Warga Sulawesi Utara Diperbolehkan Terima Bantuan dari Berbagai Sumber
Warga Sulawesi Utara yang terdampak Covid-19 diperbolehkan menerima beragam jenis bantuan jaring pengaman sosial dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota sekaligus.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Warga Sulawesi Utara yang terdampak ekonominya akibat wabah Covid-19 diperbolehkan menerima beragam jenis bantuan jaring pengaman sosial dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota sekaligus. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, terdapat kesamaan data warga target bantuan karena sumber yang tidak terintegrasi.
Pemprov Sulut dan pemerintah 15 kabupaten dan kota di Sulut telah merealokasi total Rp 414,4 miliar untuk menangani dampak Covid-19. Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sulut Jemmy Kumendong, Senin (27/4/2020), mengatakan, setiap warga yang terdampak Covid-19 akan menerima bantuan bahan pangan senilai Rp 300.000-Rp 400.000 dari anggaran itu.
Warga diperbolehkan menerima bantuan dari dua sumber tersebut. ”Tidak masalah kalau warga menerima bantuan dari berbagai pihak karena nilai bantuannya tidak seberapa. Kami juga tidak bisa melarang kabupaten/kota memberikan bantuan kepada warganya. Warga kabupaten/kota juga warga Sulut,” kata Jemmy.
Anggaran Pemprov Sulut untuk menghadapi Covid-19 mencapai Rp 96 miliar. Sebanyak Rp 45,5 miliar dibelanjakan untuk menyediakan paket bahan pangan pokok berisi antara lain 5 kilogram beras, 3 ikan kaleng, 1 liter minyak goreng, 10 bungkus mi instan, dan 5 lembar masker untuk setiap keluarga. Ada sekitar 255.000 paket bahan pangan yang disiapkan.
Menurut Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS), ada sekitar 250.000 warga Sulut yang hidup di bawah garis kemiskinan dan menerima bantuan Kementerian Sosial. Angka ini dipastikan bertambah dengan adanya warga miskin baru yang kehilangan penghasilan karena kebijakan pembatasan kegiatan di ruang publik.
Meski demikian, Jemmy belum dapat menyebut jumlah pasti penerima bantuan karena pendataan masih berlangsung. ”Kami mengumpulkan data dari lembaga-lembaga keagamaan karena merekalah yang paling tahu keadaan umat masing-masing,” katanya.
Contohnya, umat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang jatuh miskin akan didata penatua dan syamas, yakni pemimpin umat di tingkat kolom yang beranggotakan 15 hingga 20 keluarga. Sekalipun sangat mungkin ada subjektivitas petugas dalam proses pengumpulan data, cara itu dinilai paling efektif untuk mendapatkan data dalam waktu singkat.
Pembagian bantuan pemprov telah berlangsung dua pekan di Manado, Bitung, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara, dan Bolaang Mongondow Selatan. Sebanyak 219.000 paket melalui lembaga keagamaan dan 36.000 paket kepada berbagai kelompok masyarakat.
Adapun pemkab dan pemkot mengumpulkan data dari para kepala lingkungan (setara rukun tetangga) di setiap desa dan kelurahan. Menurut Jemmy, kepala lingkungan dapat menjangkau lebih banyak warga karena tak terbatas oleh sekat agama.
Karena itu, sangat mungkin warga yang sudah masuk daftar penerima bantuan pemprov juga masuk daftar penerima bantuan kabupaten/kota. Meski demikian, Jemmy mengatakan, warga tidak bisa menerima bantuan yang sama dua kali.
Pada saat yang sama, pemerintah pusat juga telah membuat beberapa skema bantuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Dana Desa, dan Bantuan Tunai Langsung Kemensos. Jemmy mengatakan, penyaluran bantuan itu diurus langsung oleh pemerintah pusat. Namun, warga tetap boleh mendapatkan bantuan pemprov.
Bantuan itu sudah diberikan setiap bulan oleh pemerintah sebelum ada Covid-19, jadi tidak bisa menerima bantuan dari pemkot.
”Kalau sudah didata lewat lembaga keagamaan, tetap bisa dapat bantuan walau sudah menerima bantuan dari pusat ataupun kabupaten/kota,” kata Jemmy.
Sebaliknya, Wali Kota Manado Vicky Lumentut mengatakan, warga yang telah menerima manfaat PKH dan Kartu Sembako tidak boleh menerima bantuan sosial dari pemkot. ”Bantuan itu sudah diberikan setiap bulan oleh pemerintah sebelum ada Covid-19, jadi tidak bisa menerima bantuan dari pemkot,” katanya.
Bantuan berupa 10 kg beras, 2 kg gula, 10 bungkus mi instan, 10 ikan kaleng, dan tiga saset kopi telah dibagikan bagi 66.920 keluarga yang terdampak Covid-19. Pemkot Manado menganggarkan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 40,67 miliar. Sebanyak Rp 30,3 miliar dianggarkan untuk jaring pengaman sosial.
Vicky mengatakan, hal ini diiringi pengurangan dana transfer dari pusat sebesar Rp 90,7 miliar dari total sebelumnya Rp 777,79 miliar dan pengurangan pendapatan asli daerah sebesar Rp 127 miliar dari target semula Rp 1,06 triliun. Karena itu, ia harap tidak ada tumpang tindih bantuan pemkot dengan bantuan lainnya.
Di Minahasa, Ketua Satgas Covid-19 Minahasa Denny Mangala juga mengatakan, para penerima manfaat PKH dan Kartu Sembako tidak bisa menerima bantuan sosial kabupaten. Pemkab Minahasa pun telah menganggarkan sekitar Rp 44 miliar untuk menyediakan paket bahan pangan bagi 20.834 dari total 37.000 keluarga tidak mampu.
Pada saat yang sama, Kepala Biro Pemerintahan Sulut Jemmy mengakui, pemerintah daerah menghadapi tekanan besar dalam penanganan Covid-19 di daerah masing-masing. Di tengah keterbatasan dana di daerah, bantuan dari pusat tidak dapat langsung dicairkan karena aturan yang belum jelas, misalnya alokasi dana desa.
Awalnya, Surat Edaran Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2020 melarang pembelian sembako, tetapi harus dibelanjakan proyek Padat Karya Tunai Desa. Belakangan, surat edaran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperbolehkan dana desa dibelikan sembako.
Pada saat yang sama, muncul program bantuan langsung tunai (BLT) dari Kemensos yang melarang penerimanya menerima bantuan sembako dari pemerintah daerah. ”Ini yang membingungkan dan membuat wali kota dan bupati frustrasi, seperti Bupati Boltim (Bolaang Mongondow Timur),” kata Jemmy.
Sebelumnya, beredar video yang merekam kemarahan Bupati Boltim Sehan Salim Landjar karena lambatnya alokasi dana bantuan dari pusat. Ia mengeluhkan BLT yang tak kunjung dicairkan dan harus melalui proses panjang pembuatan rekening. Padahal, ada sekitar 4.700 warga Boltim yang membutuhkan bantuan segera.
”Ada tiga warga yang datang ke saya, minta beras barang seliter saja. Dia penerima BLT, tapi BLT-nya belum ada. Uangnya enggak tahu mau ngucur kapan, sementara beras ada di depan mata, tapi saya enggak boleh kasih. Kalau rakyat saya mati, saya juga yang tanggung jawab,” kata Sehan berang.
Ia berharap kementerian yang terlibat dapat menyederhanakan aturan agar bantuan dapat segera dibagikan. Menurut dia, seharusnya pemerintah daerah diberikan diskresi untuk mengelola bantuan sembako ataupun BLT dengan pengawalan kepolisian, kejaksaan, lembaga swadaya masyarakat, dan media.