James Watt, Paralegal Walhi Diadili karena Kasus Pemanenan Sawit
James Watt (47) paralegal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Sawit Watch ditangkap dan diadili atas kasus pemanenan sawit di tanah sengketa warga dan perusahaan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – James Watt (47) paralegal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Sawit Watch didakwa memberi perintah kepada dua warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah untuk memanen buah sawit.
James Watt ditangkap pada Sabtu 7 Maret 2020 lalu di Jakarta tepatnya di mess atau rumah perlindungan milik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional. Beberapa polisi dari Polda Kalimantan Tengah datang ke Jakarta untuk menangkap dirinya.
Sebelum James ditangkap, polisi juga menangkap dua orang lainnya yakni Didik dan Hermanus karena memanen sekitar 13-18 tandan sawit di lokasi yang hingga kini masih bermasalah antara warga Desa Penyang dan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Pada Senin (20/4/2020) pagi sidang untuk James Watt digelar di Pengadilan Negeri Sampit, Kotawaringin Timur. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmi Amalia membacakan tanggapan atas eksepsi atau notakeberatan yang diajukan kuasa hukum James Watt.
Rahmi menjelaskan, terdapat tiga poin dalam tanggapan tersebut yakni, dakwaan yang diajukan pihaknya sudah sesuai Undang Undang yang berlaku, lalu pihaknya tidak menerima eksepsi kuasa hukum, dan meminta hakim melanjutkan perkara.
James Watt didakwa dengan pasal berlapis yakni Pasal 107 huruf d Undang Undang 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juncto Pasal 55 ayat (1) KHUP dan Pasal 363 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KHUP. Hakim Ketua AF Joko Sutrisno memberikan waktu satu minggu lagi sebelum mengambil keputusan terhadap nota keberatan yang diajukan.
Bama Adiyanto, kuasa hukum James Watt usai sidang mengatakan, JPU tidak membantah materi eksepsi dari tim kuasa hukum mengenai keabsahan kepemilikan tanah. Dalam materi itu, kepemilikan tanah yang hingga kini masih menjadi konflik merupakan sumber masalah yang tidak dibahas oleh JPU.
"Ini harusnya bisa jadi pertimbangan hakim untuk membatalkan perkara ini dan mengabulkan permohonan eksepsi," kata Bama yang juga merupakan kuasa hukum terdakwa. “James Watt adalah seorang paralegal. Bersama warga, ia berusaha memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat," jelas Bama.
Sebelumnya tim kuasa hukum James Watt mengajukan nota keberatan atas dakwaan Jaksa terhadap James Watt. Aryo Nugroho, salah satu tim kuasa hukum James Watt, di luar sidang mengatakan, dakwaan yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat karena tidak menguraikan keabsahan kepemilikan tanah yang merupakan sumber masalah. Tindakan pemanenan merupakan bentuk penolakan masyarakat terhadap perusahaan yang mengolah lahan milik mereka.
“Banyak hal yang janggal dalam kasus ini, salah satunya persoalan barang bukti, mengapa bisa ditulis 4,3 ton yang dicuri, selain itu seharusnya ada uraian dulu tentang lahan yang menjadi lokasi panen,” kata Aryo usai sidang.
Tim kuasa hukum pun menilai ada rekayasa hukum yang terjadi dalam kasus penangkapan James Watt dan dua warga lainnya. Hal itu juga disampaikan dalam pembacaan eksepsi oleh kuasa hukum.
Diketahui, usai penangkapan James Watt, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Save Our Borneo (SOB), Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalimantan, dan beberapa lembaga lain membentuk Koalisi Pelindung Pejuang Agraria dan Lingkungan. Koalisi itu dibentuk atas dasar banyaknya pejuang agraria yang dikriminalisasi.
Menurut Bama, yang juga anggota Koalisi Pelindung Pejuang Agraria dan Lingkungan, peran paralegal telah ditegaskan dalam Undang Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Ada juga dalam pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
“Seorang pejuang lingkungan atau paralegal seperti James Watt seharusnya tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata,” ungkap Bama.
Sejak 2 September 2019 lalu, James Watt, menurut Bama, telah ditunjuk secara resmi oleh warga Desa Penyang untuk mendampingi perjuangan mereka atas lahan yang dikuasai PT HMBP sejak puluhan tahun lalu. Saat itu, Ia bersama warga mengumpulkan data dan bukti pelanggaran perusahaan yang merupakan tugas paralegal.
Mereka mendapati PT HMBP telah melakukan aktivitas perkebunan di luar izin dan Hak Guna Usaha (HGU). James Watt dan warga desa Penyang menginisiasi pertemuan dengan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur. Rekomendasi pertemuan tersebut, mereka membentuk kelompok tani bernama Sahai Hapakat.
Bama menjelaskan, dari hasil pertemuan tersebut terdapat 177 hektar lahan yang dinilai berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) yang masih diolah oleh perusahaan. Masyarakat pun tidak bisa mengelola lahan tersebut dan melakukan penolakan dari waktu ke waktu di antaranya dengan cara memanen buah sawit. Namun pemanenan buah sawit oleh Hermanus dan Didik yang berujung penangkapan.
Sebelumnya, Manajer Legal PT HMBP Wahyu Bimo saat dihubungi Kompas melalui saluran telepon mengungkapkan, seharusnya sudah tidak ada masalah antara perusahaan dan masyarakat. Menurutnya, pihaknya sudah melakukan mediasi bersama pemerintah daerah dan juga perwakilan masyarakat.
“Lahan itu memang diproyeksikan untuk membangun kebun plasma, koperasinya juga sudah ada, yang tergabung dalam penolakan, termasuk yang melakukan pemanenan itu bukan bagian dari koperasi untuk plasma,” kata Bimo.
Bimo menjelaskan, untuk kasus yang sedang dijalani James Watt dan dua warga lainnya merupakan pidana yang sepenuhnya diserahkan ke penegak hukum. Meskipun demikian, pihaknya membuka kesempatan agar semua warga bisa bergabung dalam koperasi dan mengelola plasma agar tak ada lagi konflik.
“Semua rekomendasi juga sudah dijalankan, jadi seharusnya sudah tidak ada masalah,” ujar Bimo.