Ratusan Daerah Belum Perbarui DTKS, KPK: Persoalan pada Kesadaran Kepala Daerah
KPK mencatat ada 286 daerah yang belum memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial. Kendala pembaruan tak semata pada persoalan teknis, melainkan pada kesadaran masing-masing kepala daerah.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembaruan data terpadu kesejahteraan sosial yang menjadi rujukan bagi penyaluran dana bantuan sosial minim dilakukan oleh daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat hanya separuh dari jumlah daerah di Tanah Air yang rutin memperbaharui data tersebut. Minimnya pembaruan data itu memicu penyaluran dana bansos tidak tepat sasaran.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, ada 286 daerah di Tanah Air, baik kabupaten/kota maupun provinsi, yang belum memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) secara rutin.
Idealnya data itu diperbaharui empat kali dalam setahun. Namun, pada kenyataannya DTKS terbaru yang menjadi rujukan umumnya merupakan data yang diverifikasi pada tahun 2015. Artinya, hampir selama lima tahun data tersebut tidak pernah diperbaharui.
”Inilah yang menjadi penyakitnya karena ada 286 daerah yang belum melakukan pembaruan (updating) data. Kalaupun ada, hanya mengganti nama dan koreksi kecil, tetapi tidak ada updating data yang substantif. Maksudnya susbtantif itu diketahui siapa saja orang yang miskin, tidak hanya nama dan alamatnya, tetapi juga dicocokkan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Lalu, apakah ada orang miskin baru dan apakah mereka tercatat dalam data tersebut,” kata Pahala yang dihubungi Kompas, Sabtu (16/5/2020).
Pembaruan DTKS itu sangat penting untuk memastikan data orang-orang yang memerlukan bantuan sosial (bansos) itu valid dan sesuai dengan kondisi lapangan. Sebab, selama lima tahun ini diyakini pasti ada perubahan atau perkembangan data warga yang tergolong miskin. Terlebih lagi ada dampak dari pandemi Covid-19. Menurut data KPK, bahkan ada sekitar 14 daerah yang tidak melakukan pembaruan DTKS sama sekali.
Menurut Pahala, kendala di daerah untuk pembaruan data bukan terletak pada persoalan teknis semata, melainkan pada kesadaran masing-masing kepala daerah.
Kendala di daerah untuk pembaruan data bukan terletak pada persoalan teknis semata, melainkan pada kesadaran masing-masing kepala daerah.
Misalnya, ada kepala daerah yang enggan memperbarui data warga miskinnya karena merasa malu dengan adanya pertambahan warga miskin di daerahnya. Di sisi lain, kendala anggaran untuk verifikasi dan pembaruan DTKS di daerah itu menjadi persoalan. Pasalnya, anggaran untuk pembaruan DTKS tidak dijadikan kebijakan prioritas, baik di pusat maupun daerah. Kerap kali ada keengganan untuk pembaruan data di tengah masa anggaran yang sedang berjalan karena kendala kebijakan anggaran tersebut.
Minimnya pembaruan data dari daerah, menurut Pahala, memang membuat DTKS kurang valid. Kendati demikian, data itu setidaknya yang masih dapat dirujuk sebagai instrumen untuk menyalurkan bantuan sosial.
Di tingkat pusat, upaya untuk memverifikasi validitas DTKS itu pun terus diupayakan, di antaranya dengan melakukan sinkronisasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Sinkronisasi DTKS itu dilakukan dengan mencocokkan DTKS dengan NIK.
Kesesuaian DTKS dengan NIK setidaknya membantu kepastian warga atau penduduk itu ada, tidak fiktif, dan merupakan penduduk Indonesia.
”Paling tidak data itu bisa disinkronkan dengan NIK, bahwasanya orang itu ada, tidak sekadar nama dan alamatnya saja. Dengan demikian, itu membantu validitas data penyaluran bansos kepada penduduk yang memerlukan,” katanya.
Pahala mengatakan, sinkronisasai DTKS dengan NIK itu sekaligus merupakan upaya pemerintah menggunakan satu data tunggal yang valid sebagai rujukan kebijakan. Hingga saat ini, dari sekitar 99 juta warga miskin yang terdata di dalam DTKS, menurut Pahala, sekitar 76 juta di antaranya telah terverifikasi memiliki NIK. Masih ada sekitar 20 juta orang lain yang ada di dalam DTKS, tetapi tidak memiliki NIK.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, problem data memicu ketegangan di lapangan.
Sebab, berbagai laporan di daerah menunjukkan, DTKS itu selain tidak pernah diperbarui, juga tidak mampu membaca data orang-orang yang menjadi miskin, atau hampir miskin karena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan usahanya terhenti akibat pandemi Covid-19.
”Ada laporan dari daerah yang mulai menunjukkan kekhawatiran adanya kecemburuan sosial di lapangan lantaran tidak semua warga yang terdampak menerima bansos. Di satu daerah di Nusa Tenggara Timur, misalnya, RT dan RW menerima tekanan sosial dari warganya karena merasa tidak diperlakukan adil dan tidak kebagian bansos. Adapun pemerintah desa setempat tidak bisa berbuat apa-apa karena data dari atas berbeda dengan yang ada di lapangan,” jelasnya.
Di satu sisi, minimnya pembaruan dari daerah, menurut Robert, seharusnya direspons oleh pemerintah daerah (pemda) setempat dengan mengeluarkan bansos daerah.
”Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban daerah atas pengabaian mereka melakukan updating data selama ini. Jadi, jika ada warga yang tidak terjangkau bansos dari pusat, warga itu harus setidaknya terjangkau oleh bansos daerah. Dengan demikian, masyarakat tetap merasakan jaring pengaman sosial,” kata Robert.
Merujuk pada data KPK, yakni adanya 286 daerah yang tidak melakukan pembaruan DTKS, menurut Robert, itu sama dengan separuh dari keseluruhan daerah di Indonesia yang berjumlah 542 daerah. Kondisi itu sangat memprihatinkan sehingga daerah-daerah yang tidak melakukan pembaruan data harus juga ikut bertanggung jawab untuk memberikan bansos daerah kepada warganya yang tidak terdata.
Kebutuhan integrator data
Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang mengatur soal utilisasi NIK untuk mencegah korupsi. Pihaknya telah bekerja sama dengan KPK dalam Stranas tersebut. DTKS pun telah diverifikasi dan divalidasi dengan NIK sejak beberapa tahun yang lalu.
”Sinkronisasi dengan NIK, antara lain, dilakukan agar tidak ada penerima ganda dengan program lain atau dari daerah lain. Upaya sinkorinisasi itu sudah beberapa kali dilakukan,” katanya.
Terkait dengan masih adanya sekitar 20 juta warga dalam DTKS yang tidak sinkron dengan NIK, Zudan mengatakan, Kementerian Sosial (Kemensos) harus melakukan perbaikan data dengan mencantumkan NIK. Dengan demikian, ke depannya, setiap penerima bansos dalam DTKS sudah memiliki NIK.
”Satu lagi yang harus dipikirkan ialah adanya integrator data. Saat ini ada sekitar 8 jenis bansos dari berbagai kementerian dan lembaga, serta dari provinsi, kabupaten dan kota. Potensi penerima ganda masih terjadi karena data penerima berbagai bansos tersebut belum disandingkan. Untuk itu, pemerintah perlu menunjuk kementerian atau lembaga tertentu sebagai integrator data,” kata Zudan.