Di Tengah Wabah Covid, Buruh Sawit Tetap Bekerja di Kebun
Di tengah merebaknya wabah Covid-19, perusahaan perkebunan sawit masih terus beroperasi, buruh sawit masih bekerja di kebun. Akses masuk ke kebun diperketat. Jumlah tenaga kerja pun dibatasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Di tengah merebaknya wabah Covid-19, perusahaan perkebunan sawit masih terus beroperasi dan buruh sawit masih bekerja di kebun. Akses masuk ke kebun diperketat. Jumlah tenaga kerja pun dibatasi.
Hingga Minggu (5/4/2020) sore, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terkonfirmasi positif mencapai 2.273 orang dengan jumlah pasien yang sembuh sebanyak 164 orang. Sementara jumlah kasus kematian mencapai 198 orang.
Di Kalimantan Tengah, jumlah kasus positif sudah mencapai 19 orang, rinciannya 14 orang di Kota Palangkaraya, 2 orang di Kabupaten Kotawaringin Barat, dan 3 orang di Kotawaringin Timur. Lima orang dinyatakan sembuh atau sudah dua kali menjalani pemeriksaan dengan hasil negatif, belum ada yang meninggal, dan terdapat 593 orang dalam pantauan (ODP) ditambah 54 pasien dalam pengawasan (PDP).
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kalimantan Tengah Halind Ardi menjelaskan, semua perusahaan sawit, khususnya yang menjadi anggota Gapki Kalteng, tetap beroperasi meski dalam kondisi penyebaran Covid-19. Namun, pihaknya memberlakukan protokol kesehatan sesuai dengan perintah pemerintah.
”Mereka tetap bekerja di kebun, tetapi tetap memperhatikan pembatasan sosial, yang biasa ngumpul itu sekarang sudah berkurang, bahkan tidak ada,” kata Halind.
Meskipun tetap bekerja seperti biasa, Halind melanjutkan, akses keluar dan masuk perusahaan dibatasi. Karyawan dan staf yang masuk di wilayah perkebunan tidak bisa keluar dan masuk tanpa izin dan keperluan yang jelas.
”Akses keluar masuk sekarang sangat ketat jadi benar-benar gak bisa sembarangan, kecuali ada keperluan mendadak sekali,” kata Halind.
Selain membatasi akses keluar masuk, lanjut Halind, pihaknya bersama 114 perusahaan yang menjadi anggota Gapki Kalteng juga sepakat untuk menghentikan sementara rekrutmen tenaga kerja antarkerja antardaerah (AKAD). Keputusan itu diambil karena tenaga kerja AKAD lebih cepat berpindah dari perusahaan satu ke perusahaan lain, sementara hal itu dinilai akan rentan memperluas penyebaran virus.
Mereka tetap bekerja di kebun, tetapi tetap memperhatikan pembatasan sosial, yang biasa ngumpul itu sekarang sudah berkurang, bahkan tidak ada.
”Tenaga kerja ini (AKAD) bisa dari luar pulau dan mereka tidak lama, setahun lalu pindah lagi ke perusahaan lain, nah yang seperti ini sementara ditutup dulu,” kata Halind.
Halind menjelaskan, setiap perusahaan wajib memiliki stok sembako untuk memenuhi kebutuhan para buruh. Meskipun demikian, para buruh tetap harus mengeluarkan uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam kebun. ”Kan, ada koperasi, jadi nanti tenaga kerja bisa beli di situ enggak perlu keluar,” kata Halind.
Dalam kondisi bencana nonalam ini, Gapki Kalteng juga menyalurkan bantuan kepada pemerintah khususnya tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Bantuan itu berupa 4.000 masker medis dan 50 baju pelindung kepada petugas medis di rumah sakit rujukan Covid-19 di Kalteng.
Dari data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, terdapat 183 perusahaan yang masih beroperasi dengan total luas lahan 1,6 juta hektar atau 25 kali luas DKI Jakarta. Jumlahnya pun belum termasuk perusahan yang belum beroperasi karena masih mengurus perizinan. Jumlah tenaga kerjanya pun mencapai 756.000 orang pada tahun 2018.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) meminta pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk menghentikan sementara perusahan yang beroperasi, khususnya di atas tanah adat maupun di wilayah kelola rakyat. Perusahaan diminta fokus pada kesehatan masyarakat dan pekerjanya.
”Dengan menghentikan aktivitasnya, mereka membantu pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran wabah mematikan ini,” kata Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati, atau yang biasa dipanggil Yaya.
Yaya menjelaskan, pemerintah harus segera mengambil sikap untuk mengutamakan keselamatan rakyat dibanding kepentingan korporasi. ”Yang terpenting itu memberikan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat,” katanya.