Saat Pedagang Rombeng di Kendari Terpuruk Dihantam Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 membuat semua sektor terpukul, terlebih bursa pakaian bekas. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, rombeng, yang lebih populer disebut RB, pakaian bekas impor primadona kini hilang pamornya.
Pandemi Covid-19 membuat semua sektor terpukul, terlebih bursa pakaian bekas. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, rombeng, yang lebih populer disebut RB, pakaian bekas impor primadona kini hilang pamornya. Tidak ada lagi ngabuburit ketika Ramadhan sembari mencari merek terkenal selama masa pandemi.
Seperti yang tampak di bursa RB Lawata, Kendari, Minggu (26/4/2020) jelang sore. Ane Labisi (35) hanya mondar-mandir dari kios miliknya ke kios tetangga. Melewati jejeran celana, jaket, baju hangat, dan kemeja, ia hilir mudik sembari menggerutu. ”Semua karena korona ini,” ujarnya kepada pedagang lain.
Ane bercerita, sejak pagi hingga sore hari belum ada satu pun jualannya yang laku. Padahal, ia telah membuka toko sejak pagi hari sembari berharap di akhir pekan ini pembeli akan banyak yang datang. Akan tetapi, hingga jelang buka puasa, belum ada satu pun dagangannya laku.
”Biasanya kalau sudah hari Minggu, apalagi bulan Ramadhan seperti sekarang, pembeli pasti banyak. Mereka ngabuburit sambil cari RB. Ini satu pun tidak ada. Terakhir ada yang beli dua hari lalu,” ujarnya. ”Semua karena korona ini,” keluhnya lagi. Ane menceritakan, ia telah membeli dua bal pakaian bekas sebelum Ramadhan tiba. Satu bal pakaian seharga Rp 5,5 juta. Ia berharap, ketika bulan suci ini tiba, daya beli masyarakat akan sama seperti tahun sebelumnya. Laris dan mendapat untung.
Namun, apalah daya. Harapan tersebut kini pupus dihantam Covid-19. Pandemi virus SARS-CoV-2 terus terjadi dan semakin meluas. Mau tidak mau, Ane harus gigit jari. ”Sekarang dapat satu dua pembeli sudah bersyukur. Padahal, dulu setiap hari minimal dapat Rp 700.000,” ujarnya. ”Barang yang sudah dibeli ditahan lihat situasi. Dikasih keluar sama saja tidak ada pembeli.”
Ane adalah satu dari puluhan pedagang pakaian bekas impor di Lawata ini. Ayah dua anak ini menjual celana olahraga dan kegiatan luar ruang, jaket, dan kaus oblong. Kiosnya terletak berdampingan dengan puluhan kios lain yang membentang di sepanjang Jalan Lawata.
Merek terkenal
Tidak sulit menemukan merek terkenal di kios milik pria asal Wakatobi ini. Dari merek Adidas, Supreme, hingga produk mode milik Channel, Louis Vuitton, atau Hermes. Pakaian ini sendiri berasal dari Benua Asia, Eropa, hingga Amerika. Harga pakaian sangat terjangkau, dari Rp 20.000 hingga Rp 150.000 per lembar. Tentu tergantung juga kemampuan menawar pembeli.
Pakaian impor tersebut biasanya dibeli dari seorang pedagang besar. Pakaian tersebut rerata didatangkan dari Jakarta, Batam, Kalimantan, atau Bandung. Satu bal pakaian dihargai mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 8 juta, sesuai jenis, merek, dan kualitas.
Berjarak sekitar 100 meter, Zul (40) duduk memegang gawai di dalam kios. Di belakangnya bertumpuk-tumpuk bal pakaian yang belum dibuka memenuhi kios. Satu bal berukuran 1 meter x 1,5 meter. Stok itu dibelinya sekitar satu bulan lalu yang dipersiapkan untuk Ramadhan.
”Saya beli tujuh bal, satu balnya Rp 7,5 juta. Bisa dihitung sendiri modalnya,” ujar Zul tak bersemangat. Seorang pengunjung datang, ia sigap menyambut. Jejeran barang dagangan pakaian bekas, utamanya jins, menjadi dagangan utamanya.
Sepi pembeli
Zul menceritakan, mendapatkan satu pembeli di masa seperti ini sudah sangat bersyukur. Sebab, tidak jarang dalam satu hari itu sama sekali tidak ada pembeli. ”Kadang benar-benar zonk!” kata Zul. Saat ini, Zul menambahkan, pendapatan harian rerata hanya Rp 50.000 hingga Rp 200.000. Jumlah ini jauh berbeda dibandingkan sebelum pandemi tiba, dia masih bisa meraih omzet Rp 500.000 hingga Rp 2 juta per hari.
Di satu sisi, ayah satu anak ini harus menghidupi keluarga dan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, di sela-sela jualannya, ia rutin mendaftar program bantuan dari pemerintah. Ia berharap bisa lolos sebagai penerima bantuan untuk membantunya hidup beberapa pekan ke depan. ”Apalagi kita tidak tahu ini korona sampai kapan. Semoga sebelum Lebaran sudah tidak ada korona,” katanya.
Pakaian bekas impor atau RB di Kendari telah lama menjadi bagian dari masyarakat. Sejak medio 1980-an, ketika barang impor masuk dengan mudah, pakaian bekas juga masuk dengan mudahnya. Pusat pakaian bekas sebelumnya di Wakatobi dan Baubau, lalu perlahan bergeser ke Kendari. Puncak perdagangan barang bekas terjadi awal 2000-an.
Di Kota Kendari, pusat RB terletak di beberapa tempat. selain di Pasar Lawata, juga ada di Pasar Korem, Lapulu, Lama, dan Rabam. Tempat-tempat ini rutin menjadi langganan masyarakat yang ingin mencari pakaian bekas dengan kualitas mumpuni. Geliat RB di Kendari dan daerah lain di Sultra pernah begitu gemilang.
Akan tetapi, pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2009 yang melarang peredaran barang bekas. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2016 kembali mengetatkan aturan ini. Meski demikian, karena telah lama menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, RB tetap diburu dan pasar pakaian bekas pun tetap hidup.
Karena telah lama menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, RB tetap diburu dan pasar pakaian bekas pun tetap hidup.
Tidak sedikit warga yang datang, baik itu dari kalangan bawah, menengah, hingga menengah atas. Rebutan barang juga sesekali menjadi tontonan ketika pedagang membuka dagangannya. Dito (27), salah seorang pembeli RB, menyampaikan, ia datang berbelanja di tengah pandemi untuk keperluan sendiri. Setelah lama tidak berbelanja, ia memutuskan datang mencari pakaian incarannya.
Meski demikian, kata Dito, situasi sekarang berbeda dengan tahun sebelumnya. ”Dulu ramai sekali, apalagi kalau Ramadhan seperti sekarang. ”Yang penting pakai masker dan sekalian ngabuburit,” tutur karyawan swasta ini.
Tidak terpisahkan
Pakaian bekas dan masyarakat Kota Kendari telah lama bertalian erat. Tidak salah jika ngabuburit sembari mencari pakaian menjadi salah satu bagian tidak terpisahkan bagi sebagian masyarakat kota. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Anam menjabarkan, bursa pakaian bekas sangat erat dengan kehidupan masyarakat di Kendari, Baubau, Wakatobi, dan beberapa daerah lainnya. Pasar ini memiliki struktur dan mapan secara ekonomi.
”Hanya saja, karena tidak tercatat betul masuk dan keluarnya, jadinya shadow economy. Padahal, perdagangan antarpulau dan eceran juga terjadi. Kalau diproyeksikan secara kasar, mungkin memberikan sumbangan 3-5 persen untuk perdagangan kecil di Kendari,” katanya. Di tengah pandemi ini, Syamsul melanjutkan, sektor ini sangat terdampak.
Apalagi, barang ini berasal dari luar negeri, dan bukan barang kebutuhan utama. Karena itu, sektor ini sangat terseok-seok di tengah pandemi. Sosiolog Universitas Haluoleo, Kendari, Darmin Tawa, menambahkan, berbagai kebiasaan yang ada dalam struktur ekonomi itu juga berubah, seperti cara berbelanja juga interaksi pedagang dan pembeli.
Perubahan sosial terjadi, termasuk kebiasaan dalam masyarakat. ”Ngabuburit, berbelanja, itu bagian dari interaksi, dengan nilai-nilai tersendiri di dalamnya. Untuk sekarang orang akan beradaptasi dengan perubahan yang ada karena terpaksa dengan kondisi,” ucapnya. Meski demikian, Darmin melanjutkan, dalam adaptasi saat ini ada sesuatu yang hilang dari nilai interaksi.
Oleh sebab itu, masih ada sejumlah orang yang nekat berbelanja, mudik, atau beribadah di tengah pandemi. Setelah pandemi berakhir, kata Darmin, orang akan kembali mencari nilai yang sebelumnya tidak bebas untuk dirasakan.