Pembatasan Jarak Fisik di Pasar Tradisional Aceh Belum Berjalan
Di Aceh, para penjual dan pembeli di pasar berbaur tanpa melakukan pembatasan jarak fisik dan tanpa menggunanakan masker. Padahal, pembatasan jarak fisik salah satu cara memutuskan rantai penyebaran virus korona.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pembatasan jarak fisik di sejumlah lokasi di Banda Aceh, Provinsi Aceh, belum berjalan maksimal. Salah satunya terjadi di pasar-pasar tradisional. Para penjual dan pembeli berbaur tanpa pembatasan jarak, bahkan pemakaian masker.
Suasana itu terlihat, misalnya, di pasar ikan tradisional Pelabuhan Lampuloe, Pasar Sayur Ulee Kareng, dan Pasar Sayur Peunayong, Kota Banda Aceh, Jumat (4/3/2020). Meski di tengah pandemi Covid-19, pasar tradisional itu selalu ramai didatangi warga untuk berbelanja kebutuhan pangan.
Transaksi jual beli terjadi seperti hari-hari biasa. Tidak ada pembatasan jarak fisik dan sebagian besar warga tak mengenakan masker. Fasilitas cuci tangan dan sabun tidak tersedia. Tidak terlihat penerapan protokol pencegahan penyebaran Covid-19.
Muslim (45), pedagang ikan, menuturkan, dirinya tidak khawatir dengan penyebaran Covid-19. Pasalnya, pembeli di pasar itu umumnya warga lokal sehingga kecil kemungkinan membawa virus. ”Yang kena korona di Aceh orang yang pulang dari luar negeri dan luar kota, mereka tidak pernah belanja ke sini,” kata Muslim.
Hingga Jumat, sebanyak lima orang di Aceh positif Covid-19. Para penderita ini semuanya memiliki riwayat perjalanan luar negeri dan luar kota daerah terjangkit. Sebanyak 1.003 orang dalam pemantauan dan sebanyak 45 pasien dalam pengawasan.
Muslim mengatakan, sosialisasi jaga jarak pernah dilakukan petugas, termasuk memasang sebuah baliho ukuran besar di lokasi itu. Namun, bagi pedagang tradisional, seperti di pasar ikan dan sayur, sulit menerapkan jaga jarak karena lapak yang sempit dan ramainya pembeli.
Bagi pedagang tradisional, seperti di pasar ikan dan sayur, sulit menerapkan jaga jarak karena lapak yang sempit dan ramainya pembeli.
Meski demikian, sebagian kecil warga tetap bersikap hati-hati dengan situasi pandemi ini. Halimah, seorang ibu rumah tangga pembeli di pasar sayur, mengatakan, dirinya tetap menjaga diri dengan menggunakan masker kain yang dibeli Rp 10.000 per lembar. Saat tiba di rumah, masker dicuci dan dia pun berganti pakaian.
”Saya keluar rumah hanya untuk belanja dan keperluan mendesak. Sebenarnya agak takut-takut juga ke tempat ramai, tetapi harus belanja kebutuhan dapur,” kata Halimah.
Survei terbaru Pusat Riset dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh menyebutkan, sebagian besar warga Aceh belum memproteksi diri dari penyebaran Covid-19.
Peneliti dari Unsyiah, Rina Suryani Oktari, menuturkan, survei dilakukan melalui kuesioner daring yang diisi 5.005 responden. Hasil survei tersebut ternyata masih banyak responden yang belum melakukan upaya proteksi setelah beraktivitas di luar rumah, seperti tidak mencuci tangan sebelum masuk, tidak segera mandi, dan memisahkan pakaian.
Masih banyak responden yang belum melakukan upaya proteksi setelah beraktivitas di luar rumah, seperti tidak mencuci tangan sebelum masuk, tidak segera mandi, dan memisahkan pakaian.
”Lebih dari 90 persen responden masih menyentuh benda, terutama uang, yang juga disentuh orang lain yang dapat menjadi media penyebaran virus korona,” ucap Rina.
Juru Bicara Penanganan Covid 19 Aceh Saifullah Abdulgani mengatakan, pemerintah daerah hingga pemerintah desa telah menyosialisasikan cara cegah Covid-19 kepada warga. Ia mengakui, meski sebagian besar warga sudah paham, belum semua memiliki kesadaran untuk menerapkannya.
Saifullah mengimbau warga bekerja di rumah dan keluar hanya pada saat mendesak. Sejauh ini, Pemprov Aceh menerapkan jam malam untuk menekan penyebaran virus. Warga dilarang beraktivitas di luar rumah pukul 02.30 hingga pukul 05.30 sejak 29 Maret hingga 29 Mei 2020.
Pemprov Aceh memiliki anggaran Rp 118 miliar yang akan digunakan untuk penanggulangan penyebaran Covid-19 di provinsi itu.