Jajaki Peluang Usaha di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar masyarakat terdampak secara ekonomi. Namun, beberapa warga di Kota Padang, Sumatera Barat, menolak menyerah. Mereka menjajal peluang usaha agar tetap bisa bertahan.
Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar masyarakat terdampak secara ekonomi. Namun, beberapa warga di Kota Padang, Sumatera Barat, menolak menyerah. Mereka menjajal peluang usaha agar tetap bisa bertahan.
Bersama tiga rekannya, Zulhendri (30) melipat bahan oranye berukuran 1,6 meter x 1,6 meter. Bahan polypropylene spunbond bukan tenunan itu bakal digunting untuk dibuat pola pakaian hazmat (hazardous materials suit) yang digunakan untuk penanganan Covid-19. Samar-samar, keringat mengucur di kening Zulhendri dengan mulut dan hidung tertutup masker hitam.
Pria yang karib disapa Zul itu adalah salah satu tenaga kerja yang secara ekonomi terdampak Covid-19. Sejak 20 Maret 2020, pria tiga anak itu dirumahkan oleh hotel tempat ia bekerja di Padang. Lima tahun mengabdi sebagai pegawai bagian pencucian, manajemen hotel tak lagi memperpanjang kontraknya yang berakhir Maret lalu.
Merebaknya Covid-19 memang membuat industri pariwisata, termasuk perhotelan, porak poranda. Sebanyak 26 hotel tutup dan puluhan lainnya tetap buka dengan efisiensi tenaga kerja. Sedikitnya 2.500 pegawai hotel dirumahkan (Kompas.id, 8 April 2020). Kenyataan pahit mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tak melulu membuat Zul berkecil hati. Ia sadar harus bangkit dari keterpurukan akibat PHK.
Alumnus jurusan teknik gambar bangunan SMK 1 Padang itu menerima tawaran pekerjaan sebagai penggunting pola pakaian hazmat di butik Emi Arlin di Ulak Karang, Padang Timur. ”Saya tulang punggung keluarga untuk istri dan tiga anak. Jadi, tidak bisa pilih-pilih kerja. Tempat kerja banyak yang tutup. Bersyukur sekali ada tawaran ini. Pokoknya dapat pekerjaan. Keluarga bisa makan dan yang penting halal,” kata Zul, Selasa (28/4/2020) siang.
Sebelum bekerja di butik Emi Arlin, Zul sempat mencoba pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring Maxim pada 25 Maret-3 April. Namun, karena hampir tidak ada pesanan penumpang akibat adanya anjuran warga tidak keluar rumah untuk menekan penularan Covid-19, ia pun berhenti. Sehari kemudian, Zul bergabung dengan butik.
Bekerja di luar kebiasaannya membuat Zul kesulitan di awal-awal bergabung. Ia tak mahir dalam menggunting pola. Butuh seminggu baginya untuk bisa beradaptasi. Sekarang, dengan pengalaman dari hari ke hari, Zul semakin terampil dalam bekerja. Peluang serupa diambil pula oleh Zambur (43), penjahit pakaian di Mata Air, Padang Selatan.
Pria asal Pariaman itu berpindah haluan untuk tetap bertahan hidup di Padang. Jika biasanya menjahit pakaian harian, sejak 3 April lalu, Zambur menjahit pakaian hazmat untuk butik Emi Arlin.
Pandemi Covid-19 telah menghilangkan mata pencarian Zambur sehari-hari. Sejak adanya isu Covid-19 dua bulan lalu, tidak ada lagi orang yang memesan jahitan ke Zambur. Anak-istrinya tak boleh berhenti makan, sedangkan tabungan penghasilan kian hari kian menipis.
”Rencana mau pulang ke Batusangkar (Tanah Datar), kampung istri. Di kampung, biaya hidup tidak terlalu besar. Tetapi beruntungnya, ada rezeki baru. Dapat tawaran untuk menjahit pakaian hazmat,” kata Zambur.
Ikhtiar yang diambil Zambur tak sia-sia. Dalam sehari, ia dan istri bisa mengerjakan sekitar 30 set pakaian hazmat. Pendapatan mereka sejak menjahit pakaian hazmat justru lebih besar dibandingkan dengan pekerjaannya terdahulu.
Dengan menjahit pakaian harian bersama istrinya, ia rata-rata mendapat penghasilan Rp 200.000 sehari. Adapun dengan menjahit pakaian hazmat, ia dan istri mengantongi Rp 300.000-Rp 400.000 per hari.
Menurut Zambur, beralih menjahit pakaian hazmat tidak sulit. Pakaian hazmat justru lebih mudah dikerjakan dibandingkan dengan pakaian harian. Pola pakaian hazmat sederhana dan mudah dijahit. Meskipun demikian, Zambur dan istri harus bekerja ekstra untuk menjaga kebersihan dalam menjahit pakaian hazmat. Jangan sampai pakaian hazmat sebagai tameng virus justru menjadi sumber penularan virus.
Di tempat lain, Edi Akmul Husni (50) juga beralih pekerjaan untuk mencari nafkah. Senin (27/4/2020) sore, Edi bersama beberapa warga lainnya menjajakan masker kain kepada pengendara yang lupa mengenakan masker ketika melintas di posko pemeriksaan dan pengawasan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jalan Prof Dr Hamka, Padang Utara.
Sebelumnya, Edi adalah pedagang nasi di Kurao Pagang, Nanggalo, Padang. Namun, 20 hari terakhir, dagangannya tak lagi laku. Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Padang, langganan utama Edi, telah kembali ke rumah masing-masing karena kuliah dilangsungkan dari rumah.
”Saya menjajakan masker buatan adik. Lebih baik begini, turun ke jalan, daripada menunggu bantuan (dari Pemerintah Kota Padang) yang sampai saat ini belum juga dibagikan. Kami disuruh di rumah saja, tapi penghasilan tidak ada. Anak-istri butuh makan,” tutur Edi.
Posko pemeriksaan dan pengawasan PSBB menjadi peluang bagi Edi. Jika sedang dijaga ketat, petugas di posko tidak membiarkan pengendara lewat tanpa masker. Pilihannya hanya dua: pakai masker atau balik kanan. Di situlah Edi dan para penggalas lainnya menawarkan masker bagi pengendara yang tak punya banyak pilihan.
Pada awal-awal PSBB yang berlangsung sejak 22 April di Padang, Edi mengaku maskernya laris manis. Dalam sehari, maksimal ia bisa meraih omzet Rp 250.000 dengan harga Rp 10.000-Rp 15.000 per masker.
Belakangan, seiring adanya kesadaran warga menggunakan masker ketika melintas di posko, omzetnya rata-rata Rp 100.000 saja. Walaupun menurun, Edi tidak begitu kecewa karena penghasilan sebesar itu lebih baik dibandingkan berdiam diri di rumah dan pasrah dengan keadaan.
Melirik celah
Kelangkaan masker saat pandemi Covid-19 menjadi celah bagi pengusaha industri rumahan agar roda ekonomi terus berputar. Mailanindra Putri, pemilik Bestari Kid di Parak Gadang Timur, Padang Timur, salah satu yang mengambil kesempatan itu. Ibu satu anak yang biasa disapa Lani ini ikut memproduksi dan menjual masker untuk memenuhi permintaan pasar.
Pandemi Covid-19 telah merusak ancang-ancang usaha jahitan pakaian anak-ibu, yang dipasarkan secara daring. Sebelumnya, Lani memprediksi pesanan pada Maret untuk kebutuhan Ramadhan atau Lebaran bakal penuh seperti tahun-tahun lalu. Tiga pegawai jahit pun sudah direkrut. Namun, perkiraan itu belum jua berujung kenyataan.
Lani pun sempat merumahkan tiga pegawai jahitnya sekitar seminggu. Lima siswa SMK yang magang di tempatnya juga ditarik sekolah. Selain pesanan diperkirakan bakal sepi, ia juga khawatir dengan penularan Covid-19 di tempat usaha jahitnya. Selama rehat, Lani fokus menggarap konten video tutorial di akun Youtube-nya.
Di tengah rehat, Lani mencium celah agar usahanya tetap berjalan. Untuk menggenjot pesanan pakaian, Lani menyertakan bonus sepasang masker kain (anak dan ibu) bagi setiap pesanan dengan nominal tertentu. Masker dengan motif lucu itu ia kreasikan sendiri dari hasil belajar dari video di Youtube. Sesuai anjuran pemerintah, masker dibuat tiga lapis dan bisa ditambahkan dengan tisu.
”Awalnya, bonus masker hanya untuk memancing orang beli baju. Beli baju pasangan anak dan ibu minimal belanja Rp 150.000 bonus masker pasangan anak dan ibu. Ternyata pesanan masker lebih meledak,” kata Lani.
Selama empat minggu terakhir memproduksi masker, Lani telah menjual 700 masker melalui media sosial Instagram dan aplikasi belanja daring Shopee.
Karena dipasarkan secara daring, pelanggan masker berasal dari luar Sumbar, seperti Jawa Timur, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, hingga Singapura. Dalam sehari, Lani memproduksi sekitar 70 masker dengan harga jual Rp 10.000 per lembar. Dengan mengambil peluang memproduksi masker, omzet perusahaan Lani terus berkembang. Ia juga bisa menggaji karyawannya.
Berdayakan penjahit
Ermiwati (45), pemilik butik Emi Arlin, punya cerita berbeda terkait keterlibatannya dalam memproduksi pakaian hazmat. Alih-alih untuk alasan bisnis, perempuan yang biasa dipanggil Emi ini mengaku membuat pakaian hazmat dengan niat membantu penanganan Covid-19. Keuntungan secara bisnis dianggap sebagai bonus.
”Sebenarnya, pesanan jahitan pakaian untuk Lebaran atau pesta masih ada. Namun, karena Dinas Kesehatan Padang minta tolong dibuatkan pakaian hazmat akibat langka untuk persiapan sebelum adanya kasus Covid-19 di Sumbar, kami bantu. Bisnis belakangan, niatnya bantu saja dulu dan karyawan kami berdayakan untuk ini,” tutur Emi.
Menurut Emi, tidak sulit untuk menjahit pakaian hazmat. Berbekal sampel dan bahan baku yang diberikan dinas kesehatan, Emi membuat pola, menggunting, lalu menjahitnya. Hasil jahitan dicoba dan dibandingkan dengan sampel. Modifikasi minor dilakukan agar pakaian hazmat nyaman digunakan.
Meskipun tidak sulit, menurut Emi, membuat pakaian hazmat butuh kehati-hatian. Kebersihannya harus dijaga karena digunakan untuk melindungi petugas dari virus atau bakteri. Begitu pula kualitasnya tidak boleh ada kerusakan atau lubang yang bisa menjadi celah masuknya virus atau bakteri.
Awal berproduksi, Emi hanya memberdayakan 12 karyawan yang bekerja di butiknya untuk membuat pakaian hazmat. Karena permintaan terus bertambah, jumlah karyawan di butik bertambah menjadi 15-20 orang, salah satunya Zulhendri. Belakangan, orang yang terlibat untuk memproduksi pakaian hazmat semakin banyak. Dengan difasilitasi dinas tenaga kerja, butik Emi Arlin memberdayakan kelompok usaha bersama dan penjahit rumahan yang usahanya terdampak Covid-19.
Sedikitnya ada sembilan kelompok usaha bersama dan beberapa penjahit rumahan yang bekerja sama dengan butik Emi Arlin, dengan total sekitar 70 orang. Butik menyediakan bahan dan mengecek kualitas jahitan pakaian hazmat, sedangkan kelompok dan penjahit rumahan mengerjakan jahitan.
Dalam sehari, butik Emi Arlin serta kelompok dan penjahit rumahan itu bisa memproduksi sekitar 700 set pakaian hazmat. Tidak hanya Dinas Kesehatan Padang, pesanan pakaian hazmat juga datang dari BPBD Sumbar, PDAM Padang, Bank Nagari, kalangan umum, dan pihak lain dari Muara Enim dan Bengkulu.
Arlin Teguh A (39), suami Emi sekaligus penasihat bisnis Emi Arlin, menambahkan, setelah menyelesaikan pesanan Dinas Kesehatan Padang, butik sebenarnya selesai pula memproduksi pakaian hazmat dan fokus ke bisnis utama. Namun, dengan pertimbangan banyaknya pekerja yang bakal dirumahkan, butik terus melanjutkan produksi.
”Akhirnya, (kegiatan memproduksi pakaian hazmat) terus berputar menjadi bisnis. Bahan baku sekarang kami stok sendiri, langsung pesan ke pabrik,” kata Arlin.
Pakaian hazmat yang diproduksi butik Emi Arlin menggunakan bahan polypropylene spunbond bukan tenunan, dengan gramasi 75 gram per meter persegi. Pakaian hazmat ini cuma bisa untuk sekali pakai. Harga pakaian hazmat produksi butik Emi Arlin Rp 200.000 per set.