Saat Tanggung Jawab Menekan Rasa Takut Tenaga Kesehatan
Tanggung jawab yang melekat membuat tenaga medis saat ini seolah sedang menyabung nyawa. Rasa hormat pada tanggung jawab membuat mereka siap sedia melayani walaupun sebenarnya ada ketakutan dalam lubuk hati mereka.
Tanggung jawab yang melekat membuat tenaga medis saat ini seolah sedang menyabung nyawa. Rasa hormat kepada tanggung jawab membuat mereka siap sedia melayani walaupun sebenarnya ada ketakutan dalam lubuk hati mereka.
Saat banyak orang memilih di rumah saja, Budi Wahono (40) justru harus berkeliling dari satu rumah ke rumah lain. Perawat Puskesmas Gendoh, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut mendapat tugas sebagai surveilans.
Tugas tersebut mengharuskan dirinya mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menginterpretasi data secara sistemik dan menyampaikan kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Tugas itu pula yang membuat dirinya harus mengunjungi dan bertemu langsung orang-orang yang dinilai berisiko terpapar virus korona baru selama pandemi Covid-19 ini.
Budi mulai memantau orang-orang berisiko sejak pertengahan Maret. Mula-mula ia memantau orang-orang yang baru saja melakukan perjalanan dari luar negeri yang masuk di wilayah Desa Gendoh.
Health alert card (HAC) yang dikeluarkan Kantor Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) menjadi acuan. Data penerima HAC dilaporkan KKP ke dinas kesehatan, selanjutnya dinas kesehatan memerintahkan puskesmas untuk penyelidikan epidemiologi kepada orang yang bersangkutan.
”Tugas saya melakukan penyelidikan epidemiologi orang yang berisiko tersebut. Saya harus memeriksa kesehatan orang tersebut, apakah ia menderita batuk, pilek, demam, dan sebagainya. Riwayat perjalanan selama 14 hari ke belakang juga harus kami selidiki. Selain mendata, kami di puskesmas akan menentukan status orang tersebut ODP atau bukan,” tutur Budi.
Dalam melaksanakan tugasnya, lanjut Budi, kejujuran warga menjadi tantangan tersendiri. Bagi perawat seperti dirinya, mungkin mudah untuk mengetahui orang yang ia hadapi sakit atau sehat. Namun, ia tidak bisa memastikan apakah orang yang di depannya jujur membuka riwayat perjalanannya.
Dalam menjalankan tugas, tak jarang ia bertemu dengan orang-orang dalam keadaan sakit. Secara manusiawi ia takut berada di situasi tersebut. Potensi tertular virus tentu sangat besar.
”Kalau kondisinya seperti itu, jelas saya ketar-ketir. Namun, mau bagaimana lagi, ini tanggung jawab saya sesuai dengan sumpah perawat yang sudah saya ucapkan,” tuturnya.
Keyakinan Budi semakin tebal karena ia dibekali SOP dan pelindung ala kadarnya. Setiap melaksanakan tugas, ia selalu membawa termometer digital, hand sanitizer, serta mengenakan masker dan sarung tangan.
Tidak ada jumlah pasti berapa rumah atau orang yang harus ia datangi. Ia baru akan bertugas setelah mendapat laporan dari perangkat desa apabila ada warga atau orang asing yang pulang ke desanya setelah melakukan perjalanan dari luar kota.
Pernah dalam sehari ia mendatangi empat rumah untuk memeriksa kesehatan semua anggota keluarga terebut. Namun, beberapa kali ia juga tidak keluar puskesmas karena tidak ada laporan yang masuk ke puskesmas.
Tugas Budi tak lantas rampung seusai melakukan pemeriksaan dan pendataan. Ia masih harus memasukkan data tersebut ke dalam sistem pelaporan untuk kemudian diolah oleh dinas kesehatan hingga akhirnya setiap sore Dinas Kesehatan Banyuwangi merilis perkembangan data terbaru ODR, ODP, PDP, dan pasien positif Covid-19.
Hingga saat ini, Budi sudah tujuh kali menetapkan status warga Gendoh dalam daftar ODP. Saat masih dalam masa pemantauan 14 hari, mereka yang berstatus ODP itu ia kunjungi setiap hari.
Salah satu yang ia kunjungi ialah seorang mahasiswa asal surabaya yang memilih pulang kampung karena sakit. Batuk dan demam yang dideritanya membuat ia menyandang status ODP.
Selama masa pemantauan, Budi rajin mengunjunginya untuk memeriksa kesehatan mahasiswa tersebut. Karena perjumpaan yang intens, Budi kini menjadi akrab dengan mahasiswa tersebut dan keluarganya. Kini, Mahasiswa tersebut telah sembuh dan rampung masa pantaunya.
Namun, tak jarang ia juga menemukan ODP yang menjengkelkan. Pasalnya, belum selesai masa pantau, orang berstatus ODP tersebut hilang entah ke mana. Padahal, orang tersebut dalam keadaan batuk-batuk dan demam.
”Saya hanya bisa mengimbau. Saya tidak punya wewenang untuk memaksa orang tersebut tetap diam di rumah. Paling susah memang menghadapi orang ngeyelan,” keluhnya.
Pengalaman berhadapan dengan risiko terpapar Covid-19 juga dihadapi ER Ratna Soemaryati (52), perawat gigi di Puskesmas Klatak, Banyuwangi. Tugas dan tanggung jawab Ratna memaksa dia menghadapi mulut pasien yang menjadi sumber droplet. Seperti kita ketahui, droplet menjadi sarana penularan virus SARS-CoV-2.
Ratna mengatakan, banyak perbedaan yang ia alami dalam perawatan sebelum dan saat masa pandemi Covid 19 ini. Salah satunya penerapan protokol kesehatan demi keamanan pasien dan tenaga kesehatan.
Beberapa protokol kesehatan yang ditetapkan antara lain menyemprotkan disinfektan sebelum dan sesudah penanganan pasien dan duduk berjarak antarpasien. Tak hanya itu, kini semua pasien juga diwajibkan berkumur dengan larutan betadine, sebelumnya hanya pasien tertentu saja.
”Kami juga diwajibkan mengenakan alat pelindung diri berupa baju khusus dan penutup wajah (face shield). Ini yang paling menyiksa. Panasnya itu yang membuat saya tidak betah. Baju sampai basah kuyup karena keringat,” ujarnya.
Baju APD yang dikenakan Ratna mula-mula hanya sebuah jas hujan plastik tipis. Beruntung, seminggu terakhir, puskesmas tempatnya bekerja mendapat pasokan APD yang lebih mumpuni. Kendati tetap sumuk, setidaknya tidak menguras keringat seperti saat mengenakan jas hujan.
Ratna sadar, APD itu salah satu tameng yang bisa menghindarkannya dari paparan virus. Saat bertugas, Ratna harus berhadapan dengan tanggung jawab, potensi bahaya, dan keselamatan diri sendiri.
”Jujur saja, kalau dibilang takut, ya, saya takut. Lagi pula kita tidak tahu mulut itu sarang virus atau tidak. Akan tetapi, selama saya menjalankan prosedur, rasa takut saya bisa sedikit berkurang. Saya justru berpikir, kalau tidak merawat, akan lebih kasihan pasien yang menahan sakit ini. Bagaimanapun juga, ini tanggung jawab saya,” tuturnya.
Budi dan Ratna ialah dua contoh tenaga kesehatan yang secara manusiawi ingin jauh dari potensi bahaya. Namun, tanggung jawab yang melekat membuat mereka harus berhadapan dengan bahaya.
Tenaga kesehatan sebagai garda depan sudah selayaknya mendapat perlindungan. APD hanya bagian kecil dari upaya melindungi para tenaga kesehatan. Salah satu perlindungan paling ampuh sebenarnya datang dari masyarakat sendiri. Setidaknya, dengan tetap di rumah saja, warga bisa memutus rantai penyebaran virus sehingga para tenaga kesehatan tidak perlu lagi menyabung nyawa di tengah melaksanakan tugasnya.