Virus Ini Tak Kenal Batas Wilayah, apalagi Ego Sektoral
Pemkot Cirebon, Jawa Barat, akhirnya memutuskan memperpanjang pembatasan sosial berskala besar hingga dua pekan ke depan. Sayangnya, sinyal pelonggaran PSBB ini tidak diiringi tes masif dan pelacakan ideal.
Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, akhirnya memutuskan memperpanjang pembatasan sosial berskala besar atau PSBB hingga dua pekan ke depan. Namun, kali ini tidak ada pengecualian bagi pelaku usaha untuk berdagang selama menerapkan protokol kesehatan. Sayangnya, sinyal pelonggaran PSBB ini tidak diiringi tes masif dan pelacakan kasus Covid-19 yang ideal.
”PSBB saat ini tidak cocok untuk Cirebon karena memperburuk ekonomi. Pak Satpol PP dihina pelaku usaha. Saya juga dihina,” keluh Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis saat rapat terkait kelanjutan PSBB di Balai Kota Cirebon, Minggu (17/5/2020) petang. Turut hadir Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati, Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Syamsul Huda, dan pejabat lainnya.
Sejak diberlakukan 6 Mei lalu hingga dua pekan ke depan, proses penertiban pelaku usaha yang dilarang beroperasi memang diwarnai protes. Bahkan, sempat viral di media. Sejumlah pedagang juga mendatangi DPRD Kota Cirebon agar bisa berjualan kembali dengan alasan ekonomi. Apalagi, mereka kerap meraup untung jelang Lebaran seperti saat ini.
Itu sebabnya, kata Azis, sejumlah pelaku usaha bersiasat menutup pintu utama toko, tetapi pintu sampingnya tetap terbuka bagi pengunjung. Tujuannya, mengelabuhi petugas. Ada juga yang menutup toko saat petugas berpatroli. Setelah lewat, pintunya terbuka lebar.
Selama 10 hari penerapan PSBB, Satpol PP Kota Cirebon mencatat 1.120 kasus toko yang melanggar PSBB karena tetap beroperasi. Umumnya, toko bangunan, pakaian, dan elektronik. Ini pelanggaran tertinggi dibandingkan kerumunan (123 kasus), tidak mengenakan masker (381 kasus), dan melebihi jam operasional (75) kasus.
Dalam PSBB, sektor usaha yang diizinkan buka adalah kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, dan konstruksi. Industri farmasi, minyak dan gas bumi, pertanian, perikanan, peternakan, pelayanan dasar yang berhubungan dengan publik serta kebutuhan sehari-hari juga diperbolehkan beroperasi.
Baca Juga: Tak Ingin Berkabung, Punakawan Bergabung Melawan Covid-19
Minimarket diatur hanya buka pukul 08.00-18.00. Adapun pasar rakyat beroperasi pukul 04.00-12.00 dan bengkel kendaraan bermotor pukul 08.00-15.00. Tempat makan, termasuk pedagang kaki lima, dapat beroperasi dengan syarat hanya melayani pesan antar, bukan makan di tempat.
Meskipun pelanggaran PSBB cenderung menurun, dari 280 kasus pada hari pertama menjadi 145 kasus pada hari ke-10, Azis tetap memutuskan perpanjangan PSBB dua pekan ke depan setelah PSBB pertama tuntas pada 19 Mei.
”Dengan PSBB saja, aktivitas masyarakat masih tinggi dan membahayakan karena Covid-19 bisa menyebar, apalagi kalau tidak ada PSBB,” lanjut Azis.
Target mengurangi pergerakan orang hingga hanya 30 persen pun dinilai belum tercapai. Dalam kondisi normal, kota seluas 37 kilometer persegi itu menampung lebih dari 1,6 juta orang. Padahal, penduduk kota hanya sekitar 320.000 orang. Selama PSBB, kerumunan masih ditemukan di pasar dan tempat perbelanjaan di pusat perekonomian Jabar bagian timur ini.
Terlebih lagi, kasus positif Covid-19 juga meningkat selama PSBB, dari 5 kasus menjadi 7 kasus. Meski demikian, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) menurun selama PSBB, yakni tercatat 4 ODP dan 1 PDP. Padahal, sepekan sebelum PSBB tercatat 15 ODP dan 2 PDP.
Dengan PSBB saja, aktivitas masyarakat masih tinggi dan membahayakan karena Covid-19 bisa menyebar, apalagi kalau tidak ada PSBB.
Menurut Azis, Cirebon termasuk zona kuning, yakni penyebaran Covid-19 berkurang sehingga bisa menerapkan PSBB parsial di beberapa tempat, bukan seluruh kota. Level ini satu tingkat di atas zona merah yang penyebaran Covid-19 masih tinggi dan wajib memberlakukan PSBB. Namun, pihaknya tetap melanjutkan PSBB dengan catatan, ”khas Cirebon”.
Salah satu yang khas, pelaku usaha boleh beroperasi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan dan social distancing. ”Masyarakat Cirebon masih demen belanja, apalagi jelang Lebaran. Warga dari luar Cirebon juga datang berbelanja. Ini hasil pantauan saya langsung,” ungkapnya.
Sebelum diizinkan beroperasi, pelaku usaha harus menandatangi surat pernyataan terkait syarat tersebut. ”Pengelola pasar dan pusat perbelanjaan harus bertanggung jawab langsung memantau penerapan protokol kesehatan. Jika ia melanggar, tokonya langsung ditutup. Jadi, kita tinggal menagih janjinya,” ungkapnya. Petugas satpol PP juga akan siaga di tempat tersebut.
PSBB selanjutnya juga disertai pengawasan ketat bagi orang luar Cirebon di perbatasan dan tingkat rukun tetangga serta rukun warga. Akses keluar masuk RT/RW akan dijaga. Jika ditemukan orang dari luar Cirebon bergejala Covid-19, ia bakal diperiksa lebih lanjut di fasilitas layanan kesehatan. Saat ini, sekitar 2.200 pemudik atau pendatang telah kembali ke Cirebon.
Baca Juga : DKK Salurkan Bantuan Bahan Pokok dan Buku di Cirebon
Forum pun menyepakati keputusan wali kota itu. Kepala Polres Cirebon Kota AKBP Syamsul Huda menanyakan tes masif selama PSBB. Tanpa tes, mustahil mengetahui jumlah kasus positif Covid-19. Jika tak tahu, langkah antisipasi, seperti mengisolasi kasus positif dan melacak riwayat kontak, tidak mungkin dilakukan. Virus korona jenis baru penyebab Covid-19 pun bebas berkeliaran.
”Berapa warga yang sudah menjalani tes swab (usap)? Saya malah sudah dites di Kabupaten Cirebon. Rasanya cukup sakit karena alat tes masuk dari hidung sampai ke dalam,” katanya.
Entah apa maksud Syamsul mengatakan itu. Tetapi, kalau pejabat yang mobilitasnya tinggi seperti dia tidak dapat akses tes swab, bagaimana warga Kota Cirebon lainnya?
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto mengatakan, baru 49 orang yang menjalani tes swab dengan metode rantai polymerase atau PCR. Itu pun sebelum penerapan PSBB.
”Dari jumlah itu, hanya tiga warga Kota Cirebon. Selebihnya, dari luar tetapi dirawat di rumah sakit di Kota Cirebon,” katanya.
Adapun tes uji cepat atau rapid test sudah dilakukan kepada 1.996 orang. Hasilnya, 21 orang reaktif atau mengandung virus. Untuk memastikan apakah mereka terinfeksi virus korona jenis baru, perlu tes swab. Sebab, katanya, akurasi tes uji cepat hanya 50 persen.
Kalau pejabat yang mobilitasnya tinggi saja tidak dapat akses tes swab, bagaimana warga Kota Cirebon lainnya?
Menurut rencana, mereka akan menjalani tes swab pekan ini. Pemkot Cirebon menyiapkan tes PCR untuk 1.558 orang atau sekitar 300 orang setiap kecamatan di Cirebon. Pemeriksaan PCR akan dilakukan di RSD Gunung Jati dan RS Pelabuhan. Namun, alat tes yang dipesan 4 minggu lalu dan persiapan lainnya belum tuntas.
”Kami juga akan melakukan pelacakan kontak kasus Covid-19 hingga akhir tahun ini meskipun tidak ada PSBB. Jujur, petugas kami mengeluh karena harus melacak kontak sekaligus menjaga penerapan PSBB. Kami tidak ada yang kerja dari rumah,” ungkap Edy.
Sebenarnya, Pemkot Cirebon bisa belajar dari tetangganya, Pemkab Cirebon yang mulai menggalakkan tes swab. Sebanyak 226 orang telah menjalani tes dan 8 di antaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Tidak hanya pejabat, pemudik juga berisiko terpapar Covid-19 hingga pedagang pasar jadi sasaran tes.
Pemkab Cirebon juga tidak lagi harus tergantung pada Laboratorium Kesehatan Daerah Jabar untuk memeriksa sampel tes yang menelan waktu hingga lebih dari dua pekan. Bekerja sama dengan Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati atau UGJ Cirebon, hasil tes bisa diperoleh hanya dalam 6 jam.
Laboratorium tersebut diklaim sesuai standar biosafety level atau BSL-2 untuk pemeriksaan Covid-19 yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Terdapat dua mesin PCR di laboratorium, salah satunya dari Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Pemkab juga memberikan 1.000 reagen untuk mendukung pemeriksaan sampel Covid-19. Sebanyak 4.000 reagen lainnya masih dalam pemesanan. Reagen diperlukan untuk proses ekstraksi RNA (ribonucleic acid) dalam pengujian sampel. Dalam sehari, 100-150 sampel dapat diuji.
Soal ekonomi, Kota Cirebon boleh menjadi pusat pertumbuhan dibandingkan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Namun, terkait kesigapan menjamin keselamatan warganya, Kota Cirebon sepertinya masih harus belajar banyak dari tetangganya.
Di tengah pandemi saat ini, mengapa tidak bekerja sama melacak virus dengan tes masif bersama-sama? Ingat, virus tidak kenal batas daerah, apalagi ego sektoral birokrasi.