namun, para siswa merasa nyaris tak belajar apa pun. Marini (16), siswa kelas X, mengatakan, di sekolah, guru-guru setiap hari hanya meminta mereka mencatat ulang apa yang tertera di buku pelajaran. Tidak ada praktik perikanan. Karena itu, cita-citanya jauh dari dunia perikanan. ”Saya mau jadi polisi wanita saja,” katanya.
Dinda (16), siswa kelas XI, juga tidak melihat masa depannya di dunia perikanan. Dia mengaku tidak tahu saat ditanya apa yang dipelajari di sekolah terkait perikanan. ”Saya mau jadi dokter gigi saja,” katanya.
Sersan Kepala Buntomo Sampe, petugas Pos Angkatan Laut yang juga orangtua salah satu siswa kelas XI, juga tidak tahu apa yang diajarkan pihak sekolah kepada anaknya. Jam pelajaran dan kegiatan di sekolah tidak jelas sehingga anaknya pun malas ke sekolah. ”Saya agak menyesal sekolahkan dia di SMK sini,” kata Buntomo.
Kekecewaan juga menghampiri Kenangan Lupa, petugas Kantor Imigrasi Miangas. Sekalipun belum ada anaknya yang disekolahkan di SMKN 2 Talaud Miangas, ia tidak ingin menyesal.
”Nanti kalau anak saya sudah lulus SMP, saya mau bawa dia ke Manado dan sekolahkan di sana. SMK di sini tidak jelas. Sekolah kok lebih banyak kerja bakti daripada belajar,” katanya menggerutu.