Di tengah pandemi, total nilai ekspor olahan nikel di Sultra selama Januari-Maret 2020 mencapai 408 juta dollar AS. Sebanyak 371 juta dollar AS di antaranya atau lebih dari Rp 5 triliun adalah nilai ekspor ke China.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Meski di tengah pandemi Covid-19, ekspor feronikel di Sulawesi Tenggara tetap melonjak hingga Maret 2020. Total nilai ekspor olahan nikel selama tiga bulan mencapai 408 juta dollar AS. Sebanyak 371 juta dollar AS di antaranya atau lebih dari Rp 5 triliun adalah nilai ekspor ke China.
Nilai ekspor Sultra hingga Maret 2020 mencapai 416 juta dollar AS. Nilai ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya meraih 248,37 juta dollar AS. Kenaikan nilai ekspor ini didorong industri pengolahan nikel yang memiliki nilai tukar tinggi.
”Jika dihitung total selama 2020, angka ekspor meningkat 67 persen dibandingkan periode Januari-Maret 2019. Meski demikian, secara volume turun. Kita tentu berharap ekspor tetap terjaga di tengah pandemi seperti ini agar mendukung ekonomi regional,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Sultra Mohammad Edy Mahmud dalam rilis virtual di Kendari, Senin (4/5/2020).
Edy menjelaskan, dari 416 juta dollar AS ekspor, 97,98 persen di antaranya atau 408,20 juta dollar AS disumbang golongan besi dan baja, yaitu sektor industri pengolahan. Sektor ini mendominasi hampir semua ekspor Sultra dan hanya menyisakan beberapa persen sektor lainnya. Hasil industri pengolahan bijih nikel adalah feronikel.
Sementara itu, dari total keseluruhan ekspor feronikel selama 2020, sebanyak 371 juta dollar AS merupakan nilai ekspor ke China. Nilai ini jika dirupiahkan dengan kurs Rp 15.000 mencapai Rp 5 triliun atau lebih dari APBD Sultra 2020 yang hanya Rp 4,4 triliun.
”Ekspor ke China selama 2020 mencapai 89,03 persen atau meningkat dari periode sama tahun sebelumnya yang hanya 82,61 persen. Dari 279,88 juta dollar AS menjadi 371 juta dollar AS. Terjadi peningkatan yang signifikan,” kata Edy.
Peningkatan ekspor feronikel yang dikirim ke China juga terlihat jelas setiap bulannya. Untuk Maret 2020, misalnya, nilai ekspor mencapai 147,47 juta dollar AS dengan volume 87.160 ton. Nilai ini naik dibandingkan Februari 2020 yang hanya 100,65 juta dollar AS dengan volume 56.200 ton.
Nilai ekspor feronikel sendiri mencapai 146,10 juta dollar AS atau 99,07 persen. Komoditas ekspor lainnya adalah ikan dan udang sebesar 0,51 persen, kacang mete 0,28 persen, dan cocoa butter 0,07 persen. Sebagian besar ekspor pada Maret dikirim ke China dengan pangsa pasar sebanyak 88 persen.
Sama seperti ekspor, impor dari China juga meningkat signifikan dari 52,34 juta dollar AS menjadi 227,10 juta dollar AS. ”Kenaikan impor kita dari China naik empat kali lipat. Setelah itu, disusul Australia, dan Singapura,” kata Edy.
Ekspor ke China selama 2020 mencapai 89,03 persen atau meningkat dari periode sama di tahun sebelumnya yang hanya 82,61 persen. Dari 279,88 juta dollar AS menjadi 371 juta dollar AS. Terjadi peningkatan yang signifikan.
Tingginya nilai ekspor ke China dipengaruhi keberadaan pabrik pengolahan nikel skala besar di Sultra, PT Virtue Dragon Nickel Industry. Hasil pengolahan di pabrik ini dikirim hampir semuanya ke China. Nilai investasi hingga 2019 mencapai 1,4 miliar dollar AS.
Pengolahannya membuat nilai tambah nikel menjadi berkali-kali lipat dibandingkan penjualan bijih nikel. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan aturan terbaru pelarangan ekspor bijih nikel sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM No 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Di satu sisi, tingginya ekspor pertambangan ini membuat struktur ekonomi Sultra rapuh dan mudah limbung. Sebab, seiring naiknya sektor pertambangan yang menopang ekspor, sektor perikanan dan pertanian yang menjadi andalan semakin tergerus.
”Kondisi ini berisiko karena konsentrasi di ekspor pertambangan rentan mengalami kontraksi. Utamanya ketika terjadi perubahan permintaan atau ketika deposit habis,” kata Syamsul Anam, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah, Kendari.
Syamsul menuturkan, semakin terkonsentrasi ekspor hanya pada satu komoditas, maka semakin rentan ekonomi secara umum. Sebab, jika ekspor mengalami perlambatan, berhenti jualah kegiatan di hulu yang menyerap tenaga kerja besar.