Pengalaman Wartawan Kompas di Sumatera Selatan dalam meliput konflik antara harimau dan penduduk desa. Kewaspadaan menjadi kunci saat masih berada di kawasan perkebunan yang dekat dengan hutan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Menikmati senja sembari menyeruput kopi menjadi kegiatan saya pada Minggu (17/11/2019) sore kala itu, sambil ditemani seorang teman wartawan. Tiba-tiba, saya menerima informasi, ada seekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) menerkam warga bernama Kuswanto (57) di Desa Pulau Panas, Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Hal ini cukup mengagetkan, sesegera mungkin saya mencari konfirmasi dengan pihak terkait dan membuat beritanya. Saya rasa, berita penerkaman berhenti di hari itu saja, ternyata perkiraan saya salah besar. Dalam satu bulan terakhir, ada lima kali konflik antara manusia dengan harimau sumatera. Dampaknya, tiga orang tewas dan dua orang lainnya terluka.
Ini menjadi hal yang tidak biasa, penyerangan secara beruntun dan tergolong brutal oleh harimau sumatera pada manusia. Sebagian besar korbannya adalah petani yang sedang memanen kopi di ladangnya. Padahal, berdasarkan keterangan para pemerhati harimau, harimau Sumatera yang masuk dalam satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) itu, cenderung menghindari manusia.
Tiga daerah menjadi tempat konflik pada rentang November yakni Lahat, Muara Enim, dan Pagar Alam. Ketiganya adalah daerah yang berdekatan, disambungkan oleh jajaran Bukit Barisan.
Melihat fenomena mengerikan ini, tidak pantas rasanya jika hanya mencari fakta dari sambungan telepon saja. Menggali informasi langsung dari lapangan sepertinya akan lebih afdol. Akhirnya, saya memutuskan untuk pergi ke Kabupaten Lahat dan Pagar Alam untuk mencari fakta sebenarnya dari lapangan. Ada rasa ngeri, karena kondisi di sana memang sedang mencekam.
Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah Kota Pagar Alam. Di sana, ada dua kasus konflik manusia dengan harimau. Lokasi pertama ada di kaki Gunung Dempo, tepatnya di lokasi di Tugu Rimau. Di sana, enam wisatawan asal Kabupaten Musi Banyuasin juga diserang harimau di kawasan tersebut, satu orang mengalami luka di bagian wajah.
Lokasi kedua berada di Kawasan Tebat Benawa, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam. Lokasinya sekitar tujuh jam dari ibukota Sumatera selatan, Palembang. Tiba di lokasi itu, saya langsung mengunjungi kepala Adat Desa Benawa, Budiono, untuk mendapatkan penjelasan tentang kondisi desanya.
Kondisinya mencekam. Warga agak takut untuk pergi ke ladang terutama di sore dan malam hari. Budiono pun mengantarkan saya ke salah satu ladang sayur-mayur milik warga. Untuk sampai ke ladang tersebut harus melewati jalan tanah cukup curam sejauh 1 kilometer.
Bagi saya yang belum pernah naik gunung, perjalanan itu lumayan melelahkan. Beberapa kali, saya berhenti sejenak untuk menghela nafas panjang. Beruntung, saat itu peralatan elektronik seperti laptop dan pakaian saya tinggalkan di rumah Pak Budiono, beban saya pun ringan.
Sesampainya di ladang milik warga, kondisi memang mencekam, karena dua minggu sebelum saya datang, ada peristiwa penerkaman harimau di dekat kawasan itu. Satu orang tewas dan satu orang berhasil menyelamatkan diri dari terkaman si raja hutan dengan memanjat sebuah pohon.
Bahkan ketika saya berbincang dengan seorang pertani, bernama Tri Haryanto, dia terkadang melihat sekeliling hutan, dengan membawa parang yang diselipkan di celananya. “Untuk jaga-jaga, kalau saja ada harimau,” ungkapnya. Melihat dedaunan yang bergerak pun sudah membuat Tri waspada, kalau-kalau itu harimau.
Dia bersama seorang petani lain memang menginap di sebuah pondokan dengan ukuran sekitar 3 meter x 3 meter. Pondokan tersebut dibuat agak tinggi sekitar 1,5 meter dari permukaan tanah. Tujuannya tidak lain untuk menghindari binatang buas.
Hari menjelang petang, Budiono pun mengajak saya pulang. Beberapa petani yang dari ladang pun juga memutuskan untuk turun dari ladang. Mereka khawatir jika harimau itu kembali datang. Tanpa pikir panjang, saya pun memutuskan untuk pulang. Ketika pulang, saya selalu menoleh ke belakang bersikap waspada, kalau ada apa-apa.
Warga Tebat Benawa sudah beberapa kali melihat harimau di desa mereka. Namun, memang tidak pernah ada konflik karena mereka sangat menghormati harimau, bahkan di desa itu, sang raja hutan disapa dengan Situe (yang dihormati atau dituakan).
Setelah cukup mendapatkan data dan fakta, saya memutuskan untuk ke lokasi lain yakni di Desa Pulau Panas, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kabupaten Lahat. Di sini juga ada seorang warga yang tewas karena diterkam harimau. Lokasinya memang sangat dekat dengan permukiman warga.
Bahkan Balai Besar Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, membentangkan spanduk peringatan agar warga waspada akan keberadaan satwa buas. Konflik antara harimau dan manusia menguak fakta lapangan bahwa, kondisi ini terjadi karena habitat satwa yang kian tergerus oleh alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan atau bahkan lahan untuk ekspolitasi sumber daya alam yang lain.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat dari BKSDA Sumsel, Martialis Puspito menyebut, fenomena ini dikarenakan ada aktivitas yang menggangu harimau dan juga berkurangnya pakan alami harimau karena diburu oleh manusia. “Konflik ini terjadi karena manusia mengubah habitat harimau menjadi kebun,” katanya.
Bahkan, entah keceplosan atau tidak, Bupati Lahat Cek Ujang yang tampak kesal karena banyak warganya menjadi korban berujar kalau adanya aktivitas perkebunan karena dibiarkan oleh oknum petugas kehutanan, agar bisa melakukan pungutan liar.
Pada 21 Januari 2020, harimau yang diduga menjadi aktor penyerangan beberapa kasus konflik pun, akhirnya ditangkap. Harimau itu adalah harimau muda jantan berusia sekitar 3 tahun. Dia terjebak setelah petugas memasang umpan berupa kambing dan anjing.
Sebelum itu, memang harimau tersebut telah menjelajah di keluar-masuk kawasan hutan dan mendekati pondokan tempat biasa petani beristirahat. “Kebiasaan ini sama dengan sejumlah kasus yang ada,” katanya.
Setelah ditangkap, harimau muda itu dibawa ke Tambling Wildlife Nature Consevation (TNWC), Lampung, Rabu (22/1/2020). Lampung untuk menjalani masa observasi. Hanya saja, harimau muda itu tidak akan mungkin dikembalikan ke alam liar karena bisa membahayakan manusia. “Dia akan diletakan di tempat konservasi yakni di kebun binatang,” kata Genman Hasibuan Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel.
Akhirnya, si raja hutan pun tidak bisa kembali ke hutan dan harus mengalah dengan manusia yang merampas “rumah”-nya. “Atau bahkan, harimau yang ditangkap itu adalah yang terakhir di Sumatera selatan,”kata Ketua Forum Harimau Kita, Yoan Dinata.