Jumlah Inspektur Terbatas, Pengawasan Tambang Lemah
Pengawasan di sektor pertambangan dinilai masih lemah karena jumlah inspektur tambang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan tambang yang diawasi.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pengawasan di sektor pertambangan dinilai masih lemah karena jumlah inspektur tambang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan tambang yang diawasi. Akibatnya, banyak aspek pemulihan lingkungan yang tidak terlaksana dan menimbulkan kerusakan ekologi.
Hal itu mencuat dalam diskusi daring yang diadakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Trend Asia, dan Bersihkan Indonesia bertajuk ”Melegitimasi Lubang Tambang: Peluncuran Kertas Kebijakan Reklamasi Lubang Tambang Indonesia”, Senin (27/4/2020).
Penulis Kertas Kebijakan, Muhammad Jamil, mengatakan, ada lebih dari 8.000 perusahaan pertambangan di Indonesia. Jumlah inspektur tambang yang tercatat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hanya sekitar 800 orang. Artinya, seorang inspektur tambang bertugas mengawasi sekitar 100 perusahaan pertambangan.
”Tidak semua lokasi pertambangan dekat dengan pemukiman, ada juga yang jauh di dalam hutan. Itu akan sangat sulit diawasi,” kata Ilham.
Selain itu, fasilitas yang diberikan kepada inspektur tambang sangat terbatas. Hal ini berpotensi membuat pengawasan tidak bisa dilakukan dengan baik. Misalnya, saat inspektur tambang datang mengawasi dengan fasilitas mobil milik perusahaan dan disediakan sopir dari perusahaan tambang.
Ilham mengatakan, hal itu akan menimbulkan persoalan karena inspektur tambang akan sangat sulit menentukan rute dan wilayah mana saja yang akan diperiksa. Ada kekhawatiran para inspektur tambang akan dibawa ke tempat yang baik-naik saja. Akibatnya, pengawasan tidak bisa dilakukan di semua lokasi tambang.
Akhirnya, pengawasan beberapa hal mendasar dari pertambangan banyak luput dari pengawasan. Salah satunya, tepi lubang tambang yang berdekatan dengan permukiman warga.
Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, jarak tepi lubang galian paling sedikit 500 meter dari permukiman.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan, hal itu mengancam keselamatan warga. Di Kalimantan Timur tercatat lebih dari 30 nyawa melayang akibat tercebur ke kolam bekas lubang tambang sejak 2011. Sampai saat ini baru satu kasus yang sudah diproses hukum.
”Selain itu, lokasi yang berdekatan dengan permukiman juga mengancam keselamatan masyarakat di sekitar tambang karena masyarakat terkena debu pertambangan dan juga air yang jadi kotor,” tutur Rupang,
Tanggung jawab negara
Selain pengawasan, banyak kasus pertambangan batubara menjadi masalah bagi masyarakat sekitar karena memang regulasinya yang kurang progresif. Akibatnya, pemulihan lingkungan setelah kegiatan pertambangan selesai tidak bisa dilakukan sepenuhnya karena didukung dengan regulasi yang longgar.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Sumiyati, mengatakan, proses reklamasi yang harus dilakukan selama tahapan usaha pertambangan untuk memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Itu karena ada peraturan yang memperbolehkan perusahaan tambang meninggalkan bekas galian tambang untuk keperluan lain.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2014 menyebutkan program reklamasi tahap operasi produksi dapat dilaksanakan dalam bentuk revegetasi dan peruntukan lain, seperti area permukiman, pariwisata, sumber air, atau area pembudidayaan.
”Hal itu malah melegalkan pembiaran lubang tambang yang menganga dan pengaburan makna reklamasi,” kata Retno.
Ia mengatakan, dengan adanya aturan itu, pemegang izin pertambangan dapat berlindung dari kewajiban reklamasi lubang tambang. Padahal, ada banyak lubang tambang yang berdekatan dengan permukiman warga, seperti di Samarinda, Kalimantan Timur.
Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur, Sarkowi V Zahry, menilai, terjadi multitafsir terkait norma hukum sanksi reklamasi dan pascatambang. Akibatnya, sanksi yang diberikan tidak berdampak pada kualitas lingkungan yang baik.
”Sanksi pidana selama ini belum berorientasi pada lingkungan. Seharusnya ada sanksi kumulasi untuk rehabilitasi dan ganti kerugian biaya rehabilitasi lingkungan,” katanya.
Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif sepakat bahwa inspektur tambang harus diperkuat sebagai mata dari pemerintah pusat di daerah. Pengawasan dari hulu ke hilir pertambangan memang perlu diperketat, terlebih saat pemasaran dan penjualan hasil tambang. Sebab, jika ada penyelewengan, itu akan merugikan keuangan negara.
Ia mengatakan, pada 2025-2030 penggunaan batubara sebagai sumber energi akan dikurangi. Lubang tambang yang tersisa setelah kegiatan pertambangan selesai akan digunakan untuk energi baru dan terbarukan, salah satunya untuk pembangkit listrik tenaga surya.
Irwandy mengatakan, saat ini pemerintah sudah melakukan pembinaan dan pengawasan rutin. Selain itu, pemerintah sudah mewajibkan pemegang izin usaha pertambangan untuk menyusun rencana reklamasi dan sudah melakukan supervisi kepatuhan.
”Prinsip dari Kementerian ESDM kepada perusahaan tambang yang mendapat izin dari pemerintah pusat adalah melakukan kebijakan yang sesuai ketentuan perundang-undangan. Jika ada yang terlewat, itu segera dilaporkan supaya bisa segera ditindaklanjuti,” katanya.