Lagu sumbang terkait pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar kembali terdengar dari Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Beragam pelanggaran masih terjadi. Diduga, hal ini akibat minimnya sosialisasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lagu sumbang terkait pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar kembali terdengar dari Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Beragam pelanggaran masih terjadi. Diduga, hal ini akibat minimnya sosialisasi.
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Palangkaraya berlaku mulai Senin (11/5/2020) hingga dua minggu ke depan. Berdasarkan pantauan Kompas, PSBB hari pertama hanya ditandai dengan penutupan beberapa ruas jalan utama, seperti Jalan Tjilik Riwut ke arah Bundaran Besar, pusat Kota Palangkaraya. Terdapat 10 pos penjagaan. Beberapa warga diberhentikan karena tidak mengenakan masker.
Aloysius Sani (40), warga Bukit Tunggal, diminta pulang ke rumah karena tidak mengenakan masker. Kartu tanda penduduk (KTP) miliknya juga ditahan. KTP bisa diambil jika dia sudah mengenakan masker.
”Nama saya dicatat. Habis itu diminta tetap di rumah saja kalau tidak ada keperluan mendesak. Padahal, saya kerjanya berjualan. Jadi, harus keluar daripada enggak makan,” kata Sani.
Sani menambahkan, awalnya dirinya tidak mengetahui ada pelaksanaan PSBB. Dia baru tahu saat dihentikan petugas dan ditahan KTP-nya. ”Di sana, kalau enggak dijelaskan, enggak tahu apa itu PSBB,” ujarnya.
Pada sore hari, penjual takjil bertebaran di sepanjang Jalan Rajawali yang memang selama ini ramai. Beberapa pengunjung datang dan membeli takjil. Hal itu memicu kerumunan di sepanjang jalan.
Tak terlihat ada petugas yang datang menertibkan kerumunan itu. Hanya ada selebaran dari pemerintah soal sosialisasi. ”Kalau jualan masih boleh. Tetapi, enggak boleh makan di tempat. Hanya boleh dibungkus,” kata Rahmi (23), salah seorang satu penjual es buah di Jalan Rajawali, Kota Palangkaraya.
Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin mengakui masih banyak pelanggaran dan pelonggaran pada hari pertama PSBB. ”Ke depan mungkin akan lebih ditegaskan, kami juga masih akan sosialisasi terus ini,” jelasnya.
Kalau jualan masih boleh. Tetapi, enggak boleh makan di tempat. Hanya boleh dibungkus.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Palangkaraya Umi Mastikah menjelaskan, pihaknya menjalankan PSBB dengan pendekatan humanis. Aktivitas pasar dan pelaku usaha masih dibolehkan beraktivitas. Pertimbangan itu dilakukan agar PSBB tidak mengganggu perekonomian masyarakat.
”Kami berharap masyarakat bisa menjalankannya dengan baik. Tujuannya, agar PSBB efektif dan tidak perlu diperpanjang,” kata Umi.
Umi menjelaskan, PSBB bukanlah lockdown seperti di negara lain. Jadi, masih banyak pertimbangan dan kelonggaran untuk masyarakat dalam menjalankannya. Khususnya pelaku usaha, seperti pedagang kaki lima dan pedagang di pasar.
Perlu tes massal
Paulus Alfons, pengajar kajian politik pembangunan di Universitas Palangkaraya, menilai, kebijakan PSBB tidak efektif diberlakukan di Palangkaraya. Hampir tidak ada perbedaan antara PSBB dan pembatasan sosial berskala kecil (PSBK) yang diterapkan sebelumnya.
”Kebijakan itu masih tidak bisa menahan masyarakat keluar dari rumah, lebih baik dibuat tes massal sehingga setiap masyarakat bisa peduli dengan kesehatan dirinya masing-masing,” kata Paulus.
Paulus menambahkan, selama ini pemeriksaan cepat dilaksanakan rumah sakit swasta dan berbayar. Tes cepat yang dilakukan pemerintah masih minim sosialisasi karena keterbatasan peralatan.
”Bahkan, (rapid test) itu pun tidak valid 100 persen. Seharusnya, sedari awal tes massal dilakukan, apalagi Kalteng memiliki anggaran yang sangat besar jika dibandingkan dengan Kalsel dan daerah lain di Kalimantan,” kata Paulus.