Sejumlah Perantau Minang Memilih Tidak Mudik Tahun Ini
Pemerintah menetapkan larangan mudik. Saat ini pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan di sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta dan Sumatera Barat. Perantau Minang di Jakarta memilih tidak mudik tahun ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perantau Minang di DKI Jakarta memilih tidak mudik tahun ini. Meskipun berat, keputusan itu dinilai paling rasional untuk memutus penyebaran pandemi Covid-19.
Afridela Syafitri (25), karyawan bank swasta yang berkantor di Jakarta Selatan, menjelaskan, dirinya akan mematuhi kebijakan larangan mudik yang diterapkan oleh pemerintah. Dia juga setuju dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diterapkan untuk memutus penyebaran Covid-19.
”Keputusan ini berat sekali buat saya. Apalagi saya mudik buat menikah setelah Lebaran. Ya, otomatis pestanya diundur,” katanya.
Gusrianda (27), mahasiswa pascasarjana di salah satu universitas di Jakarta, menjelaskan, dia akan pulang kampung setelah wabah korona mereda. ”Sebenarnya bisa saja pulang, toh, penerbangan masih ada setiap hari. Tetapi saya harus konsisten sebagai bentuk tanggung jawab sosial mendukung anjuran pemerintah agar musibah ini cepat berakhir,” kata pria asal Solok, Sumatera Barat, ini.
Tahun lalu, ia juga berlebaran di Jakarta. Harapannya, tahun ini bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga. Namun, korona membuat semua harapan itu pupus. ”Ya, harus bisa berdamai dengan ego. Dibikin happy saja. Tidak pulang untuk sekarang ini adalah salah satu bentuk cinta kepada keluarga,” tambahnya.
Hal itu ia simpulkan setelah mendengar kabar tentang tetangganya di kampung positif Covid-19 dan meninggal, kemarin. Jenazah tetangganya itu tidak bisa dibawa ke rumah lantaran jalan menuju rumahnya sedang longsor. Ia mengistilahkan itu sebagai lockdown (karantina) alami.
”Dari kejadian itu bisa disimpulkan bahwa memang perantau seperti kita ini yang bawa virus. Bapak (alm) itu tidak tahu apa-apa. Dia tertular dari menantunya yang pulang dari Jakarta. Jadi, tidak mudik adalah pilihan tepat saat ini,” lanjutnya.
Sebenarnya bisa saja pulang, toh, penerbangan masih ada setiap hari. Namun, saya harus konsisten sebagai bentuk tanggung jawab sosial mendukung anjuran pemerintah agar musibah ini cepat berakhir.
Berbeda dengan dua sumber di atas, Utiah Siri (33), masih belum menentukan sikap. ”Kabue je takah e baru (masih kabur gambarannya),” kata pria yang berprofesi sebagai distributor ini ketika ditanya mengenai mudik.
Sebagai pencatut emas, Siri membutuhkan keramaian di pasar. Namun, sejak Covid-19 melanda Indonesia, tak banyak yang bisa dia perbuat. Sudah dua minggu terakhir, dia menganggur dan tinggal di rumah kakaknya di Jakarta Barat. Jika pandemi berlangsung hingga menjelang Lebaran, kemungkinan besar dia akan pulang kampung dan tak kembali lagi ke Jakarta.
”Bertani atau berkebun. Meski duitnya tak sebanyak kerja di jakarta, hanya itu peluang pekerjaan di kampung,” kata pria asal Pariaman ini.
Pemerintah menetapkan larangan mudik dalam rapat terbatas, kemarin. Larangan mudik diberlakukan mulai Jumat (24/4/2020). Sementara di Sumatera Barat, kampung halaman tiga perantau di atas, juga sudah menerapkan PSBB.
Larangan terlambat
Dalam diskusi ”Mengantisipasi Mudik Lebaran saat Pandemi” yang digagas Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, larangan mudik dari pemerintah terlambat. Sebagian dari pekerja informal sudah pulang ke kampung halaman sejak pertengahan Maret.
Untuk efektivitas larangan mudik, pemerintah harus mengintensifkan bantuan sosial. Ini untuk menekan terjadinya kegaduhan sosial. ”Tolong kasih makan rakyat. Pemerintah jangan pelit,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Enny Sri Hartati menjelaskan, ada tiga sasaran bantuan sosial yang mesti diberikan pemerintah, yakni orang miskin, orang rentan miskin, dan orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah memiliki data orang miskin karena selama ini mereka memang menjadi sasaran bantuan sosial.
Meskipun data detail tentang orang rentan miskin belum didapatkan, kriteria yang bisa digunakan pemerintah adalah orang dengan penghasilan harian. ”Memang potensi bias dalam pendataan cukup besar, tetapi bukan berarti tak bisa dilakukan,” katanya.
Pemerintah juga perlu lebih memfokuskan anggaran Kartu Prakerja untuk orang terkena PHK agar tak menimbulkan polemik berlarut-larut. ”Kalau semua dilakukan, kelompok miskin, rentan miskin, dan orang terkena PHK bisa lebih tenang. Sementara bagi kelas menegah, pemerintah perlu memastikan ketersediaan kebutuhan pokok tetap terpenuhi,” jelasnya.