Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan. Saat ibu pertiwi merana, sekelompok ibu bangkit dan ”menjahit robekan kisah” demi rekatnya kembali ikatan kebangsaan.
Oleh
Dahlia Irawati
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan ibu pertiwi. Selain mengancam keselamatan orang-orang tersayang, Covid-19 mengoyak kehidupan ekonomi dan sosial. Untungnya, saat ibu pertiwi merana, sekelompok ibu bangkit dan ”menjahit robekan kisah” demi rekatnya kembali ikatan kebangsaan.
Di tengah ketakutan akan Covid-19, ibu-ibu yang mayoritas tinggal di rumah enggan larut dalam kecemasan. Rasa keibuan mereka menggunung, melihat sesama linglung tanpa penutup hidung. Tanpa banyak promosi, ibu-ibu yang tergabung dalam Mapaquilts (komunitas perca) di Kota Malang, Jawa Timur, berinisiatif menjahit masker kain. Ketika belum banyak orang berpikir soal masker kain, mereka sudah menjahit masker kain untuk dibagi-bagikan secara gratis.
Tiap anggota membuat belasan masker kain per hari. Puluhan masker yang terkumpul lantas dibagi-bagikan kepada petugas kebersihan, pedagang kaki lima, tukang becak, dan mereka yang membutuhkan. ”Kami hanya ingin berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Sekarang ini harga masker mahal. Itu sebabnya kami ingin berbagi dengan menjahit masker,” kata Tiwuk Purwati (53), pegiat Mapaquilts, Jumat (10/4/2020).
Kami hanya ingin berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Sekarang ini harga masker mahal.
Terus mengalir
Hingga kini, mereka terus membuat masker kain perca karena permintaan terus mengalir. Ada juga yang tidak ingin diberi masker secara gratis, tetapi membeli. ”Kalau ada yang ingin beli, kami biarkan mereka berdonasi seikhlasnya. Hasilnya akan diputar untuk membuat masker lagi,” katanya.
Dengan mulai banyaknya produsen masker kain, Tiwuk mengaku mulai kesulitan mencari karet elastis. ”Dahulu 1 rol elastik harganya Rp 35.000. Kini di Malang susah mendapatkannya. Harganya kalau beli online sudah Rp 300.000 per kg,” kata Tiwuk.
Donasi masker, seperti dilakukan di Malang, bukanlah satu-satunya. Ibu-ibu pencinta seni kain di berbagai pelosok Tanah Air melakukan hal serupa. Salah satunya Jane Kurnadi (47) asal Tangerang Selatan, Banten.
Bahkan, Jane menginisiasi donasi masker sejak awal Maret 2020. Ia memulai kiprahnya dalam donasi masker dengan membagikan pola pembuatan masker di Facebook. Ia juga membuat video tutorial tentang pembuatan masker. Awalnya, Jane dan dua karyawannya cuma membuat masker untuk mereka bertiga. Setelah kebutuhan itu tercukupi, barulah diproduksi masker untuk yang lain.
Jane yang menderita lupus mengerjakan semuanya dari rumah. Praktis, sejak pekan kedua Maret, mereka bertiga memproduksi masker gratis untuk berbagai kalangan. Upaya Jane itu menginspirasi jaringan pegiat seni untuk berinisiatif serupa, membuat masker gratis bagi sesama.
”Awalnya dikerjakan bertiga (bersama dua pekerjanya), membuat 60 masker per hari. Lalu, banyak yang tergerak membuat masker kain, melibatkan penjahit sekitar, penjahit keliling, siapa saja yang punya mesin jahit,” katanya. Para penjahit keliling diajak membuat masker, hasilnya dibeli. Uang untuk membayar honor penjahit didapat dari donatur yang membeli masker buatan mereka. Gerakan Jane terus menginspirasi ibu-ibu di berbagai pelosok.
”Saya sangat kagum, di luar riuhnya medsos, rupanya banyak juga yang mau bergerak demi sesama. Kami tidak menyangka tiba-tiba kami menerima kiriman kain-kain batik bagus untuk donasi masker. Saya rasa, kalau semua mau bergerak, persoalan kekurangan masker tak akan lagi terjadi,” kata Jane.
Celah peluang
Dengan cara sedikit berbeda, ibu-ibu di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jatim, juga berusaha ”menjahit” perekonomian keluarganya dengan membuat masker. Hal itu dilakukan setelah usaha dan kerja yang selama ini mereka jalani sepi gara-gara pandemi. Saat ini setidaknya ada 7 titik pembuatan masker di Desa Pandanlandung.
Peluang usaha pembuatan masker itu muncul seiring pandemi Covid-19. Satu titik bisa menerima pesanan hingga ribuan lembar masker. Sebelumnya, ibu-ibu itu menggeluti pekerjaan sebagai pekerja pabrik. Ada pula pedagang makanan ataupun ibu rumah tangga yang bergantung hidup pada suami.
Gara-gara pandemi, jualan sepi karena orang memilih tinggal di dalam rumah, sementara pabrik merumahkan pekerja. Di Desa Pandanlandung terdapat belasan pabrik dengan berbagai bidang usaha. Hingga kini, produksi masker Desa Pandanlandung banyak dibeli konsumen, dari dalam dan luar negeri. Bahkan, ada pembeli asal Taiwan yang memesan masker mereka.
”Jalanan sepi, maka jualan nasinya berhenti dulu. Sekarang sementara membuat masker seperti ini. Kami dapat pesanan online. Bahkan, ada pembeli dari Taiwan,” kata Mashita (27), pembuat masker asal Desa Pandanlandung. Dalam sehari, Mashita minimal bisa membuat 500 lembar masker.
Pandemi Covid-19 memang memorakporandakan berbagai sendi kehidupan ibu pertiwi. Namun, ibu-ibu bangsa itu memberi teladan dengan tidak berdiam diri. Mereka berusaha dengan tangannya, menjahit luka demi menyuguhkan bahagia bagi sesama.