Bagi sejumlah warga Kota Pekalongan, banjir sudah biasa. Tata laksana antisipasi banjir dihafal di luar kepala. Tempat pengungsian ibarat rumah kedua. Terselip harapan, 2020 jadi tahun terakhir mereka menghadapi nestapa.
Oleh
Aditya Putra Perdana
·4 menit baca
Terik matahari menyengat di Kelurahan Tirto, Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (26/2/2020) siang. Bus, truk, mobil, dan sepeda motor yang tengah melaju di jalan nasional pantai utara Jawa melaju perlahan kala para pengemudi melihat tulisan ”Dapur Umum RT 02/RW 01 Tirto” di sisi jalan.
Di balik tulisan itu berdiri tenda terpal berwarna biru yang merupakan salah satu posko mandiri bencana di Tirto. Hanya berjarak 10 meter dari tenda, air menggenangi jalan dan puluhan rumah warga dengan ketinggian sekitar 40 sentimeter (cm). Tiga hari berlalu, air belum surut.
”Kebanyakan warga jadi berkumpul di posko ini. Kalau malam, sebagian warga juga menggelar tikar di trotoar karena kamar tidur sudah terendam. Sebagian lainnya ada yang mengungsi di Masjid Al-Karomah, Tirto,” kata Arofah (48), warga setempat. Menurut Arofah yang tinggal di Kota Pekalongan sejak pertengahan 1990, banjir sudah menjadi langganan setiap tahun.
Mudah-mudahan, banjir tahunan bisa segera teratasi.
Bahkan, sebelumnya banjir bisa lebih tinggi karena bercampur rob atau limpasan air laut. Kini, rob sudah tertangani. Namun, luapan Kali Bremi masih menjadi ancaman. Setiap mendirikan posko kala banjir, tak jarang sumbangan logistik datang dari orang-orang yang sedang melintas.
”Alhamdulillah, ada yang memberi bahan makanan hingga mi instan. Setiap banjir pasti menjadi lebih sering makan mi instan. Makanya, rambut makin keriting seperti ini,” kata Arofah bercanda. Lantaran sudah terbiasa dengan banjir, Nur Hasanah (40), warga Tirto lainnya, hafal betul apa yang mesti dilakukannya. Saban memasuki musim hujan, barang-barang elektronik dijauhkan dari lantai. Pakaian juga ditempatkan di tempat yang lebih tinggi.
Kesiapsiagaan harus ditingkatkan. Beberapa pasang sepatu bot juga disiapkan untuk dirinya, suami, dan ketiga anaknya. ”Namun, terkadang pada akhirnya enggak terpakai juga karena banjirnya sampai paha. Mudah-mudahan, banjir tahunan bisa segera teratasi,” kata Nur.
Kecamatan Pekalongan Barat dan Pekalongan Utara memang dua wilayah yang paling terdampak banjir. Tingginya intensitas hujan membuat Kali Bremi dan Meduri meluap. Begitu juga drainase kota. Akhir Februari 2020, sekitar 80 persen wilayah Kota Pekalongan terdampak.
Lebih dari 1.500 warga terdampak banjir yang menggenang hingga setinggi 100 cm tersebut. Lebih dari 10 tempat pengungsian disiapkan, juga sejumlah lokasi pengungsian mandiri. Pengungsian dan dapur umum utama terletak di Stadion Hoegeng, Kota Pekalongan.
Pernah saat sedang tidur, saat bangun, tahu-tahu lantai sudah terendam.
Muryanto (38), warga Pasirsari, Pekalongan Barat, yang mengungsi di Stadion Hoegeng, mengatakan, banjir juga dipengaruhi tingkat intensitas hujan di daerah hulu atau selatan Kota Pekalongan. Apabila hujan deras berlangsung lama di daerah selatan, banjir di Kota Pekalongan tak terelakkan.
Terkadang ia tak bisa menebak kapan banjir datang. ”Pernah saat sedang tidur, saat bangun, tahu-tahu lantai sudah terendam. Setiap tahun pasti mengungsi di Stadion Hoegeng. Saya sampai hafal di ruangan mana atau sebelah mana saya ditempatkan,” katanya.
Penanganan
Kepala Pelaksana Harian BPBD Kota Pekalongan Saminta mengatakan, penanganan banjir diupayakan dengan menumpuk karung berisi pasir di sepanjang Kali Bremi sebagai penahan. Lebih dari 29.000 karung ditempatkan, termasuk bantuan 25.000 karung dari Pemerintah Provinsi Jateng.
Selain pendangkalan Kali Bremi dan Meduri, berkurangnya daya tampung sistem drainase kota juga menjadi penyebab banjir yang selalu terjadi setiap tahun. Penurunan muka tanah yang terus terjadi turut membuat sejumlah rumah cepat terendam air sungai yang meluap.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Pekalongan Nur Priyantomo menambahkan, saat ini beberapa titik pada sistem drainase kota tersumbat. Bangunan liar dan sampah-sampah yang dibuang sembarangan menjadi penyebab. Kondisi tersebut diperparah dengan perbedaan elevasi yang membuat air mengalir cepat ke utara.
”Tahun ini, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan membuat rencana induk drainase. Diharapkan pada 2021 dieksekusi berdasarkan prioritas. Detailnya belum tahu, tetapi diharapkan ada sistem drainase yang baik dan terhubung satu sama lain,” kata Priyantomo.
Ia menambahkan, sejak 2019, pembuatan sumur dalam di Kota Pekalongan dimoratorium. Harapannya, saat ketersediaan air baku sudah mencukupi, perusahaan daerah air minum (PDAM) dapat menjangkau seluruh wilayah Kota Pekalongan. Saat itu terjadi, Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) diharapkan tak lagi difungsikan.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana Ruhban Ruzziyatno menjelaskan, pengendalian banjir dan rob di Pekalongan terdiri atas tiga paket yang mencakup Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Setiap paket itu, antara lain, berisi pengerjaan tanggul dan bangunan penahan air (long storage) serta rumah pompa.
Sebagian besar paket sudah tuntas dikerjakan, tinggal menunggu revitalisasi Pintu Air Bremi serta proteksi tanggul pertemuan Kali Bremi dan Meduri. ”Yang belum (penanganan) Bremi-Meduri dan yang paling berdampak memang kedua sungai itu. Tahun ini dimulai. Juga akan ada penambahan pompa. Delapan pompa masing-masing 2 meter kubik per detik,” ujar Ruhban.
Seiring pembangunan daerah yang terus berkembang di sejumlah daerah di pantura Jateng, daya dukung lingkungan perlu diperhatikan. Permasalahan menahun, seperti penurunan muka tanah dan banjir, diharapkan tuntas dengan menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian lingkungan.