Sukanto Reksohadiprodjo, Pemimpin Egaliter dan Tekun Itu Telah Pergi
Rektor Universitas Gadjah Mada periode 1994-1998 Sukanto Reksohadiprodjo mengembuskan napas terakhirnya pada usia 79 tahun, Jumat (10/4/2020), di Yogyakarta. Semasa hidup, ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang egaliter.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rektor Universitas Gadjah Mada periode 1994-1998 Sukanto Reksohadiprodjo mengembuskan napas terakhirnya pada usia 79 tahun di Yogyakarta, Jumat (10/4/2020). Semasa hidup, ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang egaliter dan tekun. Kepergian Sukanto membuatnya akan selalu dirindukan siapa pun yang pernah mengenalnya.
”Saya merasa betul-betul kehilangan karena beliau di mata saya tidak sekadar guru, tetapi juga bapak yang mengajarkan banyak hal baik,” kata Agus Sartono, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), di sela-sela acara penghormatan terakhir bagi Sukanto, di Balairung UGM, Yogyakarta, Jumat siang.
Agus merupakan asisten Sukanto sewaktu Sukanto menjadi dosen mata kuliah Business Forecasting, di FEB UGM, pada 1986. Semua asistennya diperlakukan sebagai kawan. Sukanto dinilai tidak arogan sama sekali kendati ahli di bidang ekonomi. Agus merasa bersyukur dilibatkan dalam berbagai penelitian yang ditangani Sukanto saat itu.
Sikap egaliter Sukanto ditunjukkan pula di luar kelas. Sukanto kerap mengajak asisten-asisten dosen untuk berolahraga bersama. Biasanya, olahraga yang dipilih itu voli. Menurut Agus, saat bermain voli, jabatan-jabatan itu ditanggalkan. Yang tampak tinggal kedekatan di antara sesama sivitas akademika.
”Waktu voli, tidak ada lagi mana dekan dan mana dosen. Semuanya sama. Beliau tidak menjaga jarak sama sekali. Betapa egaliternya. Ini juga untuk membangun kedekatan sehingga tidak canggung satu sama lain saat di kampus,” kata Agus.
Selain itu, salah satu hal yang tidak bisa dilupakan Agus adalah kedermawanan almarhum. Peristiwa itu terjadi ketika kelahiran anak pertama Agus pada 1987. Gaji pertama Agus sebagai calon pegawai negeri sipil hanya Rp 60.000. Sukanto memberikan sumbangan lima kali lipat dari gaji Agus sewaktu menjenguk kelahiran anak pertama Agus.
”Beliau memberikan uangnya sendiri. Saat itu, Rp 300.000 jumlah yang sangat besar. Bisa dibayangkan waktu itu,” kata Agus.
Dekan FEB UGM Eko Suwardi membenarkan sifat egaliter Sukanto. Ia merasakannya sewaktu masih menjadi asisten Sukanto pada 1988. Eko bercerita, Sukanto kerap mencairkan suasana dengan kelakarnya. Biasanya, ia meledek kosongnya bekas kaleng makanan yang biasa digunakan untuk ”patungan” membeli makanan.
”Ketika masuk ke ruang dosen, beliau mengocok kaleng dan tidak ada suaranya. Artinya, tidak ada isinya. Lalu, beliau mengisi kaleng tersebut dengan uang. Nanti uang itu yang kami gunakan untuk membeli makanan,” kenang Eko.
Eko menambahkan, Sukanto juga selalu membesarkan hati dosen-dosen muda kala itu. Sukanto berhasil menempatkan diri sebagai sosok pemimpin yang disegani tanpa membuat bawahannya ketakutan. ”Beliau juga mengajarkan kami untuk mengerjakan sesuatu dengan cara yang serius, tetapi tidak menakutkan. Bisa dengan cara-cara yang menyenangkan,” katanya.
Sukanto dikenal pula sebagai sosok yang tekun.
Sukanto dikenal pula sebagai sosok yang tekun. Sekitar pukul 07.00, ia telah tiba di kampus. Asistennya pun ikut datang pagi sekali menyesuaikan kedatangannya. Waktu pagi, digunakan Sukanto untuk menulis, baik itu untuk materi persiapan kuliah maupun karya ilmiah yang akan dimuat di berbagai jurnal ekonomi. Ketekunan itu tampak dari capaian prestasi akademiknya.
Tekad belajar
Karier akademik Sukanto dimulai sebagai asisten dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM pada 1962, satu tahun setelah ia lulus dari fakultas tersebut. Di tengah-tengah masa menjadi asisten dosen, ia memperoleh beasiswa pendidikan S-2 di Universitas Illinois, Amerika Serikat, dan berhasil lulus dengan gelar Master of Commerce pada 1964.
Tekad belajar Sukanto tak pernah berhenti. Selanjutnya, ia memperoleh gelar Master of Arts di University of Colorado, Amerika Serikat. Di kampus yang sama, ia menempuh jenjang pendidikan doktor. Gelar doktor di bidang ilmu ekonomi energi dan lingkungan berhasil diperolehnya pada 1981.
Ketekunan Sukanto seiring dengan pandangannya yang menghargai proses belajar. Menurut dia, belajar itu tidak bisa dilakukan secara instan. Ilmuwan yang tangguh dilahirkan melalui proses penempaan yang panjang. Tidak bisa seperti kisah Bandung Bondowoso yang menginginkan 1.000 candi dibangun dalam waktu semalam saja (Kompas, 21 Maret 1994).
Sukanto dua kali menjadi dekan sebelum akhirnya menjabat sebagai Rektor UGM. Jabatan Dekan FEB dipegangnya selama dua periode, yakni 1982-1985 dan 1985-1988. Kemudian, sejak 1992, ia juga menjabat sebagai Guru Besar FEB UGM. Pidato pengukuhan guru besarnya, berjudul ”Ekonomi Sumber Daya Alam dan Pembangunan Nasional”, disampaikannya di depan Rapat Senat Terbuka UGM pada 4 Maret 1989.
”Beliau merupakan sosok pekerja keras yang senantiasa membaktikan darma hidupnya untuk bangsa dan negara. Hal ini bisa disaksikan dari pengabdian almarhum, baik sebagai dekan maupun rektor di UGM. Juga pengabdian lain di tingkat nasional,” kata Rektor UGM Panut Mulyono.
Di tingkat nasional, Sukanto pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Keuangan pada 1998-1991. Sukanto juga menduduki jabatan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal pada 1991-1993.
”Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran semuanya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahanda kami,” ucap Nindito (48), putra almarhum, sambil terisak, dalam acara penghormatan terakhir kepada Sukanto.