Warga Hutan Memetik Berkah Karbon di Kala Pandemi Covid-19
Pengelolaan hutan ”zero carbon” di Hutan Lindung Bujang Raba, Kabupaten Bungo, menarik perhatian dunia. Lewat skema pasar karbon sukarela, masyarakat di pinggir hutan lindung itu memperoleh dana Rp 1 miliar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian global turut membayangi kehidupan masyarakat lokal. Hasil pertanian dan perkebunan terpuruk hingga titik terendah. Di tengah krisis yang melanda, sekelompok masyarakat di Bungo, Jambi, bernapas lega oleh kucuran dana bernilai Rp 1 miliar dari hasil menjaga karbon di hutan.
Sejak merebaknya pandemi korona, pabrik-pabrik pengolahan karet di Jambi mandek beroperasi. Kondisi itu menjatuhkan harga getah karet di wilayah Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Petani hanya bisa menjual Rp 4.000 hingga 5.000 per kilogram. Harga jatuh 50 persen dari kondisi pada akhir tahun lalu.
Di tengah kesulitan ekonomi, tak disangka-sangka, masyarakat mendapatkan berkah jasa karbon. Bahkan, tidak tanggung-tanggung nilainya mencapai Rp 1 miliar. Di tengah kondisi perekonomian yang melesu, kucuran dana sebesar itu menjadi berkah melimpah bagi 1.259 keluarga setempat.
Perjuangan merawat hutan bukanlah hal baru di sana. Selama turun-temurun masyarakat membiarkan hutan tetap rimbun. Kawasan seluas 5.336 hektar tersebut disematkan dengan nama Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba).
Pengelolaan hutan tanpa karbon itulah yang membuat dunia jatuh cinta. Salah satunya pendonor asal Swedia yang menyatakan kagum. Lewat pasar karbon dunia, mereka menyetorkan dana tersebut kepada masyarakat lewat lembaga perantara ZeroMission.
”Masyarakat bersyukur dapat memetik hasil dari usaha yang selama ini telah berjalan,” ujar Iskandar, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Senamat Ulu, Senin (4/5/2020).
Dalam kondisi perekonomian yang serba sulit, dana dari pasar karbon langsung dimanfaatkan masyarakat. Sebagian desa membelikan bahan makanan pokok bagi warganya. Beragam jenis bahan mulai dari beras, telur, minyak goreng, gula, dan lainnya disalurkan. Pembagiannya terdiri atas 504 paket bahan makanan untuk masyarakat Desa Sungai Telang, 243 paket di Desa Senamat Ulu, dan 198 paket di Laman Panjang. Berlanjut dua desa lagi di Lubuk Beringin dan Sangi Letung masih dalam proses penyaluran. ”Untuk mengurangi kerumunan massa, pembagian sembako dilakukan per kelompok di masing-masing desa,” katanya.
Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Emmy Primadona, yang selama ini mendampingi masyarakat, menceritakan, upaya untuk masuk ke pasar karbon sukarela sudah dimulai tahun 2015. Namun, itu baru mulai membuahkan hasil pada 2018. Total dana yang telah mengalir lewat skema itu sebesar Rp 1,3 miliar.
Sebelumnya, dana dimanfaatkan untuk pembangunan sejumlah sarana publik serta membiayai pengelolaan hutan serta kegiatan patroli. Sebagian lagi untuk membiayai pendidikan anak-anak sekolah di wilayah itu.
Pelestarian hutan, katanya, berjalan terlepas dari ada ataupun tiadanya bantuan. Pasar karbon sukarela hanyalah alat bagi masyarakat untuk membantu mereka membiayai menjaga hutannya. Hasil penghitungan menunjukkan hutan itu menyimpan 5,4 juta ton karbon dioksida.
Dalam pasar karbon, masyarakat menyatakan komitmen melindungi seluruh hutan primer yang membentang di sana dari ancaman konversi. Dalam kondisi sekarang, tak banyak lagi ditemui desa-desa yang serius berkomitmen melindungi ekosistem hutan tropis yang terancam punah. ”Penyimpanan karbon yang besar menjadi nilai lebih hutan ini,” katanya.
Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf, mengatakan, potensi pendanaan di pasar karbon dunia sebenarnya cukup besar. Hanya saja, tidak mudah mendorong pasar karbon sukarela di tengah regulasi yang belum memihak masyarakat sebagai penerima manfaat langsung. Persoalan lain, tidak mudah menemukan pembeli.
Harapannya, dana hasil menjaga hutan terus dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat setempat. Menjadi suntikan berkah di saat pandemi masih melanda.