Data Penerima Bantuan Sosial Tidak Akurat Pangkal Persoalan
Potensi korupsi bansos terkait pandemi Covid-19 terbuka karena besarnya anggaran yang dialokasikan. Data penerima yang tidak akurat membuka peluang penyelewengan, seperti pembuatan data fiktif dan pemotongan bantuan.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat akurasi data penduduk miskin yang layak menerima bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 bisa menjadi pangkal masalah. Selain membuat bantuan menjadi tidak tepat sasaran, data yang tidak akurat juga bisa jadi pintu masuk penyelewengan dana bantuan sosial.
Di beberapa daerah dilaporkan adanya jumlah warga terdata yang lebih sedikit dari warga yang membutuhkan bantuan sosial (bansos). Di Kota Jambi, pemerintah setempat membuka peluang bagi warga terdampak virus korona baru untuk mendaftar sebagai penerima bansos. Hal yang sama dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang melibatkan lembaga keagamaan mendata warga.
Menurut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada sekitar 250.000 warga Sulut yang hidup di bawah garis kemiskinan dan menerima bantuan Kementerian Sosial. Namun, kata Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sulut Jemmy Kumendong, angka ini dipastikan bertambah dengan adanya warga yang kehilangan penghasilan karena kebijakan pembatasan sosial akibat Covid-19.
Terkait hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menekankan pentingnya pemadanan data dari pemerintah daerah (non-DTKS) dengan DTKS agar bansos tepat sasaran. Namun, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hingga Minggu (26/4/2020), 91 daerah belum memfinalisasi DTKS.
Data non-DTKS didapat dari data lapangan yang dikumpulkan pemda lalu dibawa ke dinas sosial untuk dipadankan dengan DTKS. Data itu bisa menjadi pembaruan data DTKS.
Menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Senin (27/4/2020), pemadanan data non-DTKS dengan DTKS dibutuhkan untuk memastikan warga di DTKS masih hidup, tidak pindah ke tempat lain, dan tidak ada data ganda.
Pahala menekankan, data tak akurat membuka peluang penyelewengan, seperti pembuatan data fiktif dan pemotongan bantuan. ”Itu bisa menyebabkan kerugian negara,” katanya.
Potensi korupsi bansos terbuka karena besarnya anggaran yang dialokasikan. Pemerintah pusat mengalokasikan Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, termasuk bansos, terkait dampak Covid-19. Sementara itu, dari hasil realokasi anggaran pemda per 16 April 2020, Rp 17,5 triliun dialokasikan untuk belanja hibah atau bansos untuk mengatasi dampak Covid-19 di daerah.
Pemadanan data
Sebagai upaya mitigasi terjadinya korupsi dalam pemberian bantuan sosial, data DTKS dipadankan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Dalam pemadanan data tersebut, dinas kependudukan dan pencatatan sipil harus datang ke lokasi untuk memastikan orang yang didata benar-benar miskin.
Adapun saat ini informasi yang diterima KPK menunjukkan masih ada sekitar 19 juta orang yang NIK-nya tidak valid. NIK yang tidak valid berarti ada datanya, tetapi tak padan dengan data dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Sementara data penduduk miskin di DTKS 97 juta.
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengatakan, data yang dikumpulkan Kemensos dimasukkan di DTKS dan diperbarui setiap tiga bulan. Data tersebut berasal dari kabupaten/kota. ”Semuanya bermula dari musyawarah desa. Kemensos tidak turun sendiri dan menentukan siapa yang akan menerima suatu program,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, mekanisme pembaruan data untuk pemberian bansos ialah Kemensos memberikan DTKS yang dikombinasikan oleh data tambahan usulan dari pemda sehingga mereka boleh menambah data baru yang namanya belum masuk dalam DTKS.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Eko Prasojo mendorong pemberian diskresi pada pengurus RT dan RW untuk menetapkan siapa dan berapa banyak bansos yang bisa diberikan. Namun, hal ini harus diikuti pengawasan kuat. Perbaikan data bisa dilakukan kemudian karena kini yang terpenting memastikan warga miskin mendapatkan makan.