Mengintip Perayaan Paskah Tanpa Umat
Pintu gerbang Katedral Santo Fransiskus Xaverius di Kota Ambon, Maluku, pada Minggu (12/4/2020), ditutup rapat kemudian digembok. Perayaan Paskah di katedral itu berlangsung tanpa umat.
Pintu gerbang Katedral Santo Fransiskus Xaverius di Kota Ambon, Maluku, pada Minggu (12/4/2020), ditutup rapat kemudian digembok. Wempy Upuy, petugas keamanan gereja, mengawasi gerbang dari dalam halaman katedral. Manakala ada imam atau petugas gereja tiba, dengan cekatan ia membuka gerbang kemudian langsung menguncinya kembali.
Menjelang pukul 08.00 WIT, beberapa orang dengan pakaian rapi sambil memegang Alkitab tiba di depan gerbang. Mereka tampaknya ingin masuk ke dalam gereja. Minggu itu, umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Paskah untuk mengenang kebangkitan Sang Mesias, Yesus Kristus.
Wempi melangkah menuju gerbang sambil menyilangkan kedua tangan di dada pertanda dilarang masuk. Seorang perempuan paruh bayah menyambut Wempy dengan mengatupkan tangan tangan. Perempuan itu sepertinya memohon untuk masuk atau setidaknya meminta waktu berbicara. ”Tolong, saya bisa masuk,” tanya dia. ”Maaf tidak bisa. Ini demi kebaikan bersama,” jawab Wempy.
Virus korona baru penyebab Covid-19 menjadi alasan mengapa Wempy tidak mengizinkan perempuan dan beberapa orang di balakanganya untuk masuk. Pemerintah dan pihak gereja mengimbau umat menjauhi kerumunan demi mencegah penularan virus korona baru yang merambat sangat cepat. Selama empat bulan terakhir, lebih dari satu juta orang di dunia terinfeksi. Korban meninggal melampaui 100.000 jiwa.
Pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, China, pun kini telah mencapai Ambon, yang terpaut sekitar 4.200 kilometer arah tenggara Wuhan. Hingga Minggu (12/4/2020) pagi, kasus positif Covid-19 di Ambon sebanyak 12 orang, melonjak dari tiga kasus yang tercatat sehari sebelumnya. Warga di kota berpenduduk sekitar 300.000 jiwa itu cemas. Itulah alasan mengapa umat diminta berdoa di rumah masing-masing.
Setelah mendengar penjelasan Wempy, perempuan itu lalu pergi meski dengan raut wajah kecewa. Ekspresi itu dipahami. Merayakan Paskah di gereja adalah harapan semua umat Kristiani. Paskah merupakan puncak pekan suci saat umat berkabung mengenang sengsara dan kematian Sang Juru Selamat hingga bangkit pada Paskah. Paskah adalah puncak dari iman Kristiani.
Itu baru dari sisi penghayatan iman. Belum lagi menilik aturan Lima Perintah Gereja sebagaimana yang digariskan dalam ajaran Katolik. Poin kelima berbunyi begini: Sambutlah Tubuh Tuhan pada Masa Paskah. Tubuh Tuhan dimaksud dalam rupa roti dan anggur dalam perayaan ekaristi yang dipimpin seorang imam. Ini sesuatu yang tidak tergantikan, tidak bisa diwakilkan. Butuh penjelasan teologis dengan bahasa sederhana agar umat bisa menerimanya.
Setelah perempuan dan rombongannya itu pergi, saya mendekati gerbang dari luar. Wempy langsung mencegat dan menyampaikan hal yang sama. Kendati kami berdua sudah saling mengenal, tidak ada toleransi. Seperti umat yang lain, saya juga tidak diizinkan masuk. ”Saya sudah dapat izin dari Bapa Uskup,” kata saya kepada Wempy. Tanpa bertanya lagi, gembok dilepas, gerbang dibuka. Saya dipersilakan masuk.
Benar, Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC memperbolehkan saya untuk mengikuti perayaan di katedral yang akan dia pimpinnya pagi itu. Saya tidak tahu apa alasannya. Yang pasti, dua hari sebelumnya saya menulis di status Whatsapp saya yang berisi kerinduan umat Katolik merayakan Paskah di gereja. Status saya di Whatsapp itu ternyata dibaca Uskup Mandagi. Apakah itu alasan beliau? Entahlah.
Saya sering berkomunikasi dengan Uskup Mandagi lewat Whatsapp. Pemimpin umat Katolik untuk wilayah Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan selatan Papua itu sangat komunikatif, termasuk dengan media. Siapa tak kenal tokoh yang sering berbicara blak-blakan dengan bumbu kritikan pedas itu. Penyataannya paling sering ditunggu awak media untuk membuat terang benderang hal-hal yang masih kabur.
Pada Sabtu (11/4/2020) malam, seorang imam menelepon saya dan menyampaikan bahwa saya diperkenankan mengikuti perayaan tanpa umat. Kata imam itu, dirinya diperintah langsung oleh Uskup Mandagi untuk menyampaikan hal itu kepada saya. ”Saya bisa sekalian meliput,” kata saya, di dalam hati. Memang selama ini saya penasaran, seperti apa suasana perayaan ekaristi tanpa umat. Sesuatu yang terasa ganjil.
Masuk Katedral
Susana sepi di dalam Katedral Santo Fransiskus Xaverius, Kota Ambon, Maluku, pada perayaan Paskah Minggu (12/4/2020). Perayaan yang berlangsung tanpa umat itu demi mencegah penyebaran virus korona.
Lepas dari gerbang saya langsung menuju gereja dan masuk melalui pintu samping. Pintu utama memang sengaja ditutup. Masuk ke gereja, suasana terasa lain. Deretan bangku umat kosong. Hanya ada dua baris di bagian depan yang terisi oleh petugas perayaan, videografer, dan teknisi yang mengatur transmisi gambar untuk disiarkan secara langsung melalui Facebook dan Youtube. Umat mengikuti perayaan melalui siaran langsung itu.
Sementara di balkon terdapat seorang pemain organ dan 10 orang memegang teks lagu. Mereka berdiri dalam jarak aman, sekitar 1,5 meter. Mereka adalah anggota paduan suara katedral yang biasanya bernyanyi pada saat perayaan Natal dan Paskah. Jumlah mereka sekitar 30 orang. Saat ini, hanya beberapa yang diminta menyanyi.
Jumlah orang di dalam katedral itu sekitar 30 orang, jauh di bawah kapasitas ruangan yang mencapai 1.200 orang. Sejak diresmikan tahun 2004, baru pertama kali terjadi perayaan Paskah tanpa umat di katedral yang mengambil konsep Romawi Klasik itu. Biasanya, setiap perayaan Paskah atau Natal, umat di katedral membeludak. Pihak gereja sampai harus memasang tenda tambahan di halaman.
Tiba saatnya perayaan dimulai tepat pukul 08.00. Uskup Mandagi, seorang imam, dan seorang diakon berarak menuju altar. Biasanya arakan itu diisi belasan orang. Kali ini tak ada misdinar, lektor, dan pemazmur. Mandagi yang kini mengalami sakit pada bagian kaki melangkah dengan pelan. Ia perlu bantuan orang saat hendak menaiki anak tangga. Selebihnya, dalam perayaan itu mereka tetap berdiri berjarak.
Perayaan yang berlangsung 1,5 jam itu sesuai dengan tata perayaan. Diisi doa dan lagu. Pada saat khotbah, Uskup Mandagi membakar semangat umat yang barangkali beliau tahu sedang lesu. Mandagi mengingatkan pentingnya mengandalkan Tuhan dalam kondisi pandemi seperti saat ini. ”Jangan berhenti berharap. Mari terus berdoa. Tuhan tidak akan tinggalkan kita,” katanya. Siaran itu diikuti hampir 1.000 orang dari berbagai daerah, tidak hanya Maluku.
Sementara itu, di sejumlah gereja lain termasuk gereja-gereja di bawah persekutuan Gereja Protestan Maluku, perayaan disiarkan melalui pengeras suara. Terdengar suara pendeta memimpin ibadah dan membawakan renungan Paskah yang berisi tentang keteguhan iman dan harapan. Sesekali terdengar lagu kidung jemaat yang dinyayikan pendeta sendiri.
Di rumah umat Kristen Protestan, mereka berkumpul mengikuti doa dengan khusyuk. Mereka membuat tempat doa lengkap lengkap dengan sarana rohani. Jalanan di Ambon, kota dengan mayoritas penduduk memeluk ajaran Kristiani, itu sepi. Kondisi ini berbeda kala Ambon dilanda konflik sekitar 21 tahun lalu. Kala itu, ibadah di sejumlah gereja tetap berjalan.
Mengintip jalannya perayaan Paskah tanpa umat ini bertujuan untuk melihat dari dekat kesungguhan gereja dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Gereja sungguh melakukan itu demi kemanusiaan.