Suku-suku di Papua menjaga hutan dan lingkungan alamnya tetap lestari sebagai sumber pangan lokal meskipun terjadi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Salah satu awalnya, dari sepetak lahan di pekarangan rumah.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
Wabah Covid-19 yang disebabkan virus korona jenis baru tak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tetapi juga menurunnya produksi pertanian global. Pada saat yang sama, situasi yang mengimpit ini memunculkan inovasi dan visi. Di Indonesia timur, komunitas Papua Jungle Chef merespons situasi Covid-19 dengan penanaman pangan lokal di pekarangan rumah.
Ini bukan sepele bagi masyarakat Papua yang masih mengandalkan hidup dari hasil alam. Jumat (1/5/2020) pukul 09.00, pendiri komunitas Papua Jungle Chef, Charles Toto, bersama enam pemuda bersiap menanam di salah satu rumah warga di RT 003 RW 002, Kelurahan Imbi, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura.
Papua Jungle Chef adalah gerakan mengenalkan dan melestarikan gastronomi tradisional Papua secara nasional maupun internasional, yang dimulai sejak tahun 2006. Charles (Chato) bersama pemuda itu akan menanam benih tanaman pangan khas Papua di pekarangan rumah. Di samping rumah, Budi Wahanum asal suku Koroway, Kabupaten Boven Digoel, menyiapkan benih ubi dan singkong dalam jumlah cukup banyak. Pemuda 20 tahun itu menyerahkan puluhan benih ke Chato dan para pemuda lainnya.
Karena itu, masyarakat Indonesia, khususnya di Papua, harus menyiapkan pangan lokal di rumahnya sendiri.
Seusai membersihkan dan menggemburkan tanah, mereka mulai menanam benih jagung, ubi, singkong, dan pisang di pekarangan rumah berukuran 7 meter x 5 meter itu. Penanaman pangan lokal itu dimulai April lalu. Sejauh ini ada tiga rumah yang pekarangannya ditanami benih pangan lokal Papua. Target penanaman di 11 rumah di RT 003 RW 002 dan sepanjang jalan umum di kompleks permukiman. Setiap rumah rata-rata memiliki luas lahan 8 meter x 5 meter.
Langkah sederhana itu merupakan inisiatif warga menyiapkan cadangan makanan di tengah wabah Covid-19. Jika berjalan baik, warga tak perlu lagi bergantung penuh pada bantuan kebutuhan pokok. ”Thailand dan Vietnam , sebagai sentra beras di Asia Tenggara, mengurangi impor beras ke Indonesia karena musim kemarau dan menjaga stok pangan mereka. Karena itu, masyarakat Indonesia, khususnya di Papua, harus menyiapkan pangan lokal di rumahnya sendiri,” kata Chato.
Penanaman sangat mungkin diperluas selama ada benih. ”Kami memiliki tenaga sekitar 30 orang. Namun, tidak mampu menyediakan benih dalam jumlah banyak,” katanya. Pejabat sementara Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Papua Ridwan Rumasukun mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan kebijakan membeli pangan lokal dari sekitar 400 petani lokal di wilayah Jayapura untuk didistribusikan bagi masyarakat yang terdampak Covid-19.
Kebijakan itu membantu masyarakat setempat yang berjualan pangan lokal Papua, seperti ubi dan sagu. ”Kami juga akan menyediakan bibit bagi warga untuk menanam di pekarangan rumah,” katanya.
Potensi Papua
Chato dalam diskusi daring yang dihelat Yayasan EcoNusa bertema ”Ketahanan Pangan Masyarakat Adat di Tanah Papua dalam Masa Pandemi Covid-19”, Rabu (29/4/2020), mengatakan, perlu pendataan tentang pangan lokal di seluruh wilayah masyarakat adat Papua dan Papua Barat. Sebab, ada banyak potensi luar biasa yang tidak dimiliki komoditas pangan di pasar modern.
Di pedalaman Sorong, misalnya, pembuatan garam menggunakan daun nipah di air payau. Masyarakat suku Koroway di wilayah Boven Digoel membuat garam juga dari olahan daun setempat. ”Pendataan kami beberapa tahun terakhir, ternyata pangan lokal Papua lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat di daerah perkotaan,” kata Chato.
Ia berharap pemda Papua dan Papua Barat mengeluarkan regulasi khusus melindungi pangan lokal khas Papua seperti sagu. Selain itu, hasil pertanian warga juga dibeli. Dengan begitu, masyarakat termotivasi tetap menanam pangan lokal di kebun mereka. Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Sorong, Feki Mobalen, mengatakan, perlu perlindungan hutan masyarakat adat dari ancaman komoditas bukan asli Papua, seperti sawit dan padi. Sebab, hutan di Papua merupakan sumber pangan lokal bagi masyarakat setempat.
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), investasi masif di kawasan hutan Papua mencakup pemberian 47 izin perhutanan kayu dengan total luasan 6,1 juta hektar dan pelepasan lahan hutan umumnya untuk perkebunan sawit hingga 7,3 juta ha sejak tahun 2014. Sementara itu, data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat hingga tahun 2019, jumlah luasan sawit di Papua Barat 436.955 ha.
Perkebunan sawit ada di sejumlah kabupaten, yakni Sorong, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, Maybrat, Fakfak, Manokwari, Teluk Wondama, dan Manokwari Selatan. ”Hutan bagi masyarakat adat adalah pasar, sarana menghasilkan uang, dan apotek hidup. Karena itu, dengan menjaga hutan, berarti ketahanan pangan bagi masyarakat adat tetap terjaga,” kata Feki.
Adapun dosen biologi Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih Jayapura, Daawia Suhartawan, mengungkapkan, praktik pertanian tradisional di Papua, baik di dataran tinggi maupun rendah, sesuai prinsip-prinsip ekologi pendukung kelestarian keanekaragaman hayati Papua yang sangat kaya. Komoditas pangan lokal di daratan tinggi biasanya ubi jalar, ubi kayu, keladi, pisang, buah merah, dan sayur-sayuran.
Sementara pangan lokal di daerah dataran rendah adalah sagu, ubi-ubian, dan pisang sebagai tanaman utama. Suku-suku di Papua dengan kearifan lokalnya mampu memenuhi kebutuhan pangan mandiri. Mereka mengelola sumber daya alamnya selama ratusan tahun, seperti masyarakat suku Dani di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. ”Perlu pelatihan pembuatan pupuk organik bagi para petani di Papua yang menanam pangan lokal. Harapannya, mampu menghadapi krisis pangan akibat pandemi,” tutur Daawia.
CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar menambahkan, dunia perlu tahu bahwa masyarakat adat dan suku-suku di Papua menjaga hutan dan lingkungan alamnya tetap lestari sebagai sumber pangan lokal yang tetap tersedia meskipun terjadi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Salah satu awalnya, dari sepetak lahan di pekarangan rumah.