PT ATGA Divonis Bayar Kerugian Karhutla Rp 590 Miliar
Hakim Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas kebakaran di lahan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi di Jambi tahun 2015. Perusahaan harus membayar Rp 590 miliar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap sebuah perusahaan kebun sawit di Jambi, PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi. Perusahaan itu dihukum membayar kerugian materiil dan lingkungan senilai total Rp 590,5 miliar.
Majelis hakim yang diketuai Viktor Togi menyatakan perusahaan selaku tergugat harus bertanggung jawab mutlak (strick liability) atas kerugian lingkungan yang timbul akibat kebakaran seluas 1.500 hektar di lahan kebun perusahaan itu tahun 2015. Karena itu, hakim menghukum perusahaan untuk membayar ganti kerugian materiil ataupun lingkungan senilai Rp 590,5 miliar kepada penggugat.
Terkait vonis yang dibacakan dalam sidang telekonferensi pada Senin (13/4/2020) sore, baik pihak penggugat maupun tergugat menyatakan pikir-pikir dulu. ”Masih akan kami pelajari dulu. Kami belum menerima salinan putusannya,” ujar Andi Suwandi, Juru Bicara PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA), Selasa (14/4).
Jaksa penuntut umum yang diwakili Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi, Lexy Fatharani, menjelaskan, kebakaran itu terjadi lima tahun lalu di lokasi kebun perusahaan di Kecamatan Muara Sabak Timur, Kecamatan Muara Sabak Barat, Kecamatan Dendang, dan Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. ”Saat itu, areal budidaya perusahaan mengalami kebakaran,” ujarnya.
Peristiwa itu menimbulkan kerugian materiil dan lingkungan.
Ditambahkan Agus Suyono, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Jambi, gugatan diajukan sejak April 2019. Dari 12.400 hektar lahan kelola perusahaan, 1.500 hektar mengalami kebakaran. Peristiwa itu menimbulkan kerugian materiil dan lingkungan. Besarnya kerugian materiil dinilai Rp 160,09 miliar yang meliputi kerugian ekologis Rp 112,171 miliar dan kerugian ekonomis Rp 47,92 miliar.
Selain itu, pihaknya menuntut biaya pemulihan sebesar Rp 366 miliar, biaya pengaktifkan fungsi ekologis yang hilang senilai Rp 13,46 miliar, pembangunan dan perbaikan sistem hidrologi di lahan gambut Rp 18 miliar, revegetasi Rp 30 miliar, verifikasi sengketa lingkungan hidup Rp 86 juta, serta pengawasan pelaksanaan pemulihan Rp 2,9 miliar.
Dengan demikian, total nilai gugatan Rp 590,5 miliar. ”Gugatan ini sebagai bagian dari upaya pemerintah menghukum korporasi supaya tidak melakukan kelalaian yang sama di kemudian hari,” lanjutnya.
Saksi ahli dari KLHK, Bambang Hero Saharjo, mengatakan, putusan ini menjadi bukti bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan perlu dibarengi upaya tegas aparat penegak hukum. Upaya itu juga menjadi pengingat korporasi agar di kemudian hari tidak lalai ataupun mencoba mencari peruntungan dengan melegalkan penggunaan api dalam pembukaan lahan. ”Tidak akan dibenarkan, baik itu sengaja maupun lalai,” katanya.
Penggunaan pasal tanggung jawab mutlak (strick liability) dinilai sesuai untuk menghukum korporasi yang lahannya menjadi sumber penyebab kerusakan lingkungan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan limbah B3, menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Disebutkan pula yang dimaksud tanggung jawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Timbulnya tanggung jawab seketika pada saat terjadinya peristiwa.