Selama Pandemi, Pelepasliaran Orangutan Ditiadakan
Selama masa pandemi Covid-19, Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) meniadakan pelepasliaran orangutan ke hutan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Selama masa pandemi Covid-19, Yayasan Borneo Orangutan Survival meniadakan pelepasliaran orangutan ke hutan. Sampai saat ini terdapat 430 orangutan yang masih berada di pusat rehabilitasi yayasan tersebut.
CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite menjelaskan, pelepasliaran akan dilanjutkan setelah wabah penyakit mematikan tersebut benar-benar hilang dari Indonesia. Satwa yang memiliki kemiripan DNA hingga 97 persen dengan manusia itu memiliki potensi terinfeksi virus ataupun menularkan virus ke manusia.
”Pelepasliaran itu membutuhkan proses yang panjang dan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang baru melewati beberapa zona yang saat ini sudah memiliki transmisi lokal Covid-19,” kata Jamartin saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (22/4/2020).
Terakhir kali yayasan ini melepasliarkan orangutan adalah pada Senin 17 Februari 2020 lalu. Saat itu, mereka melepas tiga orangutan hasil rehabilitasi dan reintroduksi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR).
Hingga kini terdapat 171 orangutan yang sudah dilepasliarkan di TNBBBR hasil kerja sama antara Balai TNBBBR, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalteng, dan Yayasan BOS. Pelepasliaran di tempat itu sudah dilakukan sejak 2016.
Protokol kesehatan selalu kami jalani jauh sebelum wabah ini ada, jadi sampai sekarang kami tetap menjalankan itu.
”Di Kalimantan, kami memiliki dua tempat rehabilitasi orangutan, yakni di Kaltim dan Kalteng. Keduanya juga kami tutup sementara, tetapi perawatan tetap berjalan,” kata Jamartin.
Jamartin menjelaskan, tim yang bekerja di tempat rehabilitasi dan reintroduksi orangutan dibagi ke dalam beberapa grup. Satu grup menangani satu kelompok orangutan. ”Protokol kesehatan selalu kami jalani jauh sebelum wabah ini ada, jadi sampai sekarang kami tetap menjalankan itu,” katanya.
Untuk sementara, lanjut Jamartin, semua tempat rehabilitasi dan reintroduksi tidak bisa dikunjungi tamu. Tempat-tempat itu ditutup sampai waktu yang belum ditentukan.
Hari Bumi
Meskipun demikian, dalam memperingati Hari Bumi yang diperingati pada 22 April ini, Yayasan BOS juga melakukan diskusi secara daring melalui media sosial. Mereka membahas bagaimana orangutan sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim dan keberlangsungan ekosistem di hutan.
”Kami masih memiliki 430 orangutan yang belum bisa dilepasliarkan. Kami berharap semuanya tidak tinggal di kandang, melainkan di hutan. Sebab, di hutan, mereka akan sangat berguna bagi kehidupan manusia,” kata Jamartin.
Jamartin menjelaskan, sebagian besar orangutan yang berada di pusat rehabilitasi yayasan itu merupakan hasil sitaan dari masyarakat atau orangutan yang terdampak konflik dengan masyarakat dan kehilangan rumahnya, yakni hutan. Hal itu disebabkan tingginya deforestasi dan konversi hutan menjadi perkebunan atau pertambangan.
Ketua Forum Orangutan Kalimantan Tengah (Forkah) Okta Simon menjelaskan, orangutan akan sangat berguna bagi manusia dan lingkungan jika hidup di hutan atau habitatnya. Mereka memiliki sifat dasar menyebar biji dari buah-buahan yang mereka makan.
Cakupan penyebaran biji-bijian itu bisa mencapai 100 hektar lahan per hari. ”Artinya, ekosistem terjaga, hutan pun kian asri. Itu jadi solusi untuk perubahan iklim,” ungkap Okta.
Saat ini, lanjut Okta, pemerintah memiliki tantangan untuk menyelamatkan orangutan dan juga habitatnya. Satu-satunya cara adalah dengan mengurangi konversi hutan.