Demi Masa Depan Anak, Mereka Rela Keluar dari Hutan
Pemerintah semestinya menjamin masyarakat Komunitas Adat Tertinggal dapat mengakses berbagai layanan sosial, kesehatan, pendidikan, meskipun mereka tetap memilih tinggal di pelosok atau pedalaman terpencil.
Bertahun-tahun hidup terpencil dengan pelayanan sosial yang minim mendorong warga di pelosok Gunung Datahedaa, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, keluar dari hutan yang selama ini menjadi tempat bernaung dan menggantungkan hidup. Satu hal yang membuat mereka mengambil keputusan besar ini adalah memastikan anak-anak bisa bersekolah.
Hari Selasa (3/3/2020) adalah hari bersejarah bagi Ishak Pakiun (53) dan Asiah Hulalata (43) serta keluarganya. Hari itu, keluarga ini menempati rumah barunya di Desa Rumbia, Kecamatan Botumoito, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sepanjang hidup, mereka tinggal di kawasan hutan, yang dikenal dengan nama Gunung Datahedaa.
”Dari lahir torang so ditinggal di kobong. Torang pe orang tua juga bagitu, so turun temurun tinggal di kobong (sejak lahir kami sudah tinggal di kebun. Orangtua kami juga begitu, sudah turun temurun tinggal di kebun),” ujar Ishak, saat ditemui di rumah barunya seusai peresmian lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) di Dusun Tumba, Desa Rumbia, Rabu petang.
Bertahun-tahun hidup di daerah terpencil dan sulit mengakses berbagai layanan sosial, mendorong keluarga Ishak dan puluhan keluarga lainnya mengambil keputusan, keluar dari hutan yang selama ini menjadi tempat mereka bernaung dan menggantungkan hidup.
Kami pindah demi torang pe anak- anak, (demi anak-anak kami) supaya bisa gampang ke sekolah.
Mereka memutuskan menerima bantuan rumah dari pemerintah yang dibangun Kementerian Sosial di Dusun Tumpa. Tidak mudah mengambil keputusan tersebut. Namun, pilihan itu harus diambil Ishak dan keluarganya. ”Kami pindah demi torang pe anak- anak, (demi anak-anak kami) supaya bisa gampang ke sekolah,” kata Asiah.
Bagi Ishak dan Asiah, hidup di hutan sudah menjadi tradisi dalam keluarga besarnya. Tujuh saudaranya semua lahir di Datahedaa, begitu juga dengan Asiah yang memiliki 11 saudara. Pada masa kecil, Ishak mengaku pernah bersekolah, tetapi hanya sampai kelas III sekolah dasar (SD). Sementara Asiah hanya sempat masuk kelas I SD, tetapi kemudian berhenti bersekolah. Jarak yang jauh dan jalan yang sulit ditempuh dari gunung menuju desa membuat keduanya putus sekolah.
Baca juga : Pemerintah Janji Lindungi Hak Berkebudayaan dan Hak Kewarganegaraan
Saat menikah sekitar 27 tahun yang lalu, Ishak dan Asiah turun ke desa, kemudian kembali ke Datahedaa lagi. Semua anak mereka (tujuh orang) dilahirkan Asiah di hutan dengan bantuan hulango (seorang yang membantu proses persalinan di kampung). Yang sulung berusia 24 tahun, dan yang bungsu berusia sekitar 9 tahun. Semua anaknya tidak tersentuh imunisasi.
Dari sisi pendidikan, nasib anak-anak mereka agak lebih baik. Beberapa di antaranya bisa sekolah sampai sekolah menengah pertama. Bahkan, Wasmi anak kedua bisa sampai lulus madrasah aliyah (MA). Itu karena Asiah menitipkan Wasmi untuk tinggal dengan saudaranya di desa.
Wasmi bercerita, sejak SD hingga SMP, untuk berangkat ke sekolah, dia dan anak-anak di Gunung Datahedaa harus berjalan kaki sebelum pukul 05.00. Mereka menembus kegelapan dengan berbekal lampu senter.
Baca juga : Putusan PTUN Sebut Lahan BPODT Merupakan Hutan Adat
Saat berangkat sekolah, mereka biasanya belum menggunakan seragam dan sepatu. Begitu juga sebaliknya, pulang sekolah langsung ganti baju biasa. Menjelang sore hari, biasanya mereka baru sampai di gunung. ”Harus bangun pagi-pagi sekali karena jauh sekali sekolahnya. Kadang-kadang terlambat,” ujar Wasmi (24).
Tidak hanya jarak, saat kondisi cuaca hujan, anak-anak di gunung tak berdaya. Ketika hujan, mereka tidak berangkat sekolah. Maka, tak banyak anak- anak di gunung yang bisa menyelesaikan pendidikan.
Jejeran rumah baru yang dibangun Kementerian Sosial di Lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Dusun Tumba, Desa Rumbia.Selama tinggal di hutan, mereka menempati ”rumah kayu”. Ishak dan Asiah menanam jagung, cabai, tomat, dan sayuran lainnya. Jika jagung belum panen, Ishak biasanya turun ke desa, menjadi buruh harian membersihkan lahan-lahan pertanian warga desa setempat.
Tinggal di hutan bukan hal mudah. Apalagi saat kondisi alam tidak bersahabat. Terutama ketika jatuh sakit, mereka harus turun ke desa. Mereka juga tidak bisa mengakses pendidikan layak, tetapi mereka tidak punya pilihan karena dari hutanlah mereka bergantung.
Keluarga Ishak adalah salah satu dari 33 kepala keluarga (KK) KAT di Desa Rumbia, yang menerima bantuan rumah dari pemerintah. Ada 39 rumah yang dibangun di desa tersebut untuk KAT. Selama puluhan tahun, mereka tinggal di kawasan hutan Datahedaa, yang jaraknya dengan Desa Rumbia sekitar 8 kilometer dengan waktu tempuh dua sampai tiga jam jalan kaki.
Tetapi, kalau ada yang menghendaki tetap di hutan, tetap kami berdayakan
Kepala Desa Rumbia Rudin Dai (47) menyatakan, program pemberdayaan KAT yang memindahkan warga di hutan ke Desa Rumbia sudah berlangsung tiga kali. Total rumah yang dibangun 122 unit. Di Gorontalo, program pemberdayaan KAT juga menyasar masyarakat di Kabupaten Gorontalo Utara dan Kabupaten Pohuwato.
Kemensos sendiri, menurut Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial (Dayasos) Kemensos, Pepen Nazaruddin menerapkan dua cara untuk pemberdayaan KAT, yakni in situ (tetap berada di lokasi asal) dan ex situ (membawa keluar dari lokasi asal ke lokasi baru).
Masyarakat yang masuk kategori KAT didekati. Bagi yang bersedia keluar dari hutan, pemerintah daerah akan menyiapkan lahan, serta Kemensos akan membangun rumah dan memberikan dukungan kepada mereka, terutama agar mereka tetap memiliki mata pencarian setelah pindah ke lokasi baru. ”Tetapi, kalau ada yang menghendaki tetap di hutan, tetap kami berdayakan,” kata Pepen.
Tersebar di 24 provinsi
KAT di Provinsi Gorontalo hanyalah sebagian kecil dari KAT yang tersebar di 24 provinsi di Tanah Air. Berdasarkan basis data pemberdayaan KAT Tahun 2015-2019, KAT yang belum diberdayakan berjumlah sekitar 130.000 KK yang tersebar di 24 provinsi, 207 kabupaten, 801 kecamatan, 1.758 desa, dan 2.019 lokasi.
Hingga tahun 2017, total yang masuk data pemberdayaan KAT sebanyak 249.282 KK. Dari jumlah tersebut, yang sudah mendapatkan program pemerintah baru 101.519 KK (40,72 persen), dan sedang berlangsung 3.845 KK (1,54 persen). Adapun jumlah yang belum diberdayakan 143.918 KK (57,73 persen). KAT yang paling banyak di Papua, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Jambi.
Hingga 2017, sebenarnya jumlah KAT yang belum tersentuh program pemerintah malah meningkat, menjadi sekitar 150.000 KK (bertambah 11.631 KK) yang tersebar di 24 provinsi, 206 kabupaten, 865 kecamatan, 2.003 desa, dan 2.349 lokasi. Bertambahnya jumlah KAT karena pemekaran wilayah sehingga wilayah KAT baru teridentifikasi.
La Ode Taufik Nuryadin, Direktur Pemberdayaan KAT, Ditjen Dayasos, Kemensos, menambahkan, program pemberdayaan KAT tidak diberikan begitu saja, tetapi ada kriterianya, yakni memiliki keterbatasan akses pelayanan sosial dasar; tertutup, homogen, dan penghidupannya bergantung pada sumber daya alam; marjinal di perdesaan dan perkotaan; serta tinggal di wilayah perbatasan antarnegara, daerah pesisir, pulau-pulau terluar, dan terpencil. Dari kriteria itulah bantuan sosial diberikan.
Berpindah tempat tinggal tentu bukanlah hal yang mudah. Persoalannya tidak hanya sekadar berpindah tempat bermukim, tetapi lebih dari itu. Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, pola dan gaya hidup berbeda, termasuk mata pencarian sehari-hari. Jika tidak benar- benar siap, dikhawatirkan mereka akan mengalami masalah baru.
Karena itu, hingga kini sejumlah suku dan masyarakat adat masih memilih bertahan tinggal di kawasan-kawasan hutan adat, mempertahankan dan menjaga kawasan hutan adat. Bahkan, sejumlah suku tetap melestarikan tradisinya tanpa terpengaruh dengan modernisasi, misalnya, suku Baduy (Banten), suku Anak Dalam (Jambi), suku Mentawai (Sumatera Barat), suku Dayak (Kalimantan), atau suku-suku di Papua.
Pemberdayaan masyarakat di daerah terpencil adalah pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah. Paling tidak bagaimana pemerintah menjamin masyarakat yang masuk dalam KAT dapat mengakses berbagai layanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain meskipun mereka tetap memilih tinggal di pelosok, pedalaman, atau daerah terpencil.
Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran, seharusnya perhatian terhadap KAT menjadi prioritas. Apalagi dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, ada prinsip jangan ada satu pun yang tertinggal.