Dua gubernur telah berinisiatif melarang bupati/wali kota di wilayah masing-masing untuk memolitisasi pemberian bantuan sosial. Langkah serupa seharusnya dilakukan pemerintah pusat, dalam hal ini Mendagri.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah gubernur mulai tegas melarang bupati dan wali kota di daerahnya untuk memolitisasi bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi Covid-19. Seyogianya, larangan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah pusat agar menjadi perhatian bagi seluruh pemerintah daerah, terutama di 270 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada tahun ini.
Hingga Selasa (12/5/2020), setidaknya ada dua gubernur yang telah mengeluarkan surat edaran berisi larangan penggunaan bantuan sosial untuk kepentingan politik. Dua gubernur tersebut adalah Gubernur Riau Syamsuar dan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.
Surat ditujukan kepada bupati dan wali kota di seluruh kawasannya. Untuk Gubernur Lampung, surat ditandatangani sejak 5 Mei 2020, sedangkan Gubernur Riau pada 8 Mei 2020.
Isi surat edaran kedua gubernur itu relatif sama. Di antaranya, meminta agar para kepala daerah tidak memanfaatkan atau menggunakan bansos, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan politik.
Selain itu, penyaluran bantuan juga dilarang mencantumkan nama maupun foto kepala daerah dan wakil kepala daerah, tetapi cukup mencantumkan logo dan nama pemerintah kabupaten atau kota.
Syamsuar, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, mengatakan, peringatan itu sangat penting dikeluarkan agar menjadi perhatian kepala daerah yang akan menggelar Pilkada 2020. Di wilayah Riau, ada sembilan kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada pada tahun ini.
”Beberapa potensi lanjut (petahana) dan dikhawatirkan adanya penyalahgunaan dalam hal itu (bansos). Jangan sampai dana APBD atau APBN dipakai untuk modus kepentingan politik, politisasi bansos. Tak tepat momennya. Tidak etis,” ujar Syamsuar.
Jangan sampai dana APBD atau APBN dipakai untuk modus kepentingan politik, politisasi bansos. Tak tepat momennya. Tidak etis.
Ketua I Bidang Hukum dan Pemerintahan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) itu menyampaikan, tindakannya tersebut sangat wajar, apalagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di provinsinya juga telah mengingatkan larangan serupa. Selain itu, sebagai perpanjangan tangan dari pusat, sudah sepantasnya larangan itu juga dikeluarkan oleh gubernur.
Menteri Dalam Negeri, kata Syamsuar, sebenarnya telah mengeluarkan surat edaran berisi upaya preventif agar kepala daerah sebagai petahana yang maju kembali saat pilkada tidak menyalahgunakan wewenangnya. Namun, Surat Edaran No 273/487/SJ tentang Penegasan dan Penjelasan Terkait Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tersebut tidak meliputi politisasi bansos.
”Mendagri sebenarnya sudah beri petunjuknya, tetapi tidak langsung ke persoalan yang dikhawatirkan, umum sifatnya. Kalau di daerah, kan, kami paham dengan yang terjadi. Sebab, kalau ada kepala daerah yang ditangkap Bawaslu atau ditahan polisi atau jaksa, kan, malu juga kami,” tutur Syamsuar.
Ditingkatkan ke pusat
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengapresiasi langkah dua gubernur tersebut. Namun, langkah tersebut tidak lengkap jika hanya dilakukan beberapa gubenur.
Seyogianya, larangan politisasi bansos bisa ditingkatkan menjadi surat edaran Mendagri selaku pelaksana pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
Oleh karena itu, seyogianya, larangan politisasi bansos bisa ditingkatkan menjadi surat edaran Mendagri selaku pelaksana pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
”Banyak kepala daerah yang bandel-bandel atau gubernur yang tidak peduli dengan fungsi wakil pemerintah pusat, apalagi dia juga mau maju lagi. Jadi, surat edaran gubernur itu harusnya ditingkatkan jadi surat edaran Mendagri,” ucap Djohermansyah.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (2010-2014) Kemendagri itu menegaskan bahwa pemerintah pusat dapat memberhentikan pemimpin daerah yang memolitisasi bantuan sosial. Payung hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Antisipasi itu dituangkan pada Pasal 76 Ayat (1) Huruf a dan d UU No 23/2014. Pada Huruf a, misalnya, disebutkan, kepala/wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan perundang-undangan.
”Pasal itu dirancang untuk petahana yang doyan main curang atau fraud,” katanya.
Kepala/wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan perundang-undangan.
Kemudian, agar norma tersebut menciptakan efek gentar, disertakan pula sanksi bagi yang melanggarnya. Sanksinya, pemberhentian dari jabatan kepala/wakil kepala daerah.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan, tindakan kedua gubernur tersebut sebaiknya diikuti oleh gubernur yang lain. Dengan demikian, pengawasan tak hanya melulu bergantung pada pemerintah pusat.
”Gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat di daerah,” ujarnya.
Menunggu
Sementara itu, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Fritz Edward Siregar, menyampaikan, pihaknya tinggal menunggu KPU menetapkan tanggal penetapan calon sehingga bisa menindak kepala daerah yang memolitisasi bansos di tengah pandemi.
”Harus ada penetapan calon,” kata Fritz.
Bawaslu, lanjut Fritz, saat ini masih menggunakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tahapan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Hadwal Pilkada 2020 sebagai dasar. ”Dan sering kali PKPU itu menjadi perdebatan karena dianggap tidak sesuai. Tetapi, itulah peraturan yang sedang berlaku,” ujarnya.
Fritz menegaskan, apabila PKPU tahapan baru ditetapkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada, kepastian penegakan hukum termasuk politisasi bansos dapat diterapkan dengan lebih tegas.
Anggota KPU, Viryan Azis, menuturkan, KPU akan menyusun Peraturan KPU tentang Penundaan dan Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan. Peraturan itu akan mengatur teknis dari pasal-pasal di Perppu No 2/2020.