Aktivis HAM Suciwati menilai ada upaya rekayasa dalam penangkapan sejumlah aktivis belakangan ini di Indonesia. Menurut dia, hal itu adalah salah satu upaya pembungkaman terhadap kekritisan masyarakat sipil.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Aktivis HAM Suciwati menduga ada rekayasa dalam penangkapan sejumlah aktivis akhir-akhir ini di Indonesia. Dia dan para aktivis lainnya meminta kriminalisasi dan teror terhadap masyarakat sipil harus segera dihentikan.
Pernyataan itu disampaikan Suciwati saat menyampaikan surat terbuka untuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz di Markas Polresta Malang Kota, Sabtu (25/4/2020).
”Kami dari solidaritas masyarakat Aksi Kamisan Jakarta dan Malang hendak mengajukan tuntutan atas beberapa peristiwa penangkapan terhadap masyarakat yang terjadi dalam seminggu oleh Polri,” kata Suciwati, istri almarhum Munir ini.
Suciwati mengatakan, sudah ada beberapa aktivis yang sebelumnya ditangkap, seperti Dandy Laksono dan Ananda Badudu. ”Belakangan, ada Ravio dan tiga aktivis di Kota Malang. Seperti ada semacam rekayasa, membungkam masyarakat sipil dan teman-teman prodemokrasi,” kata Suciwati.
Khusus penangkapan Ravio dan tiga aktivis Malang, menurut Suciwati, polanya serupa. Selain malaadministrasi dalam proses penangkapan, Suciwati mengatakan, penerapan prosedur hukum acaranya cacat dan terlihat seperti ada upaya membungkam demokrasi.
Oleh karena itu, dia meminta Kepala Polresta Malang Kota Komisaris Besar Leonardus Simarmata segera membebaskan tanpa syarat tiga aktivis Malang. Selain itu, Suciwati juga meminta penangkapan yang cacat secara administrasi dan prosedur hukum acara segera dihentikan.
”Ketika polisi langsung ambil orang, tanpa surat, itu sama dengan penculikan,” kata Suciwati.
Samuji (53), orangtua salah seorang aktivis Malang yang ditangkap, meminta anaknya segera dibebaskan. ”Anak itu pendiam, sesekali saja keluar rumah dengan temannya. Di rumah, tidak ada alat-alat gambar seperti yang dibilang polisi,” katanya.
Samuji mengatakan, anaknya bekerja sebagai pekerja harian lepas di sebuah pabrik pengolahan rumpul laut di Singosari. Di tengah pandemi Covid-19, dia kehilangan pekerjaannya.
Sebelumnya, aparat Polresta Malang Kota menangkap tiga aktivis Aksi Kamisan Malang pada 19 April 2020. Mereka diduga terkait kelompok vandalis dengan mencoret dinding atau properti milik orang lain dengan kata-kata provokatif. Ketiganya terancam hukuman 10 tahun penjara.
Tiga orang itu adalah MAA (20), warga Pakis, Kabupaten Malang; SRA (20), pekerja harian lepas asal Singosari, Kabupaten Malang; dan AFF (22), mahasiswa asal Buduran, Sidoarjo. Semuanya kerap mengikuti agenda Aksi Kamisan Malang.
Leonardus Simarmata mengatakan, ketiganya telah ditetapkan jadi tersangka. Tiga orang itu diklaim punya peran berbeda. MAA ditengarai sebagai inisiator, pembeli cat semprot, dan pelaku pencoretan. SRA dianggap inisiator dan pelaku penyemprotan. Adapun AFF adalah orang yang mengawasi saat aksi pencoretan berlangsung.
”Motif pelaku tidak terima dan memprovokasi masyarakat melawan kapitalisme yang dirasa merugikan,” kata Leonardus.
Ketiganya beraksi di enam lokasi. Lokasinya di Jalan Sunandar Priyo Sudarmo, Jalan LA Sucipto, pertigaan Jalan Tenaga, Jalan Ahmad Yani Utara, Jalan Jaksa Agung Suprapto, dan underpass pintu tol Karanglo. Pencoretan dilakukan dengan menggunakan cat semprot hitam sekitar pukul 00.00-04.00. Barang buktinya, cetakan bertuliskan ”Tegalrejo Melawan”, sepatu, helm, dan cat semprot.
Terkait dugaan keterlibatan kelompok Anarko, Leonardus meminta semua pihak menunggu. Itu sudah masuk materi penyidikan. Nanti, kalau saya buka sekarang, malah salah. Itu masih berproses. Nanti akan kami buka semua,” kata Leonardus.
Ditanya tentang desakan sejumlah pihak untuk membebaskan para aktivis, Leonardus mengatakan, proses hukum akan terus berjalan. ”Kami tidak ingin ada tekanan dari luar. Biarkan hukum yang bicara. Silakan kalau mau mengatakan seperti itu (menyalahi prosedur). Wadahnya di praperadilan. Monggo diuji,” katanya.
Jauhar, kuasa hukum tiga tersangka di Malang, mengatakan, polisi tidak profesional saat bertugas karena menangkap dan menahan tanpa prosedur serta melanggar hak warga negara. Dia mengatakan, polisi menangkap kliennya hanya berbasis dugaan spekulatif, tanpa disertai bukti yang kuat. Ketiga orang itu hanya diberitahu akan dijadikan saksi. Pemberitahuan itu pun bahkan dilakukan tanpa surat perintah.
Jauhar mencontohkan saat polisi menangkap AFF di Sidoarjo. Menurut keterangan ayah AFF, pihaknya didatangi tiga polisi Malang dan dua polisi Sidoarjo. Saat dimintai surat penjemputan, polisi menunjukan surat yang tidak ada nama AFF. Saat itu, AFF sempat menolak menuruti permintaan tersebut.
Akan tetapi, AFF terpaksa mengikuti permintaan polisi. Ia lalu dibawa ke Polresta Malang. Polisi juga menggeledah kediaman nenek AFF di Tumpang, tempat tinggalnya selama kuliah di Malang, untuk mencari barang-barang diduga terkait kelompok Anarko.
”Ternyata langsung ditetapkan tersangka dan ditahan saat tiba di Polresta Malang Kota. Ini salah satu hal yang menurut kami menyalahi prosedur,” kata Jauhar.
Saat ini, LBH Surabaya dan LBH Surabaya Pos Malang, menurut Jauhar, sedang berusaha membebaskan ketiganya. ”Sekarang, kami sedang mengupayakan penangguhan penahanan. Suratnya akan segera kami kirim,” kata Jauhar.