Wartawan di Kalsel Ditahan, Kesepakatan Dewan Pers-Kapolri Diabaikan
Untuk kedua kalinya di Kalimantan Selatan, polisi menetapkan wartawan sebagai tersangka dan menahannya atas dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penahanan terhadap wartawan itu disesalkan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Untuk kedua kalinya di Kalimantan Selatan, polisi menetapkan wartawan sebagai tersangka dan menahannya atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diananta Putra Sumedi ditahan atas dugaan pemberitaan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan.
Diananta Putra Sumedi, eks Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, media daring lokal partner 1001 media Kumparan, ditahan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, Senin (4/5/2020). Diananta yang akrab disapa Nanta ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemberitaan berbau SARA.
Sebelumnya, pada 2018, Kepolisian Resor Kotabaru Polda Kalsel juga menahan Muhammad Yusuf (42), wartawan media daring Kemajuan Rakyat atas sejumlah pemberitaannya terkait perusahaan kelapa sawit PT MSAM di Kotabaru. Yusuf dijerat dengan UU ITE dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Ia meninggal saat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru pada 10 Juni 2018. (Kompas, 12/6/2018)
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Devi Alamsyah menyesalkan penahanan Nanta. Menurut Devi, sikap Polda Kalsel membuktikan bahwa aparat penegak hukum abai terhadap UU Pers Nomor 40 Ttahun 1999 serta nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers-Polri. Wartawan dengan kerja-kerja jurnalistik dilindungi dua aturan tersebut.
”Tidak bisa ditahan begitu saja. Masalah ini harusnya sudah clear di Dewan Pers. Pelanggaran MoU Polri-Dewan Pers ini jadi preseden buruk saat momentum Hari Kebebasan Pers yang baru diperingati pada 3 Mei,” kata Devi melalui keterangan tertulis di Banjarmasin, Selasa (5/5/2020).
Menurut Devi, sengketa pemberitaan yang dimuat Nanta sebenarnya sudah selesai di Dewan Pers. Artinya, proses hukum yang menyeret Nanta tak bisa lagi dilanjutkan pihak kepolisian. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers yang yang terbit pada 5 Februari 2020. Isinya, meminta pihak teradu, yakni Kumparan dan Banjarhits.id, memuat hak jawab atas berita yang dinilai keliru.
”Permintaan itu sudah dipenuhi, tetapi penyidikan masih berjalan. Kami menyesalkan abainya polisi terhadap MoU antara Dewan Pers dan Kapolri,” ujarnya.
Sengketa karya jurnalistik seharusnya diselesaikan di ranah Dewan Pers, bukan pidana.
Devi mengatakan, sengketa karya jurnalistik seharusnya diselesaikan di ranah Dewan Pers, bukan pidana. Atas kejadian ini, AJI pun menuntut penghentian proses hukum terhadap Nanta, serta mengajak awak media massa se-Indonesia untuk mengawal kasus ini sampai tuntas.
”Penahanan ini tidak berdasar. Dalam hukum, orang tidak bisa dihukum dua kali atas kasus yang sama,” katanya.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Kalsel menahan Nanta atas pemberitaan yang diunggah di portal Banjarhits.id pada 9 November 2019. Berita berjudul ”Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” dinilai menyinggung SARA.
Atas pemberitaan tersebut, Nanta kemudian diadukan oleh Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan ke Polda Kalsel untuk diusut lebih lanjut dengan UU ITE. Sukirman menilai berita itu menimbulkan kebencian karena kental bermuatan sentimen kesukuan.
Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa berita tersebut melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku.
Nanta dan Sukirman sempat diundang ke Sekretariat Dewan Pers di Jakarta pada 9 Januari 2020 untuk proses klarifikasi. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa berita tersebut melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku. Pihak Kumparan dan Banjarhits.id pun diminta memuat hak jawab dari teradu dan menghapus berita yang dipersoalkan.
Menurut Bujino A Salan, pengacara yang mendampingi Nanta, ia di Rumah Tahanan Polda Kalsel untuk waktu 20 hari. Permintaan agar Nanta tidak ditahan dengan mempertimbangkan bahwa ia adalah tulang punggung keluarga dan juga situasi pandemi Covid-19 saat ini tidak dipenuhi pihak polisi. ”Kami kecewa karena upaya penangguhan penahanan ditolak penyidik,” ujarnya.