Semangat bahu-membahu warga Daerah Istimewa Yogyakarta saat menghadapi agresi militer II pada tahun 1948 mengilhami lahirnya Hari Kesetiakawanan Nasional. Kini, semangat itu kembali terlihat di Yogyakarta dalam menghadapi perang melawan pandemi Covid-19.
Dengan cekatan, Eni Kusriati (46) memasukkan tempe goreng ke dalam plastik. Di dekatnya, puluhan bungkus kertas minyak berisi nasi tertata rapi. Satu dandang besar sayur sop baru saja matang. ”Tolong sayur sopnya ditambah garam, Bu,” seru Eni kepada seorang tetangganya yang ada di dapur rumahnya di Dusun Cepokojajar, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (8/4/2020).
Dua pekan terakhir, aktivitas memasak di dapur Eni sangat sibuk sejak rumahnya dijadikan dapur umum. Setiap hari, dapur Eni menghasilkan 60-70 bungkus nasi lengkap dengan lauk dan sayur. Ketiganya dibungkus terpisah. ”Saya senang bisa membantu tetangga yang kesulitan. Tetapi, kondisi saya juga terbatas. Jadi, hanya bisa menyumbang tenaga,” kata Eni.
Dapur umum itu merupakan jaringan dalam gerakan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang digagas sejumlah elemen masyarakat sipil dan mahasiswa di Yogyakarta. Sasarannya, membantu para pekerja informal dan warga lansia yang terdampak pandemi Covid-19. Akibat penyakit yang disebabkan virus korona baru itu, banyak warga di kampung Eni berhenti bekerja. Mereka mayoritas buruh pabrik dan bangunan.
Koordinator SPJ Syafiatudina mengatakan, awalnya ia bersama ibu dan adiknya membuat gerakan bagi-bagi makan siang. Tujuannya, membantu tukang becak dan penjual makanan di sekitar rumahnya yang pendapatannya menurun akibat Covid-19. Hal serupa ternyata dilakukan sejumlah mahasiswa. Mereka akhirnya menyatukan gerakan sehingga terbentuk jaringan dapur umum.
Kini, jaringan SPJ telah berdiri di 10 lokasi. Setiap dapur menghasilkan 60-200 bungkus makanan per hari. Dana dihimpun lewat media sosial. ”Jangan hanya mikir diri sendiri, tetapi bagaimana bisa membantu yang lain,” ucap Syafiatudina. SPJ tak sendiri. Gerakan Dapur Aksi Berbagi juga rutin berbagi makan siang sejak 1 April lalu. Para sukarelawan terdiri dari pekerja kreatif, seniman, pegiat budaya, dan peneliti.
Inisiator Dapur Aksi Berbagi, Ignasius Kendal, mengatakan, gerakannya juga membagikan paket sembako. Tiap paket yang berisi kebutuhan pangan selama satu minggu itu diberikan kepada pihak yang rentan terdampak pandemi, tak terkecuali pekerja seni hingga kelompok marjinal, seperti kaum difabel serta transjender. Untuk memenuhi bantuan, gerakan ini memanfaatkan jejaring petani muda di Yogyakarta dan usaha grosir lokal berskala kecil.
Tujuannya agar kelompok usaha yang ikut terdampak pandemi bisa turut terangkat. Kendal mengaku tak sulit mengumpulkan sesama pegiat seni dan aktivis lintas bidang untuk bergerak. ”Ini modal sosial yang dimiliki Yogyakarta.
Ketika krisis, gotong royong muncul lagi. Keinginan berbagi besar sekali. Kami hanya membantu menyalurkan,” katanya.
Komunitas penjahit
Selain makanan, keterbatasan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis juga memantik sejumlah usaha kecil dan menengah sektor penjahitan turun tangan. Salah satunya kelompok sukarelawan ”Majelis Mau Jahitin”.
Koordinator APD Majelis Mau Jahitin Paksi Raras Alit (34) mengatakan, hatinya tergerak menyaksikan tenaga medis berjibaku menangani penyakit, kekurangan alat pelindung. Ia dan istri yang memiliki usaha jahit gaun pernikahan pun berinisiatif menjahit APD berupa pakaian coverall. Niat itu direspons positif sesama rekan penjahit.
Sedikitnya 14 usaha kecil dan menengah jahit pakaian di Yogyakarta tergabung dalam gerakan ini. Modal pembuatan berasal dari donasi terbuka. Sejak dibuka dua pekan lalu, sudah terkumpul hingga Rp 150 juta dari sekitar 200 donatur. Sejauh ini telah terdistribusi 1.376 coverall.
Paksi bersyukur banyak teman sesama penjahit mau andil di tengah keterbatasan. ”Ini uniknya di Yogyakarta. Kalau disuruh guyub, langsung berangkat. Tanpa tanya apa pun soal biaya. Kayaknya orang Yogyakarta ini suka kalau diminta hal-hal yang tidak ada bayarannya,” kelakar Paksi.
Wimpy Adhari, pemilik distro Starcross, juga ikut membantu membuat APD dengan memproduksinya di gudang usaha yang biasa dipakai untuk membuat pakaian. Sedikitnya 100 APD diproduksi dalam sepekan. Sejauh ini, 300 APD didistribusikan ke sejumlah rumah sakit.
Kesetiakawanan
Sejarah mencatat, kesetiakawanan sosial telah lama bersemi di Yogyakarta. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional Tahun 2014 terbitan Kementerian Sosial ditulis bahwa untuk menanggulangi persoalan sosial selama perang kemerdekaan (1945-1949), pada Juli 1949 pemerintah mengadakan penyuluhan sosial di Yogyakarta bagi tokoh masyarakat serta kursus bimbingan sosial bagi calon pekerja sosial. Mereka diharapkan menjadi mitra pemerintah mengatasi masalah sosial.
Adapun 20 Desember menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial, diilhami peristiwa heroik pada masa agresi militer Belanda II di Yogyakarta, 19 Desember 1948. Sehari setelah agresi militer, rakyat Yogyakarta bahu-membahu bersama tentara berjuang melawan agresor. Semua golongan bertempur, menolong, memberi pangan, dan merawat prajurit.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra mengungkapkan, gerakan solidaritas di Yogyakarta muncul karena karakter guyub yang dimiliki masyarakat. Kesetiakawanan dan keguyuban tak bisa dipisahkan dan diyakini tidak akan mati selama masyarakat masih mengagungkan kerukunan dalam bertetangga. Apa yang kini terjadi di Yogyakarta selama masa pandemi Covid-19 telah membuktikannya.