Titik Kritis Membendung Laju Pandemi di Yogyakarta
Pandemi Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta telah berlangsung satu bulan. Namun, upaya penanganan belum optimal. Jumlah kasus melonjak, kapasitas pemeriksaan terbatas, dan pembatasan sosial belum berjalan efektif.
Laju kasus Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta tiga pekan terakhir melonjak hingga 10 kali lipat. Tanpa kebijakan yang lebih ketat, penanganan dikhawatirkan semakin sulit. Apalagi, opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejauh ini belum dilirik.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, pada 15 Maret 2020, mengumumkan kasus pertama positif Covid-19 di provinsi tersebut. Sejak saat itu, jumlah pasien positif Covid-19 akibat virus korona jenis baru di DIY terus meningkat. Awalnya, peningkatan kasus itu tampak lambat, tetapi kemudian terlihat tren percepatan yang mengkhawatirkan.
Hingga Rabu (15/4/2020) atau hari ke-32 sejak diumumkannya kasus pertama, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY telah mencapai 62 orang. Padahal, sampai 24 Maret atau hari kesepuluh sejak munculnya kasus pertama, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY baru enam orang. Artinya, dalam kurun waktu 22 hari, terjadi peningkatan kasus menjadi 10 kali lipat lebih.
Ini artinya, dalam kurun waktu 22 hari, telah terjadi peningkatan kasus menjadi 10 kali lipat lebih.
Selama beberapa hari terakhir juga terjadi penambahan kasus dengan jumlah yang signifikan. Pada Minggu (12/4/2020), terdapat penambahan tujuh pasien positif baru di DIY. Pada Senin (13/4/2020), juga terdapat penambahan tujuh kasus baru, sedangkan pada Selasa (14/4/2020) terjadi penambahan enam kasus baru. Padahal, pada Sabtu (11/4/2020), hanya ada penambahan satu kasus baru dan bahkan sehari sebelumnya tidak ada penambahan kasus baru sama sekali.
Selain jumlah kasus yang terus melonjak, masalah lain terjadi pada keterbatasan kapasitas pemeriksaan sampel Covid-19. Keterbatasan kapasitas itu, antara lain, tampak dari banyaknya jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) yang hasil pemeriksaannya belum keluar. Hingga 15 April 2020, dari total 581 PDP di DIY yang sudah diambil sampelnya, terdapat 275 PDP atau sekitar 47 persen yang hasil pemeriksaannya belum keluar.
Baca juga: Menimbang Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Yogyakarta
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, antrean PDP yang menunggu hasil pemeriksaan laboratorium itu sudah terjadi sejak 13 Maret 2020 atau hari pertama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY merilis data Covid-19 secara resmi. Saat itu, dari 13 PDP yang diperiksa, ada dua orang yang menunggu hasil laboratoriumnya keluar.
Namun, seiring bertambahnya jumlah PDP yang diperiksa, antrean pemeriksaan sampel kian panjang. Dalam grafik perbandingan total PDP dan jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan, tampak tren jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan masih tinggi. Meski kadang ada penurunan jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan, tetapi tren pertambahan lebih dominan. Artinya, kapasitas pemeriksaan belum bisa mengejar penambahan jumlah PDP.
Dalam konferensi video dengan Sultan HB X pada Rabu (8/4/2020), sejumlah tenaga medis di rumah sakit di DIY juga mengeluhkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil pemeriksaan sampel pasien terduga Covid-19.
Dalam kesempatan tersebut, seorang dokter menuturkan, pada masa awal penyebaran Covid-19 di DIY, hasil pemeriksaan sampel bisa selesai dalam waktu 2-3 hari. Namun, beberapa waktu kemudian, butuh waktu 1-2 minggu untuk menunggu hasil pemeriksaan sampel PDP Covid-19.
Lamanya waktu pemeriksaan sampel itu juga tampak dari adanya sejumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratorium keluar. Hingga 15 April 2020, misalnya, terdapat 14 PDP yang meninggal saat pemeriksaan sampel belum dirilis.
Baca juga: Pemerintah DIY Redesain Anggaran Rp 246 Miliar untuk Penanganan Covid-19
Penumpukan antrean
Di DIY, awalnya pemeriksaan sampel terduga Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) di Jakarta. Namun, sejak pertengahan Maret 2020, pemeriksaan sampel dari DIY dilakukan oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta.
BBTKLPP Yogyakarta tak hanya memeriksa sampel dari DIY, tetapi juga dari Jawa Tengah. Belakangan, ada dua laboratorium lain yang juga ditunjuk untuk memeriksa sampel terduga Covid-19 di DIY, yakni laboratorium Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito dan laboratorium Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kepala BBTKLPP Yogyakarta Irene menjelaskan, lembaganya bisa menyelesaikan pemeriksaan PCR sebanyak 180 sampel dalam sehari. Oleh karena setiap pasien terduga Covid-19 harus diperiksa dua sampelnya, maka dalam sehari, BBTKLPP Yogyakarta bisa merampungkan pemeriksaan sampel dari 90 pasien.
Namun, lanjut Irene, beberapa waktu lalu, BBTKLPP Yogyakarta sempat tidak bisa melakukan pemeriksaan sampel karena kehabisan primer atau reagen, yakni bahan pereaksi untuk memeriksa sampel pasien terduga Covid-19. Kondisi ini terjadi karena belum ada kiriman reagen dari pemerintah pusat. ”Dulu pernah terjadi primer yang habis, tetapi kami tetap menerima sampel,” ujarnya, Senin (13/4/2020).
Mandeknya pemeriksaan sampel itu membuat penumpukan antrean sampel yang harus diperiksa. ”Kalau satu hari tidak bisa kerja, berarti, kan, ada penumpukan antrean. Dalam satu hari, kami menerima sekitar 200 sampel. Kalau sudah menumpuk tiga hari, berarti kan 600 sampel. Mengurainya itu susah karena setiap hari kami hanya bisa memeriksa paling banyak 180 sampel,” ucap Irene.
Penumpukan antrean itu membuat sampel yang masuk ke BPPTKLPP Yogyakarta baru bisa diperiksa beberapa hari setelah sampel tersebut diterima.
Irene menyebut, saat ini, ketersediaan primer tidak lagi menjadi masalah. Namun, penumpukan antrean yang dulu terjadi masih terasa dampaknya hingga sekarang. ”Akibat penumpukan yang dulu itu berdampak sampai sekarang karena tidak bisa diurai begitu saja,” tuturnya.
Penumpukan antrean itu membuat sampel yang masuk ke BPPTKLPP Yogyakarta baru bisa diperiksa beberapa hari setelah sampel tersebut diterima. Irene mencontohkan, pada 13 April 2020, tim BBTKLPP Yogyakarta baru bisa melakukan pemeriksaan sampel yang masuk pada 9 April 2020 atau empat hari sebelumnya.
Direktur Utama RSUP Dr Sardjito, Rukmono Siswishanto, mengatakan, laboratorium RSUP Dr Sardjito dan laboratorium RS UGM sudah mulai beroperasi sejak 6 April 2020. Laboratorium RSUP Dr Sardjito bisa memeriksa 130 sampel setiap hari, sedangkan laboratorium RS UGM bisa memeriksa 170 sampel per hari. Ditambah kapasitas BBTKLPP sebanyak 180 sampel hari, maka tiga laboratorium di DIY seharusnya mampu memeriksa 480 sampel per hari.
Rukmono menambahkan, dengan beroperasinya dua laboratorium itu, jumlah sampel yang bisa diperiksa akan makin banyak. ”Kapasitasnya sudah cukup, insya Allah,” kata Rukmono saat ditemui, Rabu (8/4/2020).
Juru bicara Pemprov DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, mengatakan, dalam kondisi normal, pemeriksaan sampel pasien terduga Covid-19 di DIY membutuhkan waktu 3-5 hari. Namun, dia menyebut, lamanya pemeriksaan itu juga bergantung pada antrean sampel serta ketersediaan reagen di laboratorium pemeriksa.
Sementara itu, terkait PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan sampelnya keluar, Berty menyebut, sebagian besar dari mereka menderita penyakit penyerta selain Covid-19. Dia juga menuturkan, sebagian pasien masuk ke rumah sakit sudah dalam kondisi kritis. ”Ada yang datang dalam keadaan kritis,” ujarnya.
10 kali lipat
Koordinator Tim Respons Covid-19 UGM Riris Andono Ahmad menyatakan, kapasitas diagnosis atau pemeriksaan sampel di DIY memang masih rendah. Selain banyaknya PDP yang hasil pemeriksaannya belum keluar, hal itu juga tampak dari masih sedikitnya jumlah PDP yang diperiksa.
Sampai 15 April 2020, jumlah PDP yang telah diperiksa 581 orang. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, jumlah penduduk DIY pada 2018 mencapai 3.802.872 orang. Artinya, jumlah PDP yang diperiksa baru mencapai 0,015 persen dari total penduduk DIY. Persentase yang sangat rendah itu belum memperhitungkan jumlah pendatang di DIY yang juga banyak.
Baca juga: Anggaran Proyek Fisik di DIY Dialihkan untuk Penanggulangan Covid-19
Riris memaparkan, kapasitas pemeriksaan akan berpengaruh pada jumlah kasus yang bisa ditemukan. Oleh karena itu, dengan keterbatasan pemeriksaan di DIY, maka laporan jumlah pasien positif Covid-19 saat ini bisa jadi lebih sedikit dibandingkan dengan kasus riilnya.
Indikasi adanya kasus riil yang lebih besar itu tampak dari tingginya persentase kematian pasien positif Covid-19 di DIY saat ini. Hingga 15 April 2020, ada 6 pasien positif Covid-19 di DIY yang meninggal atau 9,6 persen dari total pasien positif. Angka itu lebih tinggi daripada persentase nasional yang sebesar 9,1 persen.
Tingginya persentase kematian itu kemungkinan disebabkan adanya kasus positif Covid-19 yang belum ditemukan dan tercatat.
Riris menyebut, tingginya persentase kematian itu kemungkinan disebabkan oleh adanya kasus positif Covid-19 yang belum ditemukan dan tercatat. ”Yang kita lihat bisa jadi adalah puncak gunung es dari masalah yang ada. Kalau kita punya kapasitas diagnosis yang optimal sehingga kita bisa punya estimasi yang lebih baik terkait jumlah kasus, maka seharusnya angka kematian bisa berkurang,” tuturnya.
Selain itu, menurut Riris, keterbatasan kapasitas pemeriksaan di DIY terutama terjadi karena keterbatasan bahan untuk pemeriksaan, seperti reagen. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat pengadaan reagen dan bahan lain yang diperlukan untuk memeriksa sampel.
Di sisi lain, Riris juga berpendapat, idealnya kapasitas pemeriksaan sampel Covid-19 di DIY ditingkatkan menjadi 10 kali lipat dibandingkan dengan kondisi sekarang. Dengan peningkatan kapasitas itu, jumlah pemeriksaan bisa dilakukan secara lebih masif dan cepat sehingga penanganan pandemi Covid-19 lebih optimal.
Namun, Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji menyatakan, untuk meningkatkan kapasitas pemeriksaan, dibutuhkan pembelian alat tes PCR. Masalahnya, dalam kondisi saat ini, pembelian alat PCR itu membutuhkan waktu lama.
”DIY itu fasilitasnya sudah jauh lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain. Kalau kita mau nambah, kita harus beli alat PCR. Kita sudah komunikasi, alat PCR itu baru bisa sampai di sini dua bulan setelah kita pesan,” kata Kadarmanta.
Kadarmanta juga menilai, kapasitas pemeriksaan tiga laboratorium di DIY sebenarnya sudah cukup, asalkan ketiga laboratorium bisa beroperasi optimal. ”Sebenarnya kapasitas maksimal tiga laboratorium itu sudah cukup,” ujarnya.
Dalam kondisi saat ini, pembelian alat PCR itu membutuhkan waktu lama.
Pembatasan sosial
Selain peningkatan kapasitas pemeriksaan, upaya lain yang juga dibutuhkan untuk menanggulangi Covid-19 di DIY adalah penerapan kebijakan pembatasan sosial secara maksimal. Sejak beberapa waktu lalu, Pemprov DIY memang telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial, misalnya dengan meliburkan sekolah, meminta sebagian aparatur sipil negara (ASN) bekerja dari rumah, dan meniadakan acara dengan peserta banyak.
Pemprov DIY juga telah mengimbau masyarakat untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Jika terpaksa keluar rumah, masyarakat diminta memakai masker dan menjaga jarak aman dengan orang lain.
Baca juga: Tidak Ada Perubahan Penanganan Covid-19 di DIY
Namun, kebijakan pembatasan sosial di DIY dinilai belum berjalan efektif. Salah satu indikasinya, beberapa hari terakhir, jalanan di sejumlah wilayah tampak kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan. Selain itu, di sebagian rumah makan juga terlihat kerumunan warga tanpa menjaga jarak aman.
Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center Ahmad Muttaqin Alim berpendapat, DIY seharusnya sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ahmad menyebut, dilihat dari perspektif epidemiologi, pencegahan penularan Covid-19 hanya bisa dilakukan jika ada pembatasan sosial yang ketat dengan dua opsi kebijakan, yakni PSBB atau karantina wilayah (lockdown).
”Dari segi ilmu epidemiologi, yang paling bagus ya PSBB atau lockdown,” ujar Ahmad. Namun, karena pemerintah pusat telah memilih kebijakan PSBB, Pemprov DIY seharusnya bisa menerapkan kebijakan tersebut.
Ahmad juga menuturkan, apabila kebijakan PSBB diterapkan, dampak ekonomi yang terjadi harus diantisipasi. Hal ini karena penerapan PSBB akan membatasi mobilitas warga yang akhirnya bisa berpengaruh pada penghasilan sebagian kalangan.
”Ketika pemerintah melakukan pelarangan (orang beraktivitas), ada konsekuensi logis bahwa pemerintah harus memberi makan kepada orang yang dilarang beraktivitas,” ujar Ahmad.
Sementara itu, menanggapi mulai banyaknya warga DIY yang beraktivitas di luar rumah, Sultan HB X meminta petugas dari instansi terkait melakukan pengawasan. Para petugas dari satuan polisi pamong praja (Satpol PP), TN, dan Polri diharapkan bisa mengedukasi masyarakat agar tidak banyak beraktivitas di luar rumah, apalagi berkerumun.
”Saya minta bisa dikontrol lagi. Itu, kan, di jalan sudah ada (sosialisasi) dari satpol PP, TNI, dan Polri. Tadi saya sudah minta untuk kontrol lagi,” ujar Sultan HB X, saat ditemui, Selasa (14/4/2020).
Sultan juga mengimbau masyarakat DIY bisa menahan diri tidak keluar dari rumah. Dengan berdiam di rumah, risiko penularan penyakit Covid-19 bisa dikurangi.
Meski demikian, Sultan menyatakan, DIY belum akan mengajukan permohonan penetapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sultan beralasan, DIY belum memenuhi syarat untuk penerapan PSBB. ”Kan, belum memenuhi syarat. Kalau enggak (memenuhi syarat), ya ditolak,” katanya.
Dengan belum adanya penambahan kapasitas pemeriksaan dan penerapan PSBB, penanggulangan Covid-19 di DIY kemungkinan masih akan diwarnai sejumlah masalah. Ibarat sampai di titik kritis, waktunya terobosan kebijakan diambil agar laju eksponensial kasus Covid-19 di DIY bisa diredam. Bussiness as usual atau kerja biasa terbukti bukan jurus jitu.