Warga Tolak Pemakaman, Ganjar Ingatkan Jangan Stigma Pasien Covid-19
Sejumlah penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 terjadi di sejumlah daerah. Masyarakat diminta tidak memberi stigma dan menolak. Sebab, selama segalanya sudah sesuai dengan prosedur, diyakini itu akan aman.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta masyarakat tidak memberi stigma kepada pasien positif Covid-19 dan keluarganya, termasuk dalam prosesi pemakaman. Selama perlakuan jenazah dan pemakaman sesuai dengan prosedur, diyakini segala prosesnya aman.
Hal itu terkait dengan peristiwa penolakan warga terhadap pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Ganjar Pranowo, di Kota Semarang, Rabu (1/3/2020), telah berkonsultasi dengan sejumlah pakar kesehatan soal keamanan pemakaman jenazah positif Covid-19. Apabila jenazah pasien meninggal sudah diperlakukan dengan prosedur standar operasi (SOP) yang benar dan tepat, tidak akan terjadi persoalan.
”Yang penting Anda tidak ikut melayat, serta ikuti prosedurnya. Kalau sudah dikubur, selesai. Karena virusnya juga akan mati di situ. Stigma kepada korban, termasuk yang sudah meninggal dan keluarganya, pasti akan sangat menyakitkan, jadi tolong jangan,” ujar Ganjar.
Ganjar mengungkapkan, masyarakat yang sudah terstigma akan ditolak di mana-mana. Padahal, mereka bukanlah musuh, melainkan sebaliknya, sedang butuh dukungan. Ganjar pun meminta masyarakat untuk mengikuti ketentuan dari pemerintah agar jangan ada penolakan.
Ia meminta masyarakat meminta menjaga perasaan pasien dan keluarganya. ”Saat orang tercintanya meninggal, terkadang, mereka lihat muka (jenazah) tidak boleh, lihat mayatnya tidak boleh. Itu sudah sakit, tolong jangan ditambahi lagi perasaan sakitnya mereka,” ucap Ganjar.
Penolakan pemakaman oleh warga di Banyumas bahkan sempat beredar luas di sejumlah grup percakapan Whatsapp. Dalam video itu, Bupati Banyumas Achmad Husein mesti memberi pemahaman kepada warga yang menolak pemakaman dilakukan di Desa Tumiyang, Kecamatan Pekuncen.
Dikutip dari Kompas.com, jenazah pasien positif Covid-19 itu ditolak dimakamkan di sejumlah tempat. Jenazah ditolak dikebumikan di Kecamatan Purwokerto Timur, Kecamatan Patikraja, dan Wangon. Ambulans yang membawa jenazah dan hendak memasuki wilayah Desa Tumiyang juga dihadang warga.
Pasien asal Purwokerto Timur tersebut dilaporkan meninggal dunia di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto, Selasa (31/3) pagi, setelah dirawat di ruang isolasi sejak beberapa waktu lalu. ”Saya sebetulnya hanya ingin menunjukkan bahwa jenazah (pasien positif Covid-19) setelah meninggal itu tidak berbahaya,” ujar Husein, Rabu.
Husein mengatakan, sebelumnya telah disiapkan tiga lahan milik pemkab sebagai alternatif tempat pemakaman khusus mengantisipasi penolakan di tempat pemakaman umum (TPU). Namun, di ketiga lokasi tersebut ternyata mendapat penolakan warga.
”Ini masyarakat yang belum tahu, (kami) akan berdiskusi dengan pakar tentang itu, kemudian disampaikan kepada masyarakat bahwa virus itu di dalam jenazah. Begitu masuk tanah, virusnya juga mati. Tidak akan kemudian berkembang biak dan menjalar. Mungkin itu yang masyarakat belum mengerti,” ucap Husein.
Di Kota Semarang, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi juga telah mengidentifikasi sejumlah tempat pemakaman untuk dijadikan tempat pemakaman khusus terkait Covid-19. Itu dilakukan setelah ada pasien meninggal serta mengatasi kegalauan di masyarakat.
”(Termasuk) TPU milik Pemkot Semarang, yang sepertinya pantas karena masih ada jarak dengan lahan-lahan yang sudah dipakai. Ini ada di (kawasan) BSB (Bukit Semarang Baru). Saat ini, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman sedang memroses dan menata itu,” kata Hendrar.
Hingga Selasa (31/3) pukul 13.00, tercatat ada 92 kasus positif akumulatif di Jateng, dengan rincian 77 orang dirawat, 8 orang sembuh, dan 7 orang meninggal. Adapun PDP dirawat sebanyak 406 orang dan ODP 9.434 orang.
Sementara itu, Bupati Blora Djoko Nugroho menekankan pentingnya protokol bagi para pemudik ke daerah itu. Menurut dia, pendataan dan pemantauan oleh pemerintah hingga tingkat kelurahan merupakan upaya pencegahan akan penyebaran virus korona baru.
”Yang tinggal di Blora bukan berarti curiga kepada (pemudik) yang datang, tetapi justru untuk melindungi. Kami mengimbau mereka tetap tinggal di rumah selama 14 hari dan melapor jika tak enak (ada gejala). Kami ingin sedini mungkin memutus rantai penyebaran,” katanya.