Tak Bersua Keluarga demi Raga yang Lain
Para tenaga medis yang menjadi benteng terakhir karena kontak langsung dengan pasien Covid-19 tak bisa ditinggalkan sendiri. Demi merawat pasien, mereka rela berpisah dari keluarga selama bertugas.
Tati Sudiarti rela terpisah lebih dari dua pekan dengan Thafana Nadhira Futri, bayinya yang berusia sebulan. Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Paru Sidawangi ini harus berjuang melawan virus korona tipe baru yang menewaskan ratusan warga Indonesia.
”Waktu ingin menangani penyakit Covid-19, saya agak syok. Bukan diri saya yang dipikirkan, melainkan keluarga. Saya khawatir nanti membawa sesuatu (virus) ke keluarga karena sudah kontak dengan pasien,” ujar Tati saat ditemui di Rumah Sakit (RS) Paru Sidawangi, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Rumah sakit yang dibangun pada masa kolonial itu sebenarnya tidak untuk merawat pasien Covid-19. Selama ini, RS menangani pasien tuberkulosis, penyakit menular yang juga menelan banyak korban jiwa. Meski dua penyakit ini bisa disembuhkan, Covid-19 dapat membunuh dalam hitungan hari, sedangkan tuberkulosis mencapai tahunan.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Berisiko Tinggi Terinfeksi Virus Korona Baru
Ketika jumlah kasus Covid-19 terus meningkat, RS ini pun ditunjuk sebagai salah satu dari 34 rujukan lini kedua pasien Covid-19 di Jawa Barat. Sejumlah paramedis, termasuk Tati, pun waswas. Apalagi, penyakit yang juga mewabah di negara lain ini merupakan hal baru. Belum ada obat dan vaksinnya.
Tati meminta bergabung dalam tim ketiga karena masih harus mengurus bayinya. Terdapat tiga tim yang masing-masing terdiri dari 10 perawat dan dokter spesialis paru. Setiap tim bertugas selama dua pekan.
”Saya ambil tim di belakang karena berharap nanti penyakit ini sudah selesai. Ternyata satu dokter berhalangan. Jadi, saya yang maju,” ujar Tati diiringi senyum. Dia termasuk satu dari dua dokter paru yang beroperasi di RS saat ini.
Dokter asal Sindang, Kabupaten Indramayu (sekitar 68 kilometer dari RS), ini pun harus tinggal di mes yang berada di kompleks RS selama dua pekan. Asupan air susu ibu kepada bayinya, Thafana, untuk sementara berhenti.
Peran keluarga
Keluarga menjaga anak pertamanya itu. Hidungnya yang biasanya mencium aroma Thafana mulai ditutupi masker. Wajahnya terlindungi oleh pelindung muka atau face shield. Seluruh tubuhnya berbalut baju pelindung diri atau hazmat, pakaian seperti astronot.
Mengenakannya selama lebih dari dua jam rasanya seperti mandi sauna. Pakaiannya basah kuyup. Kacamata pelindung pun berembun. ”Awalnya, penglihatan terganggu. Saya jalan kayak meraba-raba. Belakangan, kami tahu cara supaya kacamatanya enggak berembun, dikasih sabun, ha-ha-ha,” kata Tati yang siang itu mengenakan baju batik abu-abu.
Baca juga: Mengenal Seribu Wajah Covid-19
Beberapa kali, kacamata itu menutupi air matanya yang menetes karena merindukan Thafana. Panggilan telepon video belum mampu membalas rasa kangennya.
Kini, dua pekan terlewati. Tati dan tenaga medis lainnya telah merawat 14 pasien Covid-19 sejak 21 Maret, Dari tiga orang yang positif, dua orang masih diisolasi. Tati tidak lagi memakai pakaian pelindung.
Akan tetapi, bukan berarti ia bisa langsung memeluk Thafana yang imunnya belum sekuat orang dewasa. ”Saya enggak akan ketemu anak selama beberapa hari hingga yakin. Saya mengungsi dulu ke Indramayu, kebetulan ada rumah keluarga yang kosong. Anak saya berada di Cirebon,” ungkapnya.
Enok Siti (42), perawat di RS Paru Sidawangi, juga mengalami ketegangan luar biasa saat kali pertama menangani pasien Covid-19. ”Saya langsung menangis karena di rumah enggak ada suami lagi. Dua anak saya, termasuk yang berusia 6 tahun, dititipkan ke rumah keluarga,” katanya dengan mata memerah.
Kepada anaknya, Enok pamit dua pekan dan berjanji menelepon melalui panggilan video. Anaknya pernah datang untuk menemuinya. Demi keselamatan, Enok hanya melambaikan tangan sambil menitikkan air mata dari dalam bangunan kepada anaknya di luar pagar rumah sakit. Tidak ada kontak langsung.
Setelah 17 hari tak bersua, kini Enok kembali berkumpul bersama keluarganya. ”Duka merawat pasien Covid-19 itu enggak bertemu keluarga dan selalu khawatir tertular. Tetapi, kami memakai APD dan berusaha menghibur diri. Selain olahraga, kami juga bikin Tiktok,” tuturnya diiringi tawa.
Setiap pagi, para tenaga medis berjemur sembari olahraga. Ada pula yang membuat video senam zumba. Udara sejuk di antara persawahan dan pohon pinus di dekat RS mendukung suasana. Sebelum menuju ruangan isolasi, mereka berkumpul di ruang perawat sekaligus berganti pakaian dengan APD.
Duka merawat pasien Covid-19 itu enggak bertemu keluarga dan selalu khawatir tertular. Tetapi, kami memakai APD dan berusaha menghibur diri.
Alat pelindung diri (APD) tersimpan di loker. Setiap kotak ditandai dengan tulisan, seperti handuk, masker N95, dan sabun. Di ruangan yang dilengkapi kipas angin itu, mereka mengobrol sambil mengemil pisang, biskuit, atau kerupuk. Makanan dan minuman itu pemberian rekan sejawat.
”Kalau soal makanan jangan khawatir. (Berat) badan beberapa perawat malah naik, ha-ha-ha,” katanya.
Bagaikan perang
Direktur RS Paru Sidawangi Lucya Agung Susilawati mengingat, menangani kasus Covid-19 bagaikan berperang. Para tenaga medis harus dilengkapi dengan senjata seperti APD, vitamin, dan asupan gizi memadai. Bangunan poliklinik umum yang seharusnya dibongkar kini dijadikan tempat istirahat para perawat.
Mereka beristirahat di tempat tidur yang biasa ditempati pasien, tetapi tanpa dipan. Jarak kasur pun diatur 1-2 meter untuk menerapkan jaga jarak fisik. Di sana, mereka mencuci dan menjemur pakaian.
”Kami menyiapkan untuk perawatan Covid-19 hanya dua hari karena pasien segera masuk. Padahal, kami akan mendirikan bangunan senilai Rp 90 miliar. Barang-barang sudah dilelang. Tetapi, karena Covid-19, semuanya ditunda,” katanya.
Saat ini, RS Paru mempunyai tiga kamar isolasi dengan kapasitas hingga enam tempat tidur. Pihaknya sedang mengajukan kepada Pemerintah Provinsi Jabar untuk menambah ruangan hingga memuat 20 tempat tidur. Pihaknya juga berharap tenaga medis di RS dapat menjalani uji cepat. ”Kami punya 60 alat uji cepat. Namun, kami mengutamakan pasien,” ujarnya.
Selain fasilitas medis, jumlah dokter spesialis paru juga minim. Di RS Umum Daerah Gunung Jati, misalnya, hanya ada dua dokter paru. Itu pun salah satunya harus cuti hamil. Syifa Imelda, dokter spesialis paru di RSUD Gunung Jati, bisa melayani konsultasi 20 pasien per hari, bahkan lebih.
”Sekarang, saya siaga 24 jam. Kalau badannya di rumah sakit, sih, 12 jam. Dulu, enggak sampai 7 jam dan malamnya bisa tidur nyenyak. Sekarang, enggak bisa,” kata Syifa. Belum lagi ia harus menghadapi keluhan seorang pasien yang menuding pihak rumah sakit mengurung pasien. Padahal, itu merupakan isolasi agar virus tak menyebar.
Hingga kini, RSD Gunung Jati sudah menangani 56 pasien, 20 orang di antaranya masih dirawat di ruangan isolasi. Jika tidak ada penambahan pasien, APD yang tersedia mampu bertahan hingga pertengahan Mei. Namun, belum ada yang mampu memastikan kapan pandemi ini berakhir.
”Kami tidak minta insentif, tetapi dukungan banyak pihak, terutama masyarakat. Tolong, jangan bepergian dulu. Sebagian pasien yang kami tangani ada yang datang dari luar kota, bahkan luar negeri untuk wisata,” ujarnya.
Para tenaga medis yang menjadi benteng terakhir karena kontak langsung dengan pasien Covid-19 tak bisa ditinggalkan sendiri. Jangan biarkan perjuangan mereka yang tak bersua dengan anak dan keluarga beberapa waktu menjadi sia-sia.