Polisi Belum Tetapkan Tersangka Penambangan Hutan Lindung di Konawe Utara
Penyidikan kasus penambangan di kawasan hutan lindung di Konawe Utara, Sultra, belum menentukan tersangka.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aparat kepolisian menindaklanjuti kasus penambangan ilegal di kawasan hutan lindung di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Penyidikan terpisah, antara Bareskrim Mabes Polri dan Polda Sultra, terus dilakukan. Meski demikian, belum ada tersangka dari kasus yang menyeret tujuh perusahaan ini.
”Untuk tiga perusahaan yang kami tangani sudah dalam tahap penyidikan. Sampai pekan lalu belum ada tersangka. Tapi, tinggal menunggu waktu dan tim bekerja saja,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Ferry Walintukan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/5/2020).
Menurut Ferry, Polda Sultra tengah menyelidiki apa saja dugaan pelanggaran yang terjadi, modus yang digunakan, hingga orang-orang yang kemungkinan terlibat. Koordinasi dengan banyak pihak terus dilakukan untuk mengungkap dugaan adanya penambangan ilegal di kawasan hutan di Konawe Utara tersebut.
Penyidikan kasus ini, tambah Ferry, adalah rangkaian dari penyegelan yang dilakukan tim Mabes Polri. Sebanyak tiga perusahaan telah dilimpahkan Mabes Polri ke Polda Sultra untuk ditangani. Sementara itu, empat perusahaan masih dalam penyelidikan tim Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
”Tiga perusahaan ini memang dilimpahkan oleh Mabes kepada kami dari tujuh perusahaan yang diduga melanggar. Mereka semua melakukan penambangan dengan joint operation bersama PT Bososi Pratama,” tutur Ferry.
Tiga dari tujuh perusahaan tambang yang ditangani Polda Sultra tersebut adalah PT Tambang Nikel Indonesia (TNI), PT Anugerah Mineral Prima Abadi (AMPA), dan PT Jalur Mas. Empat perusahaan lain, yaitu PT Bososi Pratama, PT Pertambangan Nikel Nusantara, PT Rockstone Mining Indonesia, dan PT Nuansa Persada Mandiri, masih dalam proses penyidikan tim Mabes Polri.
Ketujuh perusahaan ini disegel oleh Mabes Polri pada 17 Maret lalu. Sejumlah alat berat disita dan diberi garis polisi. Hal ini dilakukan karena dugaan kuat adanya penambangan ilegal nikel di dalam kawasan hutan lindung.
Berdasarkan data izin usaha pertambangan (IUP) di Sultra yang dirangkum oleh Tim Korsupgah Komisi Pemberantasan Korupsi, PT Bososi Pratama memiliki wilayah IUP di Langgikima, Konawe Utara, dengan luas 1.850 hektar. Perusahaan tercatat memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 495 hektar di Konawe Utara.
Saat dihubungi, nomor telepon perusahaan PT Bososi Pratama yang terdaftar tidak lagi aktif. Sementara itu, Andreas, kuasa hukum PT AMPA, menjelaskan, pihaknya kaget mendengar nama perusahaan kliennya masuk dalam perusahaan yang disegel oleh kepolisian. Sebab, PT AMPA tidak memiliki kontrak kerja dengan PT Bososi di luar wilayah IUP yang berlaku.
”Kalau sekarang yang dipermasalahkan area lain, di luar WIUP PT Bososi, kami berani menantang untuk menunjukkan kontrak kami di sana. Kami cuma ada kontrak di dalam area WIUP perusahaan tersebut dan hanya bekerja di area yang sesuai kontrak,” ucap Andreas.
Pada Selasa (5/5) malam, tim dari Bareskrim Mabes Polri juga tiba di Sulawesi Tenggara. Memakai pesawat carteran, sebanyak delapan orang anggota Bareskrim Mabes Polri tiba di Bandara Haluoleo, Sultra. Informasi yang dihimpun, di dalam pesawat yang sama, juga ada pemilik perusahaan yang sedang dilidik tersebut.
Tim Mabes datang untuk melanjutkan penyidikan kasus yang mereka tangani sejak Maret lalu.
”Informasinya begitu. Tapi, kami tidak tahu apakah memang berangkat bersama atau bagaimana. Bisa saja pesawat carteran itu ada beberapa yang menyewa. Yang jelasnya, tim Mabes datang untuk melanjutkan penyidikan kasus yang mereka tangani sejak Maret lalu,” ujar Ferry.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono membenarkan beberapa penyidik Bareskrim dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Ditipidter) melakukan perjalanan dinas ke Sulawesi Tenggara. Perjalanan ini dilakukan dalam rangka melengkapi berkas penyelidikan.
”Bahwa benar penyidik Tipidter Bareskrim melakukan perjalanan dinas ke Provinsi Sultra dalam rangka melengkapi berkas penyidikan,” kata Argo dalam rilis yang dikirimkan.
Menurut Argo, waktu penyidikan kasus penambangan dalam kawasan hutan lindung di wilayah Sultra terbatas. Hingga pekan ini tersisa 38 hari dari batas waktu 90 hari. Oleh karena itu, tim Ditipidter Bareskrim Polri terbang dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng menuju Bandara Halu Oleo, Sultra, dengan mencarter jet komersial lantaran terbatasnya penerbangan di tengah pandemi Covid-19.
”Tim hanya ingin merampungkan perkara tindak pidana kehutanan. Jika tidak dilakukan penindakan, dikhawatirkan akan bertambah luas kerusakan lingkungan di kawasan hutan lindung tersebut dan dapat berakibat merugikan ke anak cucu nantinya,” ucap Argo.
Anggota yang berangkat juga telah melakukan protokol Covid-19 di Jakarta dengan adanya surat keterangan kesehatan, membawa surat tugas dari Polri, ada hasil rapid test, dan mengisi kartu kewaspadaan kesehatan.
Kasus penambangan ilegal dan pengambilan bijih nikel di kawasan hutan di Konawe Utara terus terjadi. Banjir bandang yang terjadi di kawasan ini pertengahan pada 2019 lalu menunjukkan rapuhnya kawasan hulu dan banyaknya daerah yang terbuka akibat dijadikan lahan pertambangan. Banjir yang terjadi tahun lalu masih membuat ribuan orang hidup di pengungsian hingga saat ini.