Saat pandemi ’’Corona virus disease 2019’’ atau Covid-19 merongrong pikiran sebagian masyarakat di perkotaan, warga suku Dayak di pedalaman terselamatkan oleh hutan.
Oleh
Sucipto
·4 menit baca
Saat pandemi Corona virus disease 2019 atau Covid-19 merongrong pikiran sebagian masyarakat di perkotaan, warga suku Dayak di pedalaman terselamatkan oleh hutan. Kerapatan hutan dan sulitnya mengakses kampung membuat mobilitas orang mudah diawasi. Hutan juga menyediakan pangan saat mereka mengisolasi diri dari dunia luar.
Suku Dayak Long Gliit di Desa Long Tuyoq bertetangga kampung dengan suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe di Desa Liu Mulang. Kedua desa itu berada di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Di hulu Sungai Mahakam itu, sejak Maret 2020, suku Dayak di sana menutup wisata budaya dan alam. Padahal, wisata itu baru mereka rintis beberapa bulan belakangan. Sejak Pemerintah Provinsi Kaltim mengabarkan bahwa Covid-19 mudah menular, mereka langsung menutup akses orang dari luar kota untuk berwisata ke sana.
”Menurut rencana, bulan April ini akan ada wisatawan dari Singapura yang datang. Namun, kami sarankan untuk datang ketika kondisi sudah dinyatakan aman,” kata Kepala Desa Long Tuyoq Alexander Ajang Blawing, Minggu (12/4/2020). Penduduk desa juga membentuk tim dengan petugas puskesmas untuk memeriksa orang-orang yang datang. Mereka berjaga di pelabuhan perahu kayu di depan pintu gerbang desa, akses satu-satunya masuk ke kedua desa itu.
Selain suhu tubuh, mereka yang melintas juga ditanyakan riwayat kepergian mereka selama 14 hari terakhir. Jika ada yang bepergian dari tempat yang sudah terjangkit Covid-19, mereka diminta untuk mengisolasi diri di sebuah rumah yang sudah disediakan. Suku Dayak di sana juga diuntungkan dengan letak desa yang berada di tengah hutan Kalimantan dan hulu Sungai Mahakam.
Satu-satunya akses menuju ke sana adalah melalui Sungai Mahakam. Desa Liu Mulang dan Desa Long Tuyoq bisa dijangkau dari pusat pemerintahan Mahakam Ulu di Desa Ujoh Bilang menggunakan perahu bermesin selama 3-4 jam. Dengan begitu, orang yang berkunjung ke desa pasti melalui pelabuhan kecil di desa dan mudah diketahui.
Setelah mendengar kabar pandemi Covid-19, suku Dayak Long Tuyoq mengadakan ritual tolak bala yang disebut hang bengan. Hang berarti ’batas’ dan bengan berarti ’penyakit’. Ritual itu dilaksanakan agar penyakit dan anggota suku Dayak berjarak dengan penyakit.
Pada ritual hang bengan, setiap keluarga membuat patung kayu sejumlah anggota keluarga. Benang pakaian milik setiap anggota keluarga kemudian diikatkan ke patung-patung itu sebagai simbol bahwa patung-patung itu merepresentasikan setiap orang pemilik benang itu. Setiap anggota keluarga kemudian berdoa agar penyakit yang mewabah di sekitar mereka segera berakhir.
Setelah itu, setiap anggota keluarga meludah ke patung mereka. Kepala Suku Dayak Long Gliit Blawing Belareq mengatakan, aktivitas meludah itu simbol agar setiap penyakit yang ada di tubuh orang itu berpindah ke patung kayu. Setelah itu, setiap orang berdiam diri di rumah sehari. ”Tidak ada yang boleh keluar agar berjarak dengan penyakit,” kata Blawing.
Setelah menjalani ritual, mereka bisa melaksanakan kegiatan sehari-hari, seperti pergi berladang dan menangkap ikan. Jika ada yang terserang penyakit menular, warga dianjurkan tidak berinteraksi langsung. Mereka bisa membantu, tetapi tetap berjarak agar tidak tertular. ”Sampai saat ini kami bersyukur karena tidak ada yang terjangkit Covid-19 di Long Tuyoq,” kata Blawing.
Tidak ada yang boleh keluar agar berjarak dengan penyakit.
Hasil panen
Meski sudah sebulan membatasi akses keluar dan masuk orang ke desa, warga Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang tidak kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kepala Desa Liu Mulang Hendrikus Helaq mengatakan, suku Dayak Long Gliit dan suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe baru saja memanen padi. Hasil panen diperkirakan masih bisa digunakan untuk dua-tiga bulan ke depan.
”Kalau untuk kebutuhan sayur, rata-rata setiap keluarga menanam sayur sendiri. Untuk lauk, kami masih bisa menangkap ikan dari sungai,” katanya. Dampak yang sudah terasa di kedua desa itu adalah naiknya harga gula pasir. Saat ini gula pasir Rp 25.000 per kilogram yang sebelumnya Rp 18.000. Untuk menyiasati kenaikan itu, warga berhemat.
Sejauh ini, dampak Covid-19 yang mulai dirasakan warga adalah sulitnya menjual kakao. Sejak Maret, pembeli kakao dari luar daerah tak bisa ke desa mereka. Untuk menyiasatinya, warga menunda untuk memanen kakao. Warga akhirnya menanam komoditas lain, seperti sayur-sayuran. Jika tidak terjual, sayur itu bisa digunakan oleh keluarga, kerabat, atau tetangga.
Aktivitas warga di desa masih berjalan normal. Namun, warga mengurangi pergi ke luar desa kecuali ada keperluan mendesak. Anak-anak yang tinggal di asrama sekolah di luar desa juga sudah pulang. Mereka belajar di rumah dengan memanfaatkan internet milik desa. Pelaksanaan ibadat Pekan Suci Paskah 2020 juga dilaksanakan dari rumah masing-masing.
Hanya tiga pengurus gereja dan pendeta yang pergi ke gereja. Pengurus gereja menyiapkan pengeras suara yang mengarah ke Desa Liu Mulang dan Desa Long Tuyoq. Warga pun bisa mengikuti ibadat dari rumah masing-masing. ”Kami berharap wabah ini cepat berakhir agar kami tidak waswas keluar desa dan menerima tamu. Kami juga bersyukur karena hidup jauh dari kota sehingga masyarakat di sini sampai saat ini tidak ada yang terjangkit Covid-19,” kata Hendrikus.