Bandara Kediri, Asa Hapus Kesenjangan Jatim
Pandemi Covid-19 tidak mengubah rencana pembangunan Bandara Kediri atau Bandara Dhoho, di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bandara di sisi timur laut Gunung Wilis itu ditargetkan bisa digunakan pada 2022.
Pandemi Covid-19 tidak mengubah rencana pembangunan Bandara Kediri atau Bandara Dhoho, di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sesuai jadwal semula, peletakan batu pertama pembangunan bandara dilakukan 15 April 2020. Bandara di sisi timur laut Gunung Wilis itu ditargetkan bisa digunakan pada 2022.
Menyesuaikan dengan protokol keamanan selama pandemi, seremoni peletakan batu pertama pembangunan bandara dilakukan secara virtual melalui konferensi video. Seremoni dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang sekaligus menjabat Pelaksana Tugas Menteri Perhubungan. Menhub Budi Karya Sumadi berhalangan karena saat itu tengah menjalani perawatan akibat Covid-19.
Ikut dalam konferensi video pencanangan antara lain Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. Ada juga Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto Rahardjo, dan Direktur Utama Angkasa Pura I Faik Fahmi.
Di luar pejabat teras pusat ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Kediri Haryanti. Ada pula Direktur PT Gudang Garam Tbk Istata Taswin Siddharta selaku investor pembangunan bandara. Gudang Garam menggelontorkan dana Rp 9 triliun untuk Bandara Kediri dengan skema pembangunan dilakukan oleh PT Surya Dhoho Investama (anak perusahaan PT Gudang Garam Tbk), bekerja sama dengan PT Angkasa Pura I sebagai pemegang Badan Usaha Bandar Udara (operator).
Gudang Garam menggelontorkan dana Rp 9 triliun untuk Bandara Kediri.
Kehadiran Bandara Kediri membawa angin segar dan harapan baru. Bukan hanya bagi masyarakat Kabupaten/Kota Kediri, melainkan juga daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti Kabupaten Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Pacitan. Setelah lama dinantikan, akhirnya terwujud pembangunan bandara di wilayah mereka.
Sejak beberapa tahun silam, sejumlah kepala daerah di kawasan itu sudah santer membahas pembangunan bandara. Mulai dari upaya membebaskan wilayah udara latihan perang di kawasan itu sampai dengan penentuan lokasi bandara baru. Bahkan, sebelumnya sempat mengemuka lokasi bandara diputuskan di Tulungagung. Penelitian soal itu pun sudah dilakukan. Hingga kemudian muncul niat dari direksi PT Gudang Garam yang ingin membangun bandara di Kediri.
Baca juga : Pembangunan Bandara Kediri Ditargetkan Rampung Dua Tahun
Upaya itu makin menguat saat pemerintah pusat menjadikannya sebagai proyek strategis nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018. Bandara Kediri dirancang modern dan bisa didarati pesawat berbadan besar. Bandara dengan ukuran landas pacu 3.300 meter x 45 meter dan luas lahan 450 hektar itu menjadi bandara komersial pertama di wilayah Mataraman. Selama ini sudah ada bandara milik Pangkalan TNI AU Iswahyudi di Madiun, tetapi diperuntukkan bagi pesawat tempur.
Infrastruktur baru ini tentu makin mempermudah mobilitas warga Jatim bagian barat daya yang selama ini mengandalkan Bandara Juanda di Sidoarjo dan Bandara Abdulrachman Saleh Malang. Untuk mencapai dua bandara itu dari Kediri, rata-rata dibutuhkan dua jam perjalanan darat. Dari kabupaten lain di kawasan itu, waktu tempuh tentu lebih lama lagi.
Adapun populasi warga di wilayah Mataraman cukup banyak, mencapai 10 juta jiwa. Pembangunan tahap awal bandara ini diperkirakan bisa mengangkut 1,5 juta penumpang dalam setahun.
Tingkatkan perekonomian
Keberadaan Bandara Kediri diharapkan bisa meningkatkan perekonomian wilayah. Pada akhirnya dampaknya diharapkan bisa menghilangkan kesenjangan antara wilayah selatan dan utara di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa itu. Selama ini memang ada disparitas cukup mencolok antara wilayah utara dan selatan Jatim. Wilayah utara memiliki infrastruktur yang lebih mendukung sehingga lebih cepat berkembang.
Investor lebih mudah masuk sehingga banyak industri berkembang di kawasan itu, mulai dari Gresik, Lamongan, hingga Tuban. Sebaliknya, sebagian daerah di kawasan selatan Jatim cenderung lambat dan sulit berkembang. Salah satunya lantaran kondisi alam yang didominasi pegunungan. Sejumlah kabupaten, seperti Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan, lebih banyak mengandalkan hasil alam dibandingkan dengan industri.
Baca juga : Bandara Baru Diharapkan Tarik Banyak Investor ke Kediri
Pada 2019, Jatim sejatinya dinyatakan bebas dari daerah tertinggal setelah empat kabupaten, yakni Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, dan Sampang, mentas dari status tertinggal. Dua dari kabupaten itu di Pulau Madura dan dua lainnya di pesisir timur Jatim. Penentuan daerah tertinggal, merujuk Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015, memiliki enam indikator, yakni perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, serta aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Meski sudah tidak ada daerah tertinggal, kesenjangan wilayah utara dan selatan Jatim masih ada. Hal ini setidaknya terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), angka kemiskinan dan produk domestik regional bruto (PDRB), serta infrastruktur. Soal IPM, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, beberapa daerah di kawasan selatan, yakni Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, dan Tulungagung, pada 2018 memiliki IPM 64,92 hingga 71,99. Adapun di sisi utara, antara lain Tuban, Lamongan, dan Gresik, memiliki IPM 67,43 hingga 75,28.
Angka ini meningkat dari tahun 2013 yang mencapai 63,38 hingga 69,30 untuk wilayah selatan dan 64,14 hingga 72,47 untuk utara. Dalam hal persentase penduduk miskin, pada 2018 masih ada beberapa daerah yang angka kemiskinannya di atas 12 persen, baik itu di kawasan selatan maupun utara. Di Pacitan, misalnya, persentase kemiskinannya 14,19 persen, Trenggalek 12,02, Tuban 15,3, dan Lamongan 13,8.
Kesenjangan juga terlihat dari sisi PDRB beberapa daerah di kawasan selatan yang lebih kecil ketimbang di utara. Di kawasan selatan, Pacitan memiliki PDRB (atas dasar harga berlaku) Rp 15 triliun, Ponorogo Rp 19,2 triliun, Trenggalek Rp 17,3 triliun, dan Tulungagung Rp 36,6 triliun. Adapun di kawasan utara, Tuban Rp 60,8 triliun, Lamongan Rp 37,3 triliun, dan Gresik Rp 130,6 triliun.
Dari sisi infrastruktur, kehadiran Tol Trans-Jawa kian menambah kemudahan transportasi di wilayah utara yang sudah relatif bagus. Sementara Jalan Lintas Selatan (JLS) yang dibangun sejak 18 tahun lalu—guna membuka keterisolasian kawasan selatan—hingga kini belum juga rampung.
Baca juga : Pembebasan Lahan Bakal Bandara Kediri Belum Tuntas
Dari total panjang JLS 685 kilometer (km), baru terwujud 404 km atau sekitar 59 persen lantaran terkendala pembebasan lahan dan skema pembiayaan. Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang, Lutfi J Kurniawan, mengatakan, disparitas utara-selatan di Jatim antara lain disebabkan aksesibilitas kawasan selatan yang lebih lambat, terutama untuk menjangkau industri dan bahan baku konsumsi.
Sisi selatan lebih agraris dengan kesan tradisional, sedangkan kawasan utara dengan kemudahan aksesibilitasnya berkembang menjadi jalur perdagangan. ”Banyak rekomendasi hasil riset dinamika politik daerah lebih dinamis wilayah utara karena dipengaruhi budaya ’pantura’. Lebih pada sosial budaya,” katanya.
Potensi kawasan selatan
Jika dilihat secara umum, sebenarnya kawasan selatan Jawa Timur punya potensi dan sumber daya alam yang besar. Mulai dari bidang perikanan, perkebunan, sampai pariwisata. Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi di Trenggalek, misalnya, menjadi salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Jatim.
Data Laporan Statistik 5 Tahunan Direktorat Jenderal Perikanan menunjukkan, volume ikan yang didaratkan di pelabuhan ini pada tahun 2017 mencapai 18.201 ton dengan nilai Rp 163,3 miliar. Sementara tahun 2018 jumlahnya meningkat 56,42 persen menjadi 28.472 ton dengan nilai Rp 233,3 miliar.
Selain produksi ikannya besar, pesona alam di sekitar Prigi juga memesona, baik yang berupa pantai maupun obyek wisata lain, seperti goa. Potensi yang sama juga terhampar di wilayah lain, termasuk Pacitan. Bahkan, jika ditarik ke timur sampai Banyuwangi pesisir selatan Jatim merupakan deretan obyek wisata menarik.
Begitu pula potensi di bidang yang lain. Blitar, misalnya, punya potensi peternakan besar. Setiap hari setidaknya ada 1.000 ton telur ayam dihasilkan dari Blitar. Sementara Malang dan sekitarnya juga punya potensi kopi dan komoditas lainnya. Belum lagi ditambah dengan potensi budaya. Ponorogo memiliki atraksi budaya unggul berupa reog yang tak terbantahkan.
Dan, yang pasti dinantikan peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan warga di sisi barat daya Jawa Timur.
Jika akses menuju ke wilayah-wilayah itu makin mudah, tentu kreativitas yang dilakukan pemerintah daerah akan berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang datang. Saat pencanangan pembangunan Bandara Kediri, Khofifah mengatakan, keberadaan bandara itu diharapkan mampu menghapus disparitas utara-selatan di wilayahnya.
Semua sektor, mulai dari pertanian, perkebunan, dan maritim, di kawasan selatan, diharapkan dapat berkembang. Harapan itu akan menjadi keniscayaan karena pada saat bersamaan dibangun tol Kertosono-Kediri-Tulungagung. Dua pembangunan infrastruktur ini simultan dengan program Selingkar Wilis lainnya, yakni pembenahan jalan sepanjang 235 km di sekeliling Gunung Wilis, serta penuntasan JLS.
Semoga, setelah Bandara Kediri beroperasi, tidak lagi hanya suara bising pesawat tempur selama puluhan tahun, tetapi deru pesawat komersial yang melintasi langit Kediri dan sekitarnya. Dan, yang pasti dinantikan peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan warga di sisi barat daya Jawa Timur.