Hadapi Pandemi dengan Duku ”Online” hingga Jamu ”Lockdown”
Kreativitas tak mati meski dihajar pandemi. Kini, bagi sejumlah pelaku usaha, era Covid-19 tak membuat sekadar mencari untung. Sosialisasi hidup ideal di tengah wabah ikut diselipkan di antara keinginan mencari rupiah.
Kreativitas seharusnya tak mati meski dihajar pandemi. Kini, bagi sejumlah pelaku usaha, era Covid-19 tak membuat mereka sekadar mencari untung. Sosialisasi hidup ideal di tengah wabah ikut diselipkan di antara keinginan mencari rupiah.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Kuningan Asep Purnama panik saat menilik pesan berisi, ”Warning!!! Status ODP” di sejumlah grup Whatsapp. Setelah membaca tuntas, ia tersenyum. Ternyata, ODP bukan orang dalam pemantauan penyakit Covid-19, melainkan online duku promo.
Begitu teknik promosi toko buah Ar-Rohmah di Kuningan, Jawa Barat. Pesan siaran itu diawali kalimat ”cemilan sehat dan murah buat #cicingdiimah”, sebuah ajakan agar masyarakat tetap di rumah sambil makan buah. ”Benar juga, (makan buah) agar tetap sehat di rumah,” kata Asep memaklumi.
Awalnya, ia kaget melihat kata ODP karena jumlah kasus penyakit Covid-19 di Kuningan terus meningkat. Hingga Kamis (16/4/2020), seorang warga meninggal dunia dan tiga orang lainnya dirawat karena positif terinfeksi virus korona baru.
Sebanyak 28 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 148 orang dalam pemantauan (ODP) terkait Covid-19. Padahal, pada 1 April lalu, tercatat 2 kasus positif, 9 PDP, dan 323 ODP.
Cecep Rusdianto (34), pemilik toko Ar-Rohmah, tidak bermaksud menyebar kepanikan atau memanfaatkan kondisi krisis saat pandemi. Ia justru ingin meluruskan pemahaman warga setempat terkait status ODP yang lagi viral belakangan ini.
”Banyak warga menafsirkan ODP itu sama dengan positif korona. Ketakutannya berlebihan. Akhirnya, saya buat ODP itu online duku promo. Jadinya, enggak seram,” katanya. Sosialisasi terkait penyakit yang belum ditemukan obatnya itu, menurut dia, masih minim.
Di sisi lain, ide itu lahir karena bisnisnya lesu, seperti yang dialami banyak pengusaha di berbagai sektor. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang mengencangkan ikat pinggang. Cecep bahkan terpaksa menutup tiga dari enam tokonya.
Baca jug: Kota Cirebon Alokasikan Rp 148 Miliar untuk Penanganan Covid-19
Pada saat yang sama, petani duku dari Kuningan, Ciamis, Banjar, bahkan Palembang, Sumatera Selatan, berharap kepadanya. Apalagi, saat panen raya seperti sekarang. Padahal, duku yang sudah dipetik hanya bertahan tiga hari sebelum busuk.
Dalam kondisi normal, ia bisa membeli 3-5 kuintal duku dari sejumlah kelompok petani. Namun, kini, bapak empat anak ini hanya membeli 3 kuintal duku dari petani untuk dijual selama tiga hari.
”Kami juga dalam kondisi sulit karena wabah korona. Tetapi, banyak yang lebih terdampak, seperti petani,” kata Cecep mengutarakan alasannya tetap berdagang. Hingga kini, ia berupaya tidak merumahkan 10 karyawannya.
Kami juga dalam kondisi sulit karena wabah korona. Tetapi, banyak yang lebih terdampak, seperti petani.
Ia pun semakin yakin memasarkan duku dengan ”selimut” ODP. Ternyata, responsnya lumayan positif. Penjualan duku meningkat sekitar 10 persen. Harga di pasaran juga mulai turun dari Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 15.000 per kg.
”Dengan begitu, panen petani bisa terserap lebih banyak karena barang terjual. Ini lebih baik dibandingkan dengan harga tinggi, tetapi daya beli kurang,” katanya.
Untuk pengiriman barang, Cecep menggandeng pengendara ojek online yang juga tengah kesulitan penumpang. Dalam sehari, ia bisa mengirim duku atau pesanan buah lainnya 20-30 kali.
Cecep berupaya menerapkan protokol kesehatan di tokonya dengan menyediakan cairan antiseptik dan tempat cuci tangan yang dilengkapi sabun. ”Setiap karyawan diberikan tiga masker dalam satu hari,” ujarnya.
Jamu ”lockdown”
Strategi pemasaran juga dilakukan Umar (48) dan anak asuhnya, Ayang Igiovani (28), warga Desa Purwawinangun, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jabar. Mereka membuat jamu rasa rempah lockdown sejak akhir Maret.
Jamu itu mengandung 15 bahan rempah, seperti jahe, temulawak, temu hitam, kunyit, dan brotowali. Bahan tersebut diambil dari kebun dan pekarangan rumah. Aneka bahan itu lalu disortir, rebus, dicampur, dan akhirnya menghasilkan rasa unik: nyaris hambar, sedikit pahit.
Baca juga: Ribuan Peternak Ayam di Jawa Barat Terancam Bangkrut
Menurut Umar, ramuan itu sudah turun-temurun dari kakek buyutnya. Orang dulu mengenalnya dengan ”jamu kebo” karena kerap diminum oleh penggembala kerbau yang keliling siang malam mencari rumput. Ramuan tersebut diyakini menambah stamina. Antimasuk angin, kalau kata penggembala.
”Saat ramai korona, ada kerabat saya di Wuhan, China (pusat penyebaran awal Covid-19), coba buat jamu ini dengan bahan seadanya, seperti jahe dan serai. Alhamdulillah dia di sana sehat. Dia juga cerita kalau pemerintah menerapkan lockdown, jadi enggak boleh keluar rumah,” ujar guru mengaji ini.
Umar dan Ayang pun mendapatkan ide melabeli minuman itu dengan merek ”Minoem Djamu” rasa rempah lockdown. Mereka memutuskan itu ketika pemerintah ”alergi” dengan istilah lockdown. Jamu yang awalnya hanya untuk kebutuhan keluarga, lalu berkembang untuk dijual karena ada permintaan. Jamu lockdown diklaim mampu menambah daya imunitas, menghangatkan tubuh, dan memperlancar peredaran darah.
”Kami sudah kirim jamu ini ke Indramayu, Depok, Bogor, hingga Wonogiri (Jawa Tengah). Setiap hari, produksi bisa mencapai 50 botol,” kata Ayang.
Botol ukuran 250 mililiter itu dijual Rp 15.000 per botol. Hingga kini, katanya, lebih dari 550 diedarkan. Sebisa mungkin, produk dikirim ke tempat konsumen agar mereka tetap tinggal di rumah.
”Yang dijual 70 persen, sisanya diberikan gratis untuk pengurus masjid atau mushala dan tetangga. Kami cuma bisa membantu seperti ini untuk melawan virus korona,” katanya. Rumah Umar juga dijadikan tempat mengaji bagi anak-anak setempat.
Yang dijual 70 persen, sisanya diberikan gratis untuk pengurus masjid atau mushala dan tetangga. Kami cuma bisa membantu seperti ini untuk melawan virus korona.
Baginya, wabah Covid-19 mendorong orang kembali ke cara tradisional menjaga kesehatan, seperti minum jamu. Dulu, misalnya, orang pilek cukup mengonsumsi serai, bukan beragam obat kimia. Itu sebabnya, tanaman rempah ditanam di belakang rumah sekaligus jadi pagar. Sekarang, tembok dan bangunan beton menggusurnya.
”Semoga banyak yang menanam lagi,” ucapnya.
Wawan Dhewanto, pengajar School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, menilai, apa yang dilakukan Umar dan Cecep merupakan bentuk inovasi dan kreativitas dalam pemasaran produk di tengah perubahan kebiasaan konsumen.
”Dengan begitu, konsumen akan melirik. Apalagi, berhubungan dengan korona yang lagi hangat diperbincangkan saat ini,” katanya.
Metode penjualan dan pemasaran pun harus via daring karena konsumen mengikuti anjuran pemerintah untuk di rumah saja. Perubahan ini harus diikuti pengusaha, khususnya bidang pangan, kesehatan, dan komunikasi. Apalagi, infrastruktur, seperti jaringan internet dan berbagai aplikasi di telepon pintar, sudah tersedia.
Tanpa inovasi dan kreativitas, usaha kecil mikro menengah akan ditinggalkan konsumen. Sepertinya, jurus ini berlaku bagi siapa pun yang tidak ingin menyerah pada keadaan pandemi.
Baca juga: Seorang Warga Positif Covid-19 Meninggal, Kota Cirebon Deklarasikan Zona Merah