Pemda Disarankan Perbanyak Anggaran Penanganan Covid-19 untuk Pos Bantuan Tak Terduga
Total dana yang terkumpul dari realokasi APBD sementara untuk menghadapi Covid-19 mencapai Rp 56,14 triliun. Pemerintah daerah disarankan memberi alokasi dana yang besar ke pos Bantuan Tak Terduga.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar pemerintah daerah sudah merealokasi anggaran untuk percepatan penanganan pandemi Covid-19 dengan kecukupan rata-rata dua hingga empat bulan ke depan. Pemerintah daerah disarankan agar mengalokasikan anggarannya lebih banyak ke pos Bantuan Tak Terduga (BTT).
Hingga Selasa (14/4/2020), masih ada 25 pemerintah daerah yang belum melaporkan realokasi APBD ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dari Data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, dua pemerintah provinsi yang belum melaporkan realokasi APBD adalah Maluku dan Papua.
Selain itu, juga ada tiga pemerintah kabupaten dan kota di Maluku yang belum melaporkan realokasi APBD. Sementara itu, di Papua ada 19 kabupaten dan kota yang juga belum melapor. Di luar itu, ada Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau yang masih belum melapor.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto, Selasa (14/4), mengatakan, total dana yang terkumpul dari realokasi sementara Rp 56,14 triliun. Alokasi paling besar dianggarkan pemda untuk kebutuhan jaring pengaman sosial (JPS), kemudian peningkatan fasilitas kesehatan, dan penanganan dampak ekonomi.
Ardian menjelaskan, kebutuhan anggaran JPS dihitung bervariasi di setiap daerah. Ada daerah yang menganggarkan untuk empat bulan sesuai dengan prediksi masa Covid-19 dari pusat. Ada pula daerah yang menganggarkan hanya untuk dua bulan penanganan. Penghitungan itu dibuat berdasarkan data jumlah penduduk miskin di suatu daerah, serta kemampuan fiskal daerah.
”Pak Menteri (Mendagri) selalu berpesan kepada pemda supaya mereka menghitung kebutuhan daerah berdasarkan skenario terburuk. Sebab, jika uang sisa, masih bisa dirasionalkan untuk kebutuhan lain. Namun, jika pemda menganggarkan dalam waktu singkat, nanti mereka akan kerepotan merealokasi lagi kebutuhan penanganan Covid-19 ini,” ujar Ardian.
Ardian juga menyarankan kepada pemda agar mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD-nya lebih banyak ke pos bantuan tak terduga (BTT). Sebab, BTT bisa menjadi penyelamat saat ada kebutuhan mendadak dan membutuhkan penanganan segera. Pada saat menghadapi pandemi yang bersifat eksponensial, daerah diharapkan bersiap dengan skenario terburuk. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan dana tak terduga.
”Kalau ditanya cukup tidak anggaran yang sudah direalokasi? Itu relatif kurang semuanya. Soalnya ada yang memprediksi Covid-19 ini empat bulan, enam bulan, bahkan sampai 18 bulan,” kata Ardian.
Setiap daerah, lanjut Ardian, juga memakai parameter berbeda-beda untuk menghitung kebutuhan anggaran penanganan Covid-19. Dari alokasi JPS misalnya, ada daerah yang menganggarkan JPS Rp 200.000 per bulan. Ada juga yang besarannya disesuaikan dengan bantuan sosial Kementerian Sosial Rp 600.000 per bulan. Bantuan dari pemda ini diharapkan menutup kekurangan penyaluran dari pemerintah pusat. Sebab, pemerintah pusat juga sudah mengalokasikan anggaran JPS melalui Kementerian Sosial.
”Itulah alasan Pak Presiden dan Wakil Presiden selalu berpesan agar data penduduk miskin diperbaiki. Karena penyaluran bantuan sosial pada masa seperti ini selalu berbasis data yang akurat,” imbuh Ardian.
Diprioritaskan
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Abdullah Azwar Anas, mengatakan, pemda tetap mengupayakan skenario terbaik penanganan Covid-19. Anggaran yang dapat dirasionalisasi akan direalokasikan untuk penanganan Covid-19.
Di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang dipimpin Abdullah Azwar Anas, disiapkan dana Rp 80 miliar untuk kebutuhan selama tiga bulan. Dana tersebut terutama untuk keperluan pemenuhan infrastruktur kesehatan, seperti pembelian disinfektan, cairan cuci tangan berbasis alkohol, dan program JPS. Anggaran yang bisa dirasionalisasi berasal dari honor pegawai, alat tulis kantor, rapat, dan perjalanan dinas dipangkas.
”Kami juga sudah memiliki skenario kedua jika Covid-19 ini berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Kami akan menggeser beberapa alokasi anggaran,” kata Azwar Anas.
Menurut Azwar, pemda rata-rata tertib dan mengikuti seluruh arahan dari Kementerian Dalam Negeri dalam realokasi dana. Sejumlah pos anggaran, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) pun juga dialokasikan lebih besar untuk penanganan Covid-19. Tidak hanya dana APBD, alokasi dana desa pun digeser sekitar 10-15 persen untuk bantuan langsung tunai (BLT) desa.
Dengan kondisi tersebut, Azwar memprediksi APBD pada 2021 akan defisit. Sebab, pendapatan asli daerah (PAD) merosot. Sementara dana transfer dari pusat baik dana alokasi umum (DAU), maupun dana alokasi khusus (DAK) juga menurun.
Responsif
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam keterangan tertulis mengatakan, pemda diminta responsif merealokasi anggaran dan segera menyesuaikan APBD 2020. Apalagi, tenggat pelaporan yang semula ditarget selama tujuh hari, mundur selama dua pekan.
Kelonggaran tenggat itu ditetapkan setelah terbit Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Penanganan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional. Surat ditandatangani pada 9 April lalu. Terbitnya aturan itu membuat tenggat pelaporan realokasi APBD mundur menjadi 23 April.
”Kami ingin Pemda responsif untuk melakukan penanganan dan penyesuaian APBD. Ini kerja orkestra, kami harus sinergi, kerja sama, untuk melakukan penanganan Covid-19, dan kita harus memastikan semua daerah satu visi untuk hal itu,” kata Tito.
Kepala daerah yang belum menyampaikan laporan penyesuaian APBD hingga tenggat yang ditentukan akan mendapatkan sanksi penundaan penyaluran DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH). Penundaan penyaluran DAU dan DBH dilakukan sampai kepala daerah menyampaikan laporan penyesuaian APBD kepada Menkeu. Namun, jika sampai akhir tahun 2020, daerah tak juga menyampaikan laporan, DAU dan DBH tidak akan disalurkan ke pemda.
Dalam SKB 177 tersebut juga diatur mengenai pengawasan dan evaluasi realokasi APBD 2020, yang dilakukan berjenjang melalui pembinaan pengawasan dari Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri dan Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu.
”Ini merupakan kepastian dan penegasan payung hukum bagi daerah untuk segera melakukan penyesuaian APBD untuk aspek kesehatan, ekonomi, dan jaring pengamanan sosial untuk masyarakat yang terdampak Covid-19,” ujar Tito.