Bendera organisasi separatis Republik Maluku Selatan dibentangkan di halaman Markas Polda Maluku, Sabtu (25/4/2020). Tiga pelakunya mengaku bertanggung jawab atas sejumlah aksi mengatasnamakan Republik Maluku Selatan.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Bendera organisasi separatis Republik Maluku Selatan dibentangkan di halaman Markas Polda Maluku, Sabtu (25/4/2020). Tiga pelakunya mengaku bertanggung jawab atas sejumlah aksi yang mengatasnamakan Republik Maluku Selatan di sejumlah daerah di Maluku.
Aksi ini dilakukan bertepatan dengan hari ulang tahun organisasi terlarang itu. Para pelaku leluasa membentangkan bendera ”Benang Raja” itu karena tidak ada aparat yang berjaga di pintu gerbang Polda Maluku.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, tiga pelakunya adalah SVT (57), AL (44), dan JP (52). Mereka masuk ke halaman Markas Polda Maluku sekitar pukul 15.45 WIT sambil membawa bendera Benang Raja berukuran panjang 2,5 meter dan lebar 1 meter. Sambil memegang bendera, mereka meneriakkan salam kebangsaan RMS ”Mena Muria”.
Melihat kejadian itu, petugas piket dengan senjata laras panjang langsung menghentikan aksi itu. Para pelaku ditangkap lalu dibawa masuk ke ruangan pemeriksaan Reserse Kriminal Umum Polda Maluku. Selain bendera, polisi juga menyita satu masker bergambar bendera RMS dan satu telepon genggam.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Reom Ohoirat membenarkan aksi itu. Saat diperiksa, ketiganya mengaku bagian struktur gerakan RMS. Mereka datang untuk menyerahkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka terhadap sejumlah aksi simpatisan RMS pada Sabtu pagi.
Pada Sabtu pagi terjadi pawai puluhan orang yang membawa bendera Benang Raja serta pengibaran bendera itu di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Selain itu, pengibaran juga dilakukan di Kota Ambon. Sebelum tiga orang itu tiba di Markas Polda Maluku, polisi menangkap lima orang dalam kasus di Haruku dan Ambon.
”Ketiganya mengaku pimpinan RMS. Sebelumnya, mereka membuat video untuk mengajak masyarakat memasang bendera RMS. Dan, hari ini mereka mendengar bahwa ada beberapa warga yang ditangkap aparat. Sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada warga yang ditangkap, ketiganya datang ke polda untuk menyerahkan diri,” tutur Roem.
Menurut Roem, aksi ini dilakukan untuk menarik perhatian media. Mereka mendapatkan keutungan ekonomi. ”Ada yang dibayar untuk hal tersebut,” katanya. Namun, Roem enggan menjelaskan pihak mana yang membayar para simpatisan dan pimpinan itu.
Menurut catatan Kompas, pengibaran bendera Benang Raja dilakukan pada 25 April setiap tahun. Pada tahun 2014, misalnya, puluhan simpatisan pawai di tengah Kota Ambon. Salah satu peserta, Simon Siaya, buronan kasus pembentangan bendera di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2007.
Ketiganya mengaku pimpinan RMS. Sebelumnya, mereka membuat video mengajak masyarakat pasang bendera RMS.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, munculnya gerakan itu menandakan doktrin RMS masih kuat di kalangan masyarakat tertentu. Doktrin itu bisa hilang jika pemerintah termasuk aparat keamanan mendengarkan suara kalangan yang dianggap berafiliasi dengan RMS. Benediktus menilai, negara masih mendiskriminasikan mereka.
Ia mencontohkan, daerah yang dianggap sebagai basis RMS kurang mendapat perhatian dalam pembangunan. ”Coba cek rekrutmen TNI dan Polri, sulit sekali bahkan tidak ada sama sekali anak-anak dari desa tertentu yang lolos. Diskriminasi ini coba dihilangkan dulu,” ujarnya.
Benediktus berharap, proses hukum terhadap kasus itu berjalan tanpa penyiksaan. Pihaknya kerap menerima laporan masyarakat terkait kekerasan polisi terhadap simpatisan RMS yang ditangkap. ”Kekerasan itu akan melahirkan perlawanan dari anak cucu mereka,” katanya.