Kluster Gowa Jadi Kelompok Penyebaran Terbesar di NTB
Kluster Gowa menjadi kelompok penyebaran Covid-19 dengan kasus positif terbanyak di Nusa Tenggara Barat. Pemerintah daerah berusaha memutus rantai penyebarannya dengan memprioritaskan uji cepat bagi para jemaah terkait.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kluster Gowa menjadi kelompok penyebaran Covid-19 dengan kasus positif terbanyak di Nusa Tenggara Barat. Untuk itu, Pemerintah Provinsi NTB bersama pihak terkait melakukan berbagai upaya untuk memutus rantai penyebaran dari kluster itu.
Hingga Selasa (21/4/2020), dari total 93 kasus positif Covid-19 di NTB, jumlah kasus dalam kluster Gowa atau yang terkait kegiatan Ijtima Ulama Dunia di Gowa, Sulawesi Selatan, akhir Maret lalu, sebanyak 61 orang. Kluster ini tersebar di seluruh kabupaten/kota di NTB baik di Pulau Lombok maupun Sumbawa. Kluster lainnya adalah Jakarta, Bogor, Sukabumi, Madura, luar negeri, dan lokal.
Menurut catatan Kompas, lonjakan penambahan kasus positif dari kluster Gowa atau warga Lombok yang pernah mengikuti kegiatan Ijtima Ulama Dunia di Gowa, Sulawesi Selatan, terjadi dalam dua hari terakhir.
Pada Minggu (19/4/2020), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi NTB mengumumkan 11 kasus positif baru dengan 10 kasus di antaranya dari kluster Gowa. Sehari kemudian, Senin (20/4/2020), kasus positif dari kluster Gowa bertambah 21 orang.
Jumlah kasus positif dari kluster Gowa diperkirakan akan terus bertambah. Apalagi, jumlah jemaah asal NTB yang mengikuti kegiatan Ijtima Ulama Dunia di Gowa cukup banyak, yakni 1.157 orang.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Ahsanul Khalik, Selasa siang, mengatakan, warga NTB yang mengikuti Ijtima Ulama Dunia di Gowa itu tersebar di semua kabupaten dan kota.
Jumlah jemaah asal NTB yang mengikuti kegiatan Ijtima Ulama Dunia di Gowa cukup banyak, yakni 1.157 orang.
Menurut Ahsanul, jumlah warga yang berada atau kontak dengan kluster ini bisa terus berkembang. Apalagi, sebanyak 1.157 orang itu belum termasuk keluarga dan jemaah dalam satu komunitas yang tidak ikut ke Gowa.
Sejauh ini, mereka juga telah mengikuti rapid test dengan hasil 327 orang reaktif. Untuk memastikan hasil positif Covid-19, mereka masih harus melewati pemeriksaan swab. Hingga hari ini, dari 327 reaktif, sebanyak 61 orang positif lewat uji swab.
Terkait hal itu, kata Ahsanul, koordinasi dengan seluruh kepala daerah dan pihak terkait termasuk kepolisian dan TNI terus dilakukan.
Menurut Ahsanul, Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah sudah meminta seluruh kepala daerah agar seluruh orang yang masuk dalam kluster Gowa terdata secara lengkap dan terawasi. Termasuk mendapat prioritas rapid test yang diikuti uji swab bagi yang hasilnya reaktif.
Didorong terbuka
Gubernur NTB Zulkieflimansyah juga memberi perhatian pada kluster Gowa. Lewat pernyataan resminya, Zulkieflimansyah mengatakan, masyarakat tidak perlu terkejut dengan lonjakan kasus positif dari kluster Gowa.
”Mestinya kita tidak perlu terkejut karena kluster itu sudah teridentifikasi. Dengan demikian, akan lebih mudah menanganinya,” kata Zulkieflimansyah.
Menurut Zulkieflimansyah, banyaknya kasus positif dari kluster Gowa ialah anggota jemaah tabligh, bukan karena kesengajaan. ”Komunitas ini guyub. Sering berjabat tangan dan sering bersama-sama. Itulah yang membuat penularan Covid-19 di antara mereka jadi lebih cepat. Menyalahkan mereka juga tentu tidak tepat,” katanya.
Zulkieflimansyah juga meminta warga yang pernah ke Gowa untuk terbuka dan sadar bahwa Covid-19 bukan aib dan bisa disembuhkan. ”Oleh karena itu, tidak perlu bersikeras untuk tidak mau dites,” kata Zulkieflimansyah.
Pihak terkait, seperti kepolisian, juga menyampaikan hal serupa. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah NTB Komisaris Besar Antarto mengatakan, mereka tetap berkoordinasi dengan pimpinan (amir) dari Jemaah Tabligh, khususnya untuk mematuhi pernyataan yang telah mereka sepakati.
Menurut Artanto, dalam rapat terbatas antara Polda NTB dengan perwakilan jemaah tabligh telah disepakati beberapa hal. Pertama, pengajian malam Jumat ditangguhkan dan diganti dengan amalan di rumah. Selain itu, musyawarah juga diadakan terbatas oleh tim advokasi dan kesehatan.
Kesepakatan lain, menurut Artanto, adalah jemaah yang sedang bergerak 40 hari ditangguhkan sampai ada arahan baru dari pemerintah.
Jika kesepakatan itu dilanggar, akan ada sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, serta Pasal 212, 214, dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni melawan petugas saat melaksanakan tugas.