Tak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah pandemi di masa damai dapat menggulung hampir semua lini kehidupan. Bahkan, pada mereka yang hidup dari sisa-sisa: pemulung. Kini, mereka benar-benar terkunci situasi.
Oleh
TAM/XTI/DIT/GIO
·5 menit baca
”Sebelum PSBB (pembatasan sosial berskala besar), keliling Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga saja bisa dapat 35 kilogram. Sekarang sepi karena banyak tempat yang tutup,” ujar Jamal (42), pemulung di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/5/2020).
Ayah dua anak warga Cikawo, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, itu mengais sampah di depan minimarket, sekitar 100 meter dari Gedung Merdeka, Bandung. Tanpa masker, apalagi sarung tangan. Jamal sebenarnya takut terjangkit virus korona baru penyebab Covid-19. Namun, ia lebih takut anak dan istrinya di rumah kesulitan makan.
Apalagi bantuan sosial belum juga mereka terima. ”Jadi, mustahil berdiam diri di rumah,” ujarnya. Dalam dua hari, kini karungnya hanya terisi 10 kilogram (kg) botol plastik. Sementara itu, di Jalan Braga, Bandung, Ai Ratna (58) duduk di antara belasan pemulung lain seusai jam berbuka puasa.
Mereka tengah menikmati nasi bungkus gratis. Sudah tiga hari memulung dan tak pulang, karungnya hanya terisi 5 kg botol plastik. Jika dijual, harganya Rp 1.500 per kg. Sebelum PSBB, ia dapat mengumpulkan 30 kg sampah per hari seharga Rp 2.500 per kg. ”Enggak mungkin di rumah saja. Makan dari mana?” ucap Ai, warga Baleendah, Kabupaten Bandung, itu.
Suami Ai menjadi buruh bangunan di Bogor. Ia pulang seminggu sekali membawa Rp 250.000-Rp 300.000. Namun, hal itu tak terjadi lagi selama pandemi Covid-19. Suaminya juga susah pulang ke Bandung karena ada PSBB.
Pelindung minim
Ai yang memulung dengan membawa anaknya, Anggi (11), menyadari berpotensi terjangkit Covid-19. Namun, ia tak punya pilihan lain, selain memulung. Apalagi, ia belum membayar sewa rumah Rp 350.000 per bulan.
Di Tegal, Jawa Tengah, kepasrahan dialami Riani (47). Ditemui di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bandeng Sari, Kelurahan Tegalsari, Selasa (5/5/2020), ia berkaus lengan pendek dan bersandal jepit. Namun, tak ada sepatu bot, sarung tangan, atau hand sanitizer.
”Untuk apa cari benda itu bagi saya yang tiap hari berkotor-kotor? Kalau botolnya boleh deh, lumayan bisa dijual,” kata pemulung asal Kecamatan Tegal Barat itu. Riani yang telah 25 tahun memulung belum benar-benar memahami tentang Covid-19. Namun, ia merasakan dunianya kian morat-marit. Anak sulungnya yang sudah bekerja pun dirumahkan.
Lalu, ketiga anaknya yang semestinya belajar di sekolah terpaksa belajar di rumah. Riani, yang biasanya menghabiskan Rp 25.000 untuk membeli pulsa, kini mengeluarkan Rp 100.000. Ketiga anaknya harus belajar daring. Di tengah bertambahnya kebutuhan, harga botol, kertas, kardus, besi, dan plastik yang biasanya Rp 2.300 per kg kini hanya Rp 1.000 per kg.
Kebijakan Pemerintah Kota Tegal memberlakukan PSBB juga membuat truk pengepul sampah dari luar daerah tak bebas masuk Tegal. Riani yang biasa menjual sampah ke pengepul di Cirebon terpaksa menjual ke pengepul lokal.
Demi menambah pemasukan, ia mengamen. Jika hasilnya tak cukup untuk makan, ia menjual piring, gelas, sendok, ember, atau perabot lain di rumah kepada tetangganya. Bekerja dengan perlindungan diri minim juga dialami Rudi Hartono (50), pemulung asal Kecamatan Tegal Timur, Tegal. Ia tak pernah memakai sarung tangan dan sering lupa memakai masker.
Namun, setiap selesai bekerja, Rudi selalu singgah ke mushala untuk mandi dan membersihkan diri sebelum bertemu istri, anak, dan cucunya. ”Yang penting yakin dan tidak berpikir negatif,” ucap bapak empat anak itu. Ia tinggal di rumah berukuran 4 meter x 11 meter, diisi delapan anggota keluarganya.
Rumah itu menempel dengan dinding rumah sebelah. Tidak ada sinar matahari langsung. Di tengah wabah, lesunya pendapatan juga dialami Widodo (54), warga Purwodadi, Jateng, yang 10 tahun terakhir memulung di Semarang. Kini, ia tak lagi bebas keluar-masuk permukiman mencari sisa-sisa yang bisa dijual karena kampung ditutup.
”Bulan puasa biasanya pemasukan lebih bagus, tetapi sekarang tidak. Mau masuk ke gang-gang susah karena diportal sejak ramai korona,” katanya. Widodo, yang tinggal di bedeng Pasar Johar, menjual botol dan plastik hasil memulung ke pengepul Rp 1.500 per kg. Jika biasanya ia bisa mendapat Rp 50.000 per hari, belakangan ini Rp 30.000-Rp 40.000.
Menghadapi risiko terjangkit virus korona juga dihadapi Wansen (43), pemulung bergerobak di Jalan Percetakan Negara, Jakarta. Sejak akhir 2017 ia memulung setelah warung kecilnya digusur. Tak ada sarung tangan dan masker untuk melindunginya saat memulung. ”Saya tidak mikir itu (terinfeksi Covid-19). Yang penting ngumpulin botol, kardus, dan lainnya, lalu dijual dan dapat uang untuk makan,” katanya.
Kurangi risiko
Kepala Bidang Koperasi dan Usaha Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Cabang Tegal Rohmat Budi Sanjoyo mengatakan, belum semua pemulung paham ancaman Covid-19 serta bagaimana menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Rohmat sepakat pemulung sangat berisiko tertular virus korona baru, terlebih pekerjaannya jauh dari bersih dan sehat. Namun, tanpa Covid-10 pun, pemulung kerap terserang diare, tifus, dan tetanus.
Oleh karena itu, kepastian adanya bantuan yang cukup menentukan keamanan dan kesehatan para pemulung di saat pandemi. Sejumlah pihak telah berupaya membantu kelompok masyarakat yang paling terdampak Covid-19. Pemprov Jabar, misalnya, hingga akhir April lalu menyalurkan 12.000 paket bantuan berbentuk bahan pangan dan uang tunai.
Di saat yang sama, data penerima bantuan sosial di sejumlah daerah, seperti Jabar, Jateng, dan Jawa Timur, juga terus dimutakhirkan. Saat pandemi seperti sekarang, ketaatan untuk mengikuti anjuran ”di rumah saja” salah satunya bergantung pada bantuan sosial. Jangan ada yang terlewat untuk mendapatkannya, termasuk para pemulung.